Berita  

‘AGAMA BARU itu BERNAMA INFRASTRUKTUR’

‘JOKOWI DALAM IKATAN PERJANJIAN DENGAN KUASA KEGELAPAN YANG BERWUJUD LINTAH DARAT DAN OLIGARKI PENYEMBAH HARTA’
Jokowi%2Bdan%2BInfrastruktur%2Banigif
Jokowi dan Infrastruktur [Ilustrasi]

Oleh: Salamuddin Daeng

Penguasa global sekarang ini kemana mana
selalu biacara infrastruktur, seolah olah dunia tidak memikiki sisi
kehidupan lain. Mereka merancang berbagai mega proyek Infrastruktur
untuk memperbesar pasar, perdagangan dan keuangan. Mereka tidak peduli
nasib dan kebutuham umat manusia. Semua harus percaya “agama baru”
infrastruktur. Meniru para pendahulu mereka Raja Namrud, Kaum Ad dan
kaum Tsamud.

SriwijayaAktual.com – Pembangunan infrastruktur adalah sebuah mega project utang global
untuk memastikan kekuasaan mereka di seluruh penjuru dunia. Lembaga
keuangan global dan negara negara pemberi utang berlomba lomba merebut
pasar infrastruktur. Dengan demikian mereka sekaligus bisa mendapatkan
pasar utang. Pemberi utang juga sekaligus mendapatkan bagi kelebihan
produksi industri nereka. Pada saat yang sama mereka mendapatkan tempat
untuk relokasi tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan di negeri negeri
mereka. Hal yang paling penting adalah negara negara maju memiliki dasar
yang kuat untuk memperbesar pasar keuangan mereka. Utang semacam ini
banyak didistribusikan oleh China ke kawasan Asia dan khususnya
Indonesia sebagaimana yang kita lihat sekarang ini.
Bagi indonesia utang telah menjadi sandaran utama pemerintah dan
pemerintah juga senang menyandarkan diri pada utang. Karena tidak ada
jalan keluar lain yang dapat ditemukan kecuali utang. Dan memang tidak
ada jalan keluar lain selain utang ditengah pelemahan ekonomi. Karena
kalau tidak utang proyek ambisiusnya semua mangkrak. Aset negara disita
asing, infrastruktur yang belum jadi akan disita asing.
Reklamasi%2BIMG 3343
Reklamasi Teluk Jakarta membahayakan Sistem Pertahanan dan Keamanan Nasional

Pembangunan infrastruktur tidak mempertimbangkan apakah masyarakat
membutuhkan atau tidak infrastruktur tersebut. Pemerintah Jokowi telah
merancang infrastruktur dengan anggaran Rp. 4500 triliun sampai dengan
Rp 5000 triliun dalam masa pemerintahan tahun 2014 – 2019.  Jumlah
tersebut adalah angka yang besar. Sumber pendanaannya berasal dari utang
APBN, utang BUMN dan investasi asing langsung. Sebuah lahan garapan
para penguasa kegelapan bersama sekutu sekutunya di Indonesia.

*Kuasa Gelap dalam Wujud Lintah Darat*

Postur RAPBN selama tiga tahun terakhir dirancang sangat ambisius.
Pemerintah tidak peduli keadaan ekonomi tengah melemah, daya beli
masyarakat merosot, sehingga kemampuan pembayar pajak menurun. APBN
ambisisus tampaknya disengaja agar menciptakan defisit anggaran yang
kian melebar, sehingga pemerintah memiliki kesempatan untuk mengambil
utang dalam jumlah besar.
Faktanya defisit APBN membengkak, jauh dari yang direncanakan.
Defisit APBN 2015 membengkak menjadi 2,8% dari yang direncakan sebesar
1,9%. Defisit APBN 2017 meningkat menjadi 2,5 % dari 2,35% dari yang
direncanakan. Tahun 217 juga demikian deficit APBN membengkak menjadi
2,92% dari yang direncakan sebesar 2.41%. Tahun 2017 sesuai angka
defisit 2,92% untuk mendapatkan tambahan utang Rp. 471 triliun.
Dalam RAPBNP 2018 pemerintah juga berencana menambah utang dalam
jumlah yang relatif sama sekitar Rp 450 sampai dengan Rp.500 triliun.
Melebarnya defisit ini dikarenakan pemerintah gagal meraih target
penerimaan Negara khususnya penerimaan pajak.
Tahun 2017 utang pemerintah yang bersumber dari Surat Berharga Negara
(SBN) telah mencapai Rp. 1.721,69 Triliun meningkat sebesar Rp. 446,66
triliun. Pada saat pertama kali Jokowi berkuasa SBN hanya sebesar Rp.
1.275 Triliun.
Sementara utang pemerintah yang bersumber dari luar negeri tahun 2017
sebesar US$ 170.28 miliar atau sebesar Rp. 2.298,80 triliun. Utang ini
mengalami peningkatan sebesar US 40.6 miliar dolar atau Rp. 547,37
triliun.
Dengan demikian akumulasi utang pemerintah yang berasal dari SBN
ditambah utang luar negeri pemerintah telah mencapai Rp. 4.020,49
trilun. Utang tersebut bertambah pada era pemerintahan Jokowi sebesar
Rp.994,03 Triliun. Ini adalah pencapaian tertinggi dibandingkan
pemerintahan manapun yang pernah berkuasa di Republik Indonesia.
Sementara Setiap tahun saat ini rata rata pemerintah harus membayar
bunga sebesar Rp. 253.5 triliun, Cicilan sebesar Rp. 65,5 Triliun
(diambil dari data cicilan 2017), Utang jatuh tempo sebesar Rp.390
Triliun. Jadi total kewajiban yang harus dibayar pemerintah adalah Rp.
709 triliun setiap tahun. Ini adalah angka yang besar. Nilai ini setara
dengan 70% penerimaan pajak setahun. Untuk bisa membayar kewajiban
kewajian tersebut pemerintah akan terus mengambil utang untuk menjaga
keberlangsungan fiskal.

