Berita  

Bohongi Rakyat Indonesia, “PKI Itu Partai Kiai Indonesia”

Ridwan Saidi (Dok)

SriwijayaAktual.com – Budayawan Betawi Ridwan Saidi yang hidup di era Partai Komunis
Indonesia (PKI) menyebutkan, partai tersebut mulai gencar melakukan
teror sejak 1961 hingga akhirnya mereka di’gulung’ oleh rakyat. Karena
itu, apabila saat ini PKI betul-betul muncul kembali, hanya ada satu
kata. “Lawan!” ungkap pria berusia 75 tahun itu di teras rumahnya saat dibincangi
Republika.co.id, Kamis (28/9/2017).

Dengan
menggunakan sarung dan kemeja tanpa dikancing, Ridwan bercengkrama
dengan Republika.co.id tentang apa saja yang pernah ia alami ketika muda
dulu terkait keberadaan PKI. Menurutnya, banyak kebohongan dan fitnah
yang PKI lakukan terhadap musuh-musuhnya.

“Awalnya, tahun 1952
mereka direhabilitasi oleh Soekarno setelah pemberontakan Madiun dengan
cara para tokoh PKI diterima menghadap ke Istana. Aidit, Lukman, Tan
Ling Djie, mereka diterima oleh Bung Karno,” kata dia.

Setelah
itu, PKI melakukan persiapan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) pada
1955. Menurut Ridwan, mereka mengerahkan gelandangan pengemis untuk
mendukung mereka. PKI memenuhi Jakarta dengan yang Ridwan sebut gembel.

“Penuh
Jakarta itu dengan gembel, dan mereka diproses oleh jaringan PKI di
kelurahan untuk mendapatkan KTP. Sehingga, hasil Pemilu itu, PKI
menduduki posisi keempat untuk pemilihan anggota DPR,” ungkap Ridwan.

Pada
Pemilu 1955 tersebut, tiga partai di atas PKI adalah PNI, Masyumi, dan
NU. Akan tetapi, pada saat pemilihan DPRD, PKI naik menjadi peringkat
kedua.

Ridwan menjelaskan, dalam kampanyenya itu, PKI melakukan
suatu kebohongan kepada masyarakat. Saat itu, mereka berkata kepada
masyarakat, PKI itu singkatan dari Partai Kiai Indonesia. Bahkan, mereka
berkampanye menggunakan gambus.

“Kampanye mereka pakai gambus
waktu itu. Itu sudah melakukan kebohongan-kebohongan di situ.
Kampanyenya juga menyerang pribadi, dulu nggak ada aturannya kan. Dia melempar kebohongan-kebohongan,” tutur dia.

Kemudian,
Ridwan mengatakan, PKI melakukan banyak aksi yang sebetulnya merusak
ketentraman kerja di perusahaan-perusahaan swasta. Saat itu, PKI ingin
menasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta. Padahal, tidak semua
perusahan swasta itu milik pemerintah Hindia-Belanda.

“Kan ada
aturan hukum untuk mengambil alih. Macam-macam perusahaan itu, didemo
terus-menerus membawa kegelisahan. Sejak 1957, dia terus melakukan
aksi-aksi demikian hampir setiap hari,” kata dia.

Pada 1960,
Undang-Undang (UU) Agraria dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Menurut Ridwan, UU tersebut merupakan UU yang bagus. Tapi, dia bingung
karena PKI justru menolaknya. Mereka lebih memilih mematok tanah secara
sepihak.

Salah satu peristiwa yang ia ingat adalah Peristiwa
Bandar Betsi. Peristiwa itu terjadi tahun 1965. Kala itu, menurut
Ridwan, terbunuh seorang TNI, Peltu Sudjono karena mencegah usaha PKI
merampas tanah di Bandar Betsi.

“Anehnya, mereka tidak mendukung.
Dia lebih mau aksi sepihak duduki tanah di mana-mana sampai terjadi
bentrokan fisik dan ada korban lah seperti Bandar Betsi di Sumatera Utara. Itu yang mengherankan saya, kok dia nggak mau UU agraria,” ungkap dia.

Ridwan
mengaku, pada masa itu bisa dibilang mahasiswa yang sedang berada di
kampus untuk kuliah merasa tidak nyaman. Itu karena saat itu harus
berhadapan terus-menerus dengan PKI. Terutama para anggota Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI).

“Dia menuntut pembubaran HMI kan. Dengan
aksi yang terus menerus hampir setiap hari. Kan mereka pengangguran,
siap aksi,” kata dia.

