Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengkritik keras pandangan Presiden Joko
Widodo terhadap beberapa poin dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Revisi UU KPK) yang
diusulkan oleh DPR.
Ia mengatakan Jokowi masih menyetujui tiga poin dalam revisi UU KPK yang
menurutnya justru upaya nyata pembunuhan KPK. Ia pun menilai Presiden
kini tengah membodohi publik.
“Saya melihat Presiden ini main-main, tega-teganya membodohi publik.
Dikira publik ini bodoh?” kata Busyro, ditemui di Kantor Pimpinan
Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Surabaya, Sabtu (14/9/2019).
Tiga poin itu, kata