*Para Penyembah Harta*

Para penyembah harta yang saat ini berkuasa tidak hanya menjarah
proyek proyek utang dalan APBN namun juga proyek proyek utang dalam
BUMN.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dipaksa mengambil utang luar negeri
dalam membiayai berbagai mega proyek infrastruktur. BUMN infrastruktur
adalah sumber bancakan yang basah. Perusahaan diberikan dana penyertaan
modal yang besar, dipaksa mencari utang yang besar, untuk memenuhi
ambisi penguasa.
Adhi Karya adalah sebuah perusahaan BUMN yang sekarang tengah
mengalami resiko keuangan yang tidal kecil. Akibatnya perusahaan PT Adhi
Karya dipaksa masuk ke dalam perangkap utang yang besar. Reuters
melaporkan keuntungan perusahaan year on year jatuh hingga -32.40% tahun
2017. Padahal penerimaan perusahaan meningkat dari  Rp. 9.39 triliun
menjadi Rp. 11.06 triliun. Bagaimana mungkin mega proyek diciptakan oleh
pemerintahan ini hanya untuk membangkrutkan perusahaan negara.
Sementara perusahaaan perusahaan swasta mengeruk keuntungan yang besar
dari berbagai mega proyek yang lain.
Akibat perangkap utang perusahaan ini tersandera utang yang sangat
besar. Tahun 2017 utang Adhi Karya (Persero) Tbk PT telah mencapai
 43.68% dibandingkan aset (debt to aset ratio) meningkat dari 37.90%
tahun sebelumnya. Sementara cadangan  (cash reserves) Adhi Karya
(Persero) kurang dari Rp. 1 triliun atau hanya 10 % dari utang
perusahaan. Perusahaan ini benar benar ditempatkan ditepi jurang yang
sangat besar demi ambisi penguasa.
Akhir dari cerita ini adalah perusaahan BUMN ini adalah akan disita
oleh asing, aset asetnya jatuh ke asing dan taipan. pemerintahan Jokowi
dan dirut BUMN akan menjadi sasaran debt collector. Rakyat Indonesia
akan menjadi tumbal mahalnya tarif infrastrukrur. Presdien Jokowi juga
telah memerintahkan agar BUMN menjual asset mereka kepada swasta.
BUMN sektor strategis lain yang sekarang tengah merancang berbagai
mega proyek infrastuktur yakni Perusahaan Gas Negara (PGN), Pertamina
dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Ketiga BUMN ini dipaksa mencari
sumber pembiayaan baik utang maupun investasi asing dalam rangka
memenuhi ambisi oligarki penguasa. Proyek proyek infrastruktur megah
tentu akan menghasilkan dana besar bagi oligarki pemerintahan ini.
PGN merupakan salah satu BUMN yang sebagian sahamnya telah dijual
kepada swasta dan asing dalam rangka membiayai mega project. Ratusan
triliun mega project dirancang dengan menggunakan sumber pembiayaan
utang dan investasi asing. Padahal total utang PGN sudah sangat besar
yakni mencapai US$2,852 miliar atau Rp. 38,511 triliun. Nilai ini setara
dengan Debt to equity 0.87% (PGN Equity US$ 3,279  miliar), dengan
bunga utang 4.57 %. (Laporan PGN Maret 2017). Sementara pengusaan swasta
atas PGN telah mencapai 43% dari asset perusahaan senilai US$ 6,986
miliar.
Penguasaan swasta dan asing terhadap PGN mencapai 43%. Jika ditambah
dengan total utang PGN, maka penguasaan swasta atas PGN telah mencapai
84% dari total asset PGN. Tentu PGN ini tidak lagi dapat disebut sebagai
perushaaan Negara. Perusahaan ini telah menjadi milik taipan dan asing.
Bisa dibayangkan jika PGN terus dipaksa membiayai berbagai mega proyek
investasi asing dan utang. Maka akan habislah perusahaan ini dijual.
Selanjutnya Pertamina. Perusahaan saat ini sedang digenjot untuk
mebiayai mega project. Salah satunya adalah pembangunan kilang kilang
Pertamina. Namun sayangnya pembangunan kilang kilang ini akan
menggunakan dana asing dan utang dari pasar keuangan. Dengan demikian
maka asset paling kunci dari Pertamina akan dilego untuk mendapatkan
utang. Tidak tanggung tanggung, nilai mega proyek yang akan dibangun
Pertamina mencapai Rp. 700 triliun.
Darimana uangnya? Pasti dari utang. Padahal  utang pertamina sekarang