Saat itu, Ridwan tergabung ke dalam HMI. Ia
juga menceritakan ketidakadilan PKI melalui kelompok-kelompoknya
terhadap organisasinya tersebut kala itu. Seperti menahan undangan acara
kenegaraan yang seharusnya juga diikuti oleh pihaknya saat itu.

“Kita
mengalami bagaimana mereka menguasai Front Pemuda. Itu kan federasi
dari seluruh ormas pemuda. Kita selalu nggak dapet undangan kalau ada
acara kemerdekaan, sumpah pemuda dan lainnya itu,” tutur dia.

Saat
itu, HMI merupakan anggota dari Front Pemuda. Namun, Front Pemuda itu,
kata dia, dikuasai oleh Pemuda Rakyat. Pemuda Rakyat merupakan kelompok
sayap milik PKI.

Menurut Ridwan, pernah ada kegiatan Rapat
Raksasa Merebut Irian Barat. Ketika itu, pihaknya tidak mendapatkan
undangan untuk kegiatan tersebut. Ia menyebutkan, hal itu dilakukan agar
HMI dipandang sebagai organisasi yang kontrarevolusi.

Kan dulu tuduhannya itu HMI kontrarevolusi, ‘liat aja tuh Rapat Raksasa Merebut Irian Barat kagak ngikut‘. Padahal mah nggak diundang,” tutur dia.

Meski
demikian, Ridwan dan beberapa kawannya tetap datang dengan cara
menyelusup ke dalam acara-acara tersebut. Seperti contohnya saat
diadakan acara Pidato Bung Karno yang diselenggarakan oleh Front
Nasional.

“Misal gini, dia kalau ada acara nasional, tau-tau kita muncul padahal sudah dihadang. Kita duduk deket-deket die kelompok PKI, Gerwani segala macem,” cerita Ridwan.

Melihat
HMI yang sudah dihadang tapi bisa masuk ke acara tersebut, menurut
Ridwan, kelompok-kelompok sayap PKI tersebut mulai menyanyikan lagu
Nasakom Bersatu Hancurkan Kepala Batu. Tapi, kemudian ia dan
teman-temannya membalas lagu tersebut dengan Garuda Pancasila.

“Kan
kita dengan cara melewati gerbang baru kita pakai atribut. Baru deh
dihajar pakai lagu, ya kita bales dengan Garuda Pancasila, hahahahaha,” katanya seraya tertawa.

Peristiwa Terparah
Lalu, Ridwan menceritakan
beberapa hal yang ia ingat tentang tindak tanduk PKI saat itu. Ia
mengingat beberapa hal yang menurutnya paling parah yang pernah
dilakukan oleh PKI terhadap lawan-lawannya yang tak sepaham.

Pada
saat itu, kata dia, PKI menguasai Serikat Buruh Kereta Api (SBKA).
Mereka kemudian mengganggu perjalanan kereta api yang sudah penuh sesak
dengan penumpang di dalamnya. Menurut Ridwan, dari Jakarta menuju
Cirebon bisa ditempuh hingga 11 jam karena gangguan itu.

“Macam-macam (ganggunya) banyak berhentinya kereta itu. Bagaimana tiba-tiba ada bendera merah, kan kalau begitu berhenti kereta,” tutur dia.

Menurut
dia, saat itu perjalanan menggunakan kereta tak ada yang nyaman.
Walaupun memang saat itu keadaan kereta api tak senyaman sekarang, apa
yang ada dipikiran masyarakat saat itu adalah yang penting sampai ke
tempat tujuan terlebih dahulu.

“Kalau misalnya sesek sih udah lah ye
kita alamin jongkok juga susah, apalagi diri. Tapi persoalannya itu
lambat karena berhenti terus dan kita tidak mengerti kenapa berhenti,”
ungkap dia sembari meminum kopinya.

Selain buruh kereta api,
menurut dia, buruh-buruh pelabuhan juga sering dikerahkan untuk mogok
kerja oleh PKI. Sehingga, angkutan barang itu sering terlambat di
pelabuhan. Akibatnya, ekonomi mengalami kelumpuhan saat itu.

“Ekonomi
dilumpuhkan juga saat itu. Tahun itu mulai aksi tahun 61 sampai 65.
Tahun itu mereka gencar-gencarnya melakukan aksi sampai akhirnya
digulung sama rakyat,” kata Ridwan.

Ridwan juga mengalami
langsung penyabotasean kegiatan dakwah oleh PKI. Kala itu, tahun 1964 ia
mengikuti kegiatan Isra Miraj di daerah Pademangan, Jakarta Utara.
Acara yang seharusnya mulai jam delapan malam, mundur hingga pukul
setengah satu malam.

