KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur |
tegang di Indonesia dengan munculnya aksi kekerasan terhadap pemuka
agama Islam dan nasrani, mendadak nama KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur
kembali disebut-sebut dengan penuh kerinduan.
Cucu
Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dan mantan Ketua Umum Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama ini disebut-sebut sebagai tokoh yang konsisten
menyuarakan praktik keagamaan yang toleran dan lembut. Ia mengingatkan
kepada semua orang tentang bahaya tafsir keras keagamaan yang berasal
dari Timur Tengah, dan memandang perlunya adaptasi tafsir keagamaan
dengan nilai-nilai lokal keindonesiaan yang lebih toleran.
Salah
satu artikel yang menjadi tonggak pemikiran Gus Dur adalah Pribumisasi
Islam yang terbit pada medio 1990-an. Penggunaan kata ‘pribumi’
menunjukkan bahwa kendati Islam adalah agama universal, namun tetap
penyebarannya harus beradaptasi dengan nilai-nilai lokal agar tak
memunculkan benturan. Belakangan artikel ini disebut oleh sebagian
kalangan intelektual NU sebagai manifesto Islam Nusantara. Setidaknya
ada 25 butir pemikiran dalam artikel ini.
1. Agama (Islam)
bersumberkan wahyu dan memiliki norma-normanya sendiri. Karena bersifat
normatif, maka ia cenderung menjadi permanen.
2. Budaya adalah buatan manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untuk selalu berubah.
3.
Tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus-menerus
sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak
gersang.
mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya
kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, arabisasi belum
tentu cocok dengan kebutuhan.
kebutuhan, bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dengan
budaya, sebab polarisasi demikian memang tak terhindarkan.
Sebagai titik tolak dari upaya rekonsiliasi ini (antara Islam dengan
budaya lokal, penulis) adalah meminta agar wahyu dipahami dengan
mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan
rasa keadilannya.
budaya tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat
asli. Islam harus tetap pada sifat islamnya. Al-Quran adalah harus tetap
dalam bahasa Arab, terutama dalam salat, sebab hal ini telah merupakan
norma. Sedangkan terjemahan al-Quran hanyalah dimaksud untuk mempermudah
pemahaman, bukan menggantikan al-Quran sendiri.
Islam bukanlah ‘jawanisasi’ atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam
hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan
hukum-hukum agama, tanpa menambah hukum itu sendiri. Juga bukan upaya
meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung
kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang
disediakan oleh variasi pemahaman nasm dengan tetap memberikan peranan
kepada usul fikih dan kaidah fikih.
Proses pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah mengubah Islam,
melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam.
Adat tidak bisa mengubah nas melainkan hanya mengubah atau
mengembangkan aplikasinya saja, dan memang aplikasi itu akan berubah
dengan sendirinya. Pribumisasi Islam adalah pemahaman terhadap nas
dikaitkan dengan masalah-masalah di negeri kita.
akan berfungsi dengan baik apabila ia dikaitkan dengan perubahan pada
struktur masyarakat itu sendiri. Sasaran perubahan itu bukanlah pada
sistem pemerintahan atau sistem politik, akan tetap pada sub-sub
sistemnya.
Pancasila, Negara Kesatuan RI, dan sistem politiknya dengan wawasan
Islam yang secara kultural bisa mengubah wawasan hidup orang banyak
dengan memperhatikan konteks kelembagaan masyarakat.
Pendekatan sosio-kultural menyangkut kemampuan orang Islam untuk
memahami masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa, dan bukan berusaha
memaksakan agendanya sendiri. Kalau yang terakhir ini yang terjadi, maka
yang berlangsung sebenarnya hanyalah proses pelarian (eskapisme).
Kecenderungan formalisasi ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat dan
islamisasi dalam bentuk manifestasi simbolik jelas tidak menguntungkan
karena hanya akan menimbulkan kekeringan substitusi. Karena itu, patut
diusulkan agar terlebih dahulu Islam menekankan pembicaraan tentang
keadilan, demokrasi, persamaan. Dengan demikian, peran umat Islam dalam
kehidupan berbangsa ini akan lebih efektif dan perilaku mereka akan
lebih demokratis.
bahwa Islam mengakomodasikan kenyataan-kenyataan yang ada sepanjang
membantu atau mendukung kemaslahatan rakyat. Prinsip ini harus mewarnai
segala wujud, baik bentuk kelembagaan maupun produk hukum.
Umat Islam masih sibuk dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat
pinggiran (periferal). Apa yang disebut dengan islamisasi pada umumnya
barulah pada arabisasi budaya, yaitu semakin banyaknya dipakai
terminologi Arab yang berasal dari nas.
identitas kaum muslimin belum terpecahkan, maka langkah-langkah belum
bisa diambil untuk membentuk weltanschauung Islam. Dan selama masih
dalam keadaan demikian, yang ada barulah weltanschauung Islam yang semu
dan baru pada tahap semangat keislaman saja atau sekadar slogan-slogan
islami kosong.
rekonstruksi hukum agama secara parsial sesuai dengan kebutuhan atau
bersifat ad-hoc sejalan dengan situasi ad-hoc yang tengah berlangsung.
Tawaran ini datang dari cara pandang sarwa-fikih. Fikih adalah alat
paling efektif untuk mengatur kultur umat Islam dan bisa dikatakan
sebagai kunci kemajuan atau kemunduran mereka.
dasar – keadilan, persamaan, dan demokrasi (Weltanschauung) – itu
diejawantahkan ke dalam sikap hidup yang mengutamakan Islam, kebangsaan,
kemanusiaan.
masyarakat yang baru. Hubungan yang lebih egaliter, kebebasan
berpendapat, dan ketundukan kepada hukum adalah inti keadilan, yang akan
membentuk perilaku masyarakat secara berangsur-angsur menuju budaya
baru.
masukan, untuk mengoperasionalisasikan nilai-nilai dasar bangsa. Di sini
Islam bisa masuk tanpa perlu formalisasi, tetapi lebih dengan membawa
Weltanschauung yang khas dari dirinya.
masyarakat bertanggungjawab terhadap proses pribumisasi Islam, dalam
arti mengokohkan kembali akar budaya kita, dengan tetap berusaha
menciptakan masyarakat yang taat beragama. [wir/suf/BJ]