Berita  

‘Budaya Lapor Polisi, Kesadaran Hukum atau Hilangnya Kekeluargaan?’

ini pernyataan lengkap kaesang pangarep di medsos yang berujung dipolisikan

OPINI, SriwijayaAktual.com  – Dalam minggu ini kita dijejali pelaporan
ujaran kebencian yang dilakukan oleh putra bungsu Presiden Joko Widodo,
Kaesang Pangarep.

Kaesang yang memiliki hobi membuat video blog (vlog) dilaporkan
ke Sentra Pelayanan Kepolisian Polres Kota Bekasi oleh Muhammad Hidayat.
Kaesang dituding melakukan penodaan agama serta menyebarkan ujaran
kebencian melalui video yang diunggah ke akun Youtube gara-gara kalimat ‘dasar ndeso’. 
Kaesang mengunggah video tersebut pada 27 Mei 2017. Dalam video
berdurasi 2 menit 41 detik itu, awalnya Kaesang menyinggung soal ada
oknum yang sukanya meminta-minta proyek pemerintah. Setelah itu, Kaesang
juga menyinggung soal pentingnya menjaga generasi muda dari hal-hal
negatif.
“Ini adalah salah satu contoh, seberapa buruknya generasi masa
depan kita. Lihat saja…. (Video itu kemudian menampilkan anak-anak
berteriak “bunuh, bunuh, bunuh si Ahok. Bunuh si Ahok sekarang juga”).
Di sini aku bukannya membela Pak Ahok. Tapi aku di sini
mempertanyakan, kenapa anak seumur mereka bisa begitu? Sangat
disayangkan kenapa anak kecil seperti mereka itu udah belajar
menyebarkan kebencian? Apaan coba itu? dasar N**** (sensor bunyi). Ini
ajarannya siapa coba? dasar N**** (sensor bunyi), demikian salah satu
penggalan dalam vlog tersebut.
Akan tetapi, laporan Muhammad Hidayat tersebut tidak akan
ditanggapi polisi lantaran dinilai tidak memenuhi unsur pidana.
Lagipula, Hidayat sendiri adalah tersangka ujaran kebencian. Dia
ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya lantaran melontarkan ujaran
kebencian terhadap Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan.
Saat itu, dia menyunting video Iriawan ketika mengamankan aksi
unjuk rasa 4 November 2016 lalu. Meskipun Hidayat menyandag status
tersangka, polisi memutuskan untuk menangguhkan penahanan Muhammad
Hidayat. Namun, proses penyidikan kasus tersebut tetap berlanjut.
Hidayat pernah ditangkap polisi atas kasus tersebut pada 15 November 2016 lalu. Dia ditangkap di indekos di Bekasi, Jawa Barat.
Akibat ulahnya, Hidayat terancam Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat
1 dan atau Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang ITE Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman
hukuman pidana paling lama enam tahun penjara dan atau denda paling
banyak Rp 1 miliar.
Sebelum kasus ini, ada sejumlah kasus lain sejenis, seperti
perseteruan Jonru-Ahmad Sahal, Ade Armando- Johan Khan: kisruh di media
sosial yang berujung pelibatan polisi. Juga ada kasus beberapa anak yang
melaporkan ibu kandung ke polisi dan menjadi viral di media sosial.
Meningkatnya kesadaran hukum?
Sebagian orang menilai bahwa melaporkan orang lain ke polisi
adalah bagian dari kesadaran hukum dengan menggunakan haknya sebagai
warganegara. Oleh karena itu, melaporkan apa yang tidak disukai ke
polisi adalah bagian dari kebaikan, apabila dibandingkan dengan tindakan
anarkistis atau main hakim sendiri. Ini adalah satu cara pandang.
Apabila kita pandang dari sudut lain, mudahnya orang yang
bersengketa melibatkan pengadil formal dapat menjadi indikasi mampatnya
komunikasi kekeluargaan yang selama ini menjadi salah satu ciri budaya
kita. Hal ini tak lain disebabkan oleh kegagalan struktur keluarga
menciptakan individu-individu yang pandai menyelesaikan konflik
(solusi), termasuk menghormati hak orang dan santun dalam beropini
(pencegahan).
George Friedman dalam “The Next 100 Years: A Forcast for the 21st
Century” menyebutkan bahwa kerusakan struktur keluarga selalu menjadi
beban negara (secara ekonomi, politik, hukum dan sosial), dalam kasus
ini adalah Amerika Serikat. Sebagai informasi, angka perceraian di AS
dapat mencapai 60 persen, dengan rata-rata 50 persen, sedangkan di
Indonesia dapat mencapai 15 persen.
Setiap ada yang berkonflik, latar belakang keluarga dan cara
bagaimana dia dibesarkan akan menentukan bagaimana dia menyelesaikannya.
Berkonflik itu biasa, yang akan dinilai adalah bagaimana cara orang
menyelesaikannya: terus bertahan dengan konflik tanpa rekonsiliasi,
lapor polisi, kabur, membeli hukum, atau berdamai.
Melaporkan hal-hal yang seharusnya tidak perlu dilaporkan tidak
hanya akan menyita tenaga sendiri, tetapi juga penegak hukum. Masih
banyak kasus yang lebih butuh perhatian, ketimbang sengketa yang
seharusnya bisa dicairkan dengan cara lain yang lebih elegan.
Mencermati kasus pelaporan Kaesang, pelaporan Hidayat sama sekali
tak bisa dipakai untuk membuktikan yang bersangkutan sadar hukum.
Hidayat tampak hanya ingin tukar guling kasus, laiknya politisi culas
kelas wahid. Apa yang dilakukan pemimpin, masyarakat pasti meniru.
Sebaliknya, kualitas pemimpin ditentukan oleh kualitas masyarakatnya,
pengaruh timbal balik seperti hipotesis Sapir-Whorf dalam menjelaskan
struktur bahasa.
Hidayat tampak ingin menyandera putra Jokowi itu demi kebebasan
dirinya, jika tidak ingin tersohor karena bisa menantang putra presiden.
Laku Hidayat ini menjadi tanda bahwa dia takut bertanggung jawab
terhadap apa yang dia sudah perbuat dengan mencari tumbal.
Apabila orang sedikit-sedikit lapor polisi, penegak hukum itu
jusru akan sedikit-sedikit menyelesaikan kasus lain yang lebih urgen.
Sesuatu yang seharusnya bisa diselesaikan dengan duduk bersama laiknya
cekcok dengan saudara, sepatutnya dilakukan demikian. (Penulis Dhuha Hadiansyah/Rimanews)