sangat besar. Nilainya mencapai US$ 8 miliar atau sekitar 104 triliun.
Perusahaan yang 100 persen kepemilikannya oleh Negara memang memiliki
asset yang besar. Namun perusahaan bukanlah untuk mencari untung. Maka
satu satunya cara untuk merealisasi proyek adalah dengan mengambil utang
ke pasar keuangan. Maka secara perlahan lahan Pertamina akan menjadi
ajang bancakan asing dan taipan.
BUMN energy yang paling parah sepak terjangnya adalah Perusahaan
Listrik Negara (PLN).  Sebuah perusahaan bancakan yang sangat empuk
dewasa ini. Perusahaan dipaksa memenuhi ambisi pemerintah membangun mega
proyek 35 ribu megawatt. Sebuah mega proyek yang menjadi bancakan asing
dan taipan. Darimana sumber dananya? Tidak lain dari utang baik melalui
tangan PLN langsung maupun menggunakan tangan Negara.
Padahal utang Perusahaan sudah menggunung. Adapun sumber utang
tersebut adalah sebagai berikut 1. World Bank sebesar US$3,75 miliar,
Asian Development Bank (ADB) sebesar US$4,05 miliar, Japan International
Cooperation Agency (JICA) sebesar US$5 miliar, KfW Bankengruppe sebesar
1,65 miliar Euro, AFD Perancis sebesar 300 juta Euro, China Exim Bank
sebesar US$5 miliar, China Development Bank sebesar US$10 miliar, dan
Islamic Development Bank (IDB) sebesar US$300 juta. Selanjutnya baru
baru ini PLN mengambil utang dari pasar keuangan internasional US$ 7
miliar  atau sekitar Rp. 94.5 triliun. Dengan demikian maka total utang
PLN telah mencapai Rp. 500,175 triliun. Ini merupakan perusahaan dengan
rekor tertinggi dalam mengambil utang. Total utang PLN sebelum revaluasi
asset telah lebih dari 100 % dari total asset.
Sementara laba bersih PLN berdasarkan laporan keuangan mereka hanya
tahun 2016 sebesar Rp 10,5 triliun. Pencapaian tersebut turun
dibandingkan laba bersih 2015 yang sebesar Rp 15,6 triliun.
Pertanyaannya sampai kapan perusahaan ini dapat membayar utangnya?.
Meskipun keluruh keuntungan untuk bayar utang maka dalam tempo 50 tahun
belum lunas. Itulah mengapa harga listrik digenjot naik.
Menteri ESDM bagaikan algojo menetapkan kenaikan harga listrik tanpa
memikirkan daya beli masyarakat. Bahkan mengesampingkan bahwa kenaikan
harga listrik adalah perbuatan yang tidak pantas ditengah penurunan
harga batubara, gas dan minyak yang merupakan unsur biaya terbesar dalam
PLN.
Selain itu, kerjasama dengan China dalam membangun berbagai mega
proyek di tanah air telah menjadi prioritas utama pemerintahan Jokowi.
Pemerintah Indonesia dan China telah memulai mega proyek iinfrastruktur
seperti listrik 35 ribu megawatt. Pemerintah mengambil utang dari China
untuk proyek kereta cepat  Jakarta- Bandung, mega proyek monorel,
airport dan lain sebagainya. Dalam mega proyek tersebut tentu akan
banyak tenaga kerja China dalam seluruh levelnya baik buruh kasar maupun
pekerja ahli yang  akan masuk ke Indonesia.

*Rakyat Jadi Tumbal*

Perjanjian pemerintahan
Jokowi dengan kuasa kegelapan yakni para rentenir dan lintah darat
global dijalankan melalui antek anteknya dalam lingkaran kekuasaan
Jokowi.

Kondisi ini ibarat botol ketemu tutup karena di dalam lingkaran
pemerintahan Jokowi sendiri diisi oleh para penyembah harta. Mereka tak
peduli rakyat miskin, buruh sekarat, petani sengsara, karena yang paling
penting adalah mereka dapat menjarah APBN untuk memperkaya diri dan
keluarganya.
Mereka menjalankan paket kebijakan mencekik rakyat dengan pajak
tinggi, bunga tinggi, sewa infrastrur yang tinggi, tarif kebutuhan dasar
yang tinggi, harga barang publik yang juga tinggi. Tak peduli rakyat
jadi korban dan mati karena bagi mereka sudah seperti ritual.
Perjanjian pemerintah dengan kuasa kegelapan yakni para
rentenir/lintah darat ini adalah kesetian untuk membayar utang dengan
menjadikan rakyat sebagai tumbal yang dikorbankan. [LP]