Bom Waktu Keistimewaan Yogyakarta

Berita54 Dilihat
Foto/Ist; Kendaraan melintas di perempatan Tugu, Yogyakarta, Selasa (2/8/2016).
Bangunan cagar budaya Tugu yang juga dikenal dengan nama Tugu Pal Putih
itu menjadi salah satu ikon pariwisata Yogyakarta

DIY-YOGYAKARTA, SriwijayaAktual.comPROBLEM seputar Keistimewaan Yogyakarta cepat
atau lambat akan menyeruak dan menjadi sorotan di tingkat lokal dan
nasional. Karena itu Yogya dituntut untuk bisa menjadi model ideal
tentang sistem demokrasi substansial asli Indonesia yang bermartabat.
Ketika negeri ini terus-menerus dibuat gaduh dengan perilaku ekspresif
kebebasan berdemokrasi dan praktik demokrasi prosedural yang cenderung
selalu berhawa panas, Yogya harus bisa menjadi contoh tentang demokrasi
berbasis musyawarah yang sejuk. Demokrasi yang mengedepankan hikmat dan
kebijaksanaan kepemimpinan sebagaimana filosofi sila keempat Pancasila.
Beberapa bidang keistimewaan Yogya memang sangat krusial dan
sensitif, misalnya masalah suksesi kepemimpinan, gender pemimpin, dan
pertanahan. Sejauh ini perdebatan, perbedaan pendapat, dan gejala
konflik sudah terasa memanas. Jika tidak dikelola dalam mekanisme
musyawarah yang bermartabat, bukan tidak mungkin akan memicu konflik
multidimensional yang kontraprodukif bahkan destruktif bagi
keistimewaan. Apalagi ketika persoalan internal keistimewan itu dibawa
dalam perbincangan dan percaturan politik nasional, potensi konflik
membesar karena kian banyaknya pihak yang terlibat dan bermain.
Dahulu kala statusnya masih dalam masa perjuangan, konsep
keistimewaan itu sempat menjadi bahan olok-olok oleh berbagai pihak yang
fanatik demokrasi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) waktu itu
bahkan menganggap Keistimewaan Yogyakarta yang berbasis monarki tidak
relevan, kuno, bertentangan dengan visi demokrasi, dan tidak akan
bermanfaat. Jika sekarang atau nanti Yogya guncang karena masalah
keistimewaan, akan jadi bahan tertawaan. Sontak orang berujar: “Lha, rak
tenan ta!”
Bagi banyak pihak yang sejak dulu dan selama ini skeptis, sinis, dan
antiterhadap Keistimewaan, mereka akan menunggu dan melihat terjadinya
blunder yang membuktikan bahwa Keistimewaan Yogya itu pasti akan
bermasalah. Pertama, mereka menantikan bukti terjadinya miskepemimpinan
atau malpraktik kepemimpinan di Yogya sebagai bukti tidak layaknya
sistem monarki dipertahankan di era demokrasi. Mereka punya apriori,
demokrasi prosedurlah yang paling unggul untuk menghasilkan pemimpin
yang baik sesuai impian rakyat. Maka, jika kepemimpian di Yogya gagal,
monarki Yogya akan jadi bahan cibiran.
Kedua, pihak kontra-keistimewaan ingin melihat kerabat Kraton
Yogyakarta berkonflik dan berpecah belah. Padahal tujuan keistimewaan
sebagaimana diatur dalam UUK adalah melembagakan peran Kraton Yogyakarta
dan Kadipaten Pakualaman dalam tatanan pemerintahan lokal DIY.
Bagaimana keistimewaan akan kuat jika basis kehidupan kerabat di kedua
kerajaan itu sendiri rapuh?
Ketiga, kaum skeptis menunggu terjadinya krisis rasa percaya diri
wong Yogya terhadap keistimewaan tersebut. Jika masyarakat Yogya sendiri
sudah tidak yakin, untuk apa keistimewaan dipertahankan dan
dilanjutkan? Kekecewaan kolektif berpotensi penolakan terhadap kearifan
budaya sendiri. Hal itu sama seperti gejala penolakan terhadap ideologi
Pancasila. Mengapa? Karena bangsa ini telah kecewa dengan praktik
ideologi Pancasila di era Orde Baru. Hal ini bisa terjadi dengan
Keistimewaan Yogya yaitu apabila masyarakat kecenthok dan kagol dengan
implementasi UUK DIY.
Persoalan yang sudah dan terus akan menggoyang Keistimewaan Yogya
adalah masalah konflik. Maka kita harus mengedepankan praktik demokrasi
asli Indonesia, yaitu demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan. Hikmat kebijaksanaan itu menunjuk pada
kualitas dan peran kepemimpinan negarawan yang arif, dewasa, berjiwa
pengayom, pemersatu, dan pengambil keputusan yang tepat.
Kita percaya, Sultan HB X tetap komit pada lima tekad kepemimpinan
yang ditegaskan saat penobatan (7 Maret 1989), yaitu: (1) Tekad untuk
merangkul semua, (2) Tekad untuk lebih banyak memberi daripada menerima,
(3) Tekad untuk tidak melanggar paugeran negara, (4) Tekad untuk
menyatakan kebenaran, dan (5) Tekad untuk tidak punya ambisi apapun
kecuali mensejahterakan rakyat. Lalu, musyawarah mufakat jadi basis
demokrasi. Perbedaan pendapat, visi, pemikiran, dan kepentingan dalam
urusan Keistimewaan Yogya harus bisa diselesaikan dengan
musyawarah-mufakat.
Masalah Keistimewaan Yogya kini jadi bom waktu. Jika konflik tidak
segera dijinakkan dan dibiarkan terus mendidih, daya ledaknya nanti akan
sangat destruktif bagi Yogya dan Indonesia. Jika Keistimewaan Yogya
terus-menerus dibangun di dalam hikmat kebijaksanaan kepemimpinan dan
praktik musyawarah-mufakat yang bermartabat, Yogya akan menjadi bom
waktu kearifan baru bagi Indonesia. (*)
(Dr Haryadi Baskoro. Penulis adalah pakar Keistimewaan
Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat,
Rabu 23 November 2016)

Komentar