kepada lain jenis merupakan hal yang fitrah bagi manusia. Karena sebab
cintalah, keberlangsungan hidup manusia bisa terjaga. Oleh sebab itu,
Allah Ta’ala menjadikan wanita sebagai perhiasan dunia dan kenikmatan
bagi penghuni surga. Islam sebagai agama yang sempurna juga telah
mengatur bagaimana menyalurkan fitrah cinta tersebut dalam syariatnya
yang rahmatan lil ‘alamin.
Namun,
bagaimanakah jika cinta itu disalurkan melalui cara yang tidak syar`i?
Fenomena itulah yang melanda hampir sebagian besar anak muda saat ini.
Penyaluran cinta ala mereka biasa disebut dengan pacaran. Berikut adalah
beberapa tinjauan syari’at Islam mengenai pacaran.
Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan
yang buruk.” (QS. Al Isro’ [17]: 32)
Dalam
Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras
daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita
mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina,
jelas-jelas lebih terlarang. Asy Syaukani dalam Fathul Qodir mengatakan,
”Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya
juga haram dilihat dari maksud pembicaraan.”
Dilihat
dari perkataan Asy Syaukani ini, maka kita dapat simpulkan bahwa setiap
jalan (perantara) menuju zina adalah suatu yang terlarang. Ini berarti
memandang, berjabat tangan, berduaan dan bentuk perbuatan lain yang
dilakukan dengan lawan jenis karena hal itu sebagai perantara kepada
zina adalah suatu hal yang terlarang.
memerintahkan kaum muslimin untuk menundukkan pandangan ketika melihat
lawan jenis. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada
laki–laki yang beriman : ”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan
memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur [24]: 30 )
lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman, “Katakanlah kepada
wanita-wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya,
dan kemaluannya” (QS. An Nuur [24]: 31)
Ibnu
Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, ”Ayat ini
merupakan perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman untuk
menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka
melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat
(yaitu pada istri dan mahromnya). Hendaklah mereka juga menundukkan
pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat
sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka
memalingkan pandangannya dengan segera.”
Ketika
menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan, ”Firman
Allah (yang artinya) ‘katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman :
hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka’ yaitu hendaklah mereka
menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang
lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa
tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami atau
mahromnya, pen) baik dengan syahwat dan tanpa syahwat. … Sebagian ulama
lainnya berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa
syahwat.”
Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas
(tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR.
Muslim no. 5770)
Faedah
dari menundukkan pandangan, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat
An Nur ayat 30 (yang artinya) “yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka” yaitu dengan menundukkan pandangan akan lebih membersihkan hati
dan lebih menjaga agama orang-orang yang beriman. Inilah yang dikatakan
oleh Ibnu Katsir –semoga Allah merahmati beliau- ketika menafsirkan ayat
ini. –Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menundukkan pandangan
sehingga hati dan agama kita selalu terjaga kesuciannya.
Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama
mahromnya.” (HR. Bukhari, no. 5233). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang
wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah
orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.”
(HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini
shohih ligoirihi)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk
berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua
mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina
lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba
(menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan
menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan
membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)
Jika
kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis -yang bukan
istri atau mahrom- diistilahkan dengan berzina. Hal ini berarti
menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan
kaedah ushul “apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram,
maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram”.
pemaparan kami di atas, jika kita meninjau fenomena pacaran saat ini
pasti ada perbuatan-perbuatan yang dilarang di atas. Kita dapat melihat
bahwa bentuk pacaran bisa mendekati zina. Semula diawali dengan
pandangan mata terlebih dahulu. Lalu pandangan itu mengendap di hati.
Kemudian
timbul hasrat untuk jalan berdua. Lalu berani berdua-duan di tempat
yang sepi. Setelah itu bersentuhan dengan pasangan. Lalu dilanjutkan
dengan ciuman. Akhirnya, sebagai pembuktian cinta dibuktikan dengan
berzina. –Naudzu billahi min dzalik-.
Lalu pintu mana lagi paling lebar dan paling dekat dengan ruang perzinaan melebihi pintu pacaran?!
ada pacaran Islami? Sungguh, pacaran yang dilakukan saat ini bahkan
yang dilabeli dengan ’pacaran Islami’ tidak mungkin bisa terhindar dari
larangan-larangan di atas. Renungkanlah hal ini!
seorang dai terkemuka pernah ditanya, ”Ngomong-ngomong, dulu bapak
dengan ibu, maksudnya sebelum nikah, apa sempat berpacaran?” Dengan
diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga
berpacaran, tapi berpacaran secara Islami. Lho, gimana caranya? Kami
juga sering berjalan-jalan ke tempat rekreasi, tapi tak pernah ngumpet
berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman,
pelukan, apalagi –wal ‘iyyadzubillah- berzina.
Nuansa
berpikir seperti itu, tampaknya bukan hanya milik si dai. Banyak
kalangan kaum muslimin yang masih berpandangan, bahwa pacaran itu
sah-sah saja, asalkan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan itu
ibarat kalimat, “Mandi boleh, asal jangan basah.” Ungkapan yang
hakikatnya tidak berwujud. Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna
apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam
Islam. Kecuali kalau sekedar melakukan nadzar (melihat calon istri
sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai
pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian.
Namun
itu sungguh merupakan perancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadong
dipahami sebagai hubungan lebih intim antara sepasang kekasih, yang
diaplikasikan dengan jalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat,
ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi oleh
banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, dan
banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat. Bila kemudian ada
istilah pacaran yang Islami, sama halnya dengan memaksakan adanya
istilah, meneggak minuman keras yang Islami. Mungkin, karena minuman
keras itu di tenggak di dalam masjid. Atau zina yang Islami, judi yang
Islami, dan sejenisnya. Kalaupun ada aktivitas tertentu yang halal,
kemudian di labeli nama-nama perbuatan haram tersebut, jelas terlalu
dipaksakan, dan sama sekali tidak bermanfaat.
yang sempurna telah mengatur hubungan dengan lawan jenis. Hubungan ini
telah diatur dalam syariat suci yaitu pernikahan. Pernikahan yang benar
dalam Islam juga bukanlah yang diawali dengan pacaran, tapi dengan
mengenal karakter calon pasangan tanpa melanggar syariat. Melalui
pernikahan inilah akan dirasakan percintaan yang hakiki dan berbeda
dengan pacaran yang cintanya hanya cinta bualan.
Dari
Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami
tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai
semisal pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1920.)
Kalau
belum mampu menikah, tahanlah diri dengan berpuasa. Rasulullah
shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mampu untuk
menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan
dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka
berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnul
Qayyim berkata, ”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan
merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap
saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan
kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan
lain yang belum diperolehnya.”
Cinta
sejati akan ditemui dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta
pada-Nya. Mudah-mudahan Allah memudahkan kita semua untuk menjalankan
perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Allahumma inna nas’aluka
’ilman nafi’a wa rizqon thoyyiban wa ’amalan mutaqobbbalan.
ini Sengaja Kami Modifikasi Judul Dan Headline nya Lebih “Nakal dan
Menggelitik” Agar Pesan Larangan Berpacaran dan Lebih Baik Nikah ini
lebih sampai ke audien, terutama ABG Labil dan yang masih Mencari Jati
Diri..
(Sumber : taarufan.com)