“Mereka mengerahkan masa dan menuntut pidato
saat itu. Banyak mereka mengaku RT, RW, atau apa dulu RK segala macam
bergantian pidato dari jam delapan sampai setengah satu die borong,” kata dia.

Akibatnya,
ketika itu tidak ada yang bisa berpidato. Tapi, Ridwan bersama dengan
Mayor Yunan Hilmi Nasution dari Pusat Rohani Angkatan Darat tetap
melakukan kegiatan tersebut. Keduanya berjanji saat itu untuk bertahan
karena umat sudah bubar.

“Kata Pak Yunan ke saya, ‘kita jangan
bubar, kita bertahan di sini. Nanti, ketika giliran saudara pidato saya
yang dengar tidak apa-apa. Giliran saya yang pidato, saudara yang
dengar’. Itu terjadi,” jelas Ridwan.

Benar saja, mereka berdua
bertahan hingga acara selesai dan berpidato. Kemudian acara selesai
pukul 01.30 WIB. Ridwan bersama temannya kembali ke rumahnya di
bilangan Sawah Besar menggunakan becak.

Di lain waktu masih pada
era mencekam itu, di daerah perkampungan rumahnya, disebarkan
selebaran berisi daftar orang-orang yang harus dipotong lehernya.
Ayahanda Ridwan menjadi salah satu orang yang ada di dalam daftar
tersebut.

“Mereka mengedarkan selebaran di kampung masing-masing
yang isinya orang-orang yang mesti dipotong. Termasuk bapak saya. Iya
(karena musuh tidak sepaham). Itu teror dia,” ujar Ridwan.

Soal
fitnah yang paling besar oleh PKI, menurut Ridwan, adalah fitnah yang
dialami oleh Buya Hamka, Ghazali Sahlan, dan Dahlari Umar. Mereka
bertiga menghadiri acara khitanan di Mauk, Tangerang. Acara khitanan
anak dari salah satu tokoh Masyumi di Mauk bernama Ismaun.

“Lantas
PKI melaporkan di sana itu diadakan rapat gelap. Padahal menghadiri
khitanan. Ditangkap mereka itu dan baru keluar tahun 1966,” kata dia.

Kala
itu, Ridwan sempat membesuk salah satu tahanan, yaitu Ghazali Sahlan.
Saat itu Ridwan diajak oleh anak Ghazali Sahlan setelah mendapatkan
surat dari sang bapak. Ridwan pun melihat suratnya langsung dan melihat
kondisi Ghazali Sahlan di penjara.

“Ghazali Sahlan mulutnya
disetrum. Selama enam bulan dia cuma makan tetesan air pisang ambon saat
ditahan oleh PKI, ya kita anggap PKI-lah. Rezim waktu itu kan dikuasai
PKI,” tutur Ridwan.

PKI Bangkit, Lawan!
“Itulah
PKI seperti itu. Mau lagi dikembalikan yang seperti itu sekarang?”
kata Ridwan cukup sering di tiap akhir ceritanya tentang apa yang
dilakukan PKI saat itu.

Mengenai isu kebangkitan PKI yang merebak saat ini, ia hanya mengatakan satu kata kepada Republika.co.id, yaitu “Lawan” tadi. Menurutnya, tidak perlu ada omongan macam-macam.

“Dalam bentuk apa pun, tergantung dia mau main cara apa, kita hadapi. Dulu saja kita lawan, sekarang apalagi?” kata dia.

Ridwan
mengatakan, janganlah PKI bermimpi untuk bangkit lagi. Menurutnya,
upaya pelurusan sejarah tak perlu dilakukan karena ketika itu, kedua
belah pihak antara PKI dan non-PKI kondisinya sedang berperang.

“Ini kan perang, dia kalah ya udah dong nyerah nggak usah diomongin lagi. Terang saja dong, bentrokan ada korban,” ungkap Ridwan.

Baca Juga: “Dialog Pembubaran HMI; Antara Presiden RI Ir. Soekarno dan KH Saifuddin Zuhri.”

Ia
juga mengatakan, pelarangan organisasi PKI merupakan konsekuensi
terhadap apa yang telah mereka lakukan sebelum-sebelumnya, bukan di
tahun 1965 saja. Seperti di tahun 1948, aksi pembantaian pada
pemberontakan Madiun.

Menurut Ridwan, korbannya bukan saja ulama, tetapi juga yang lain,
seperti orang tua Sri Bintang Pamungkas. “Dia nggak hitung korban dari
pihak kite? ya kan? Saya nggak tertarik ngomongin ini. Jangan sok jago dong kalau nggak mau ada korban,” terang Ridwan yang merupakaan Mantan Ketua Umum PB HMI Tahun 1974-1976. {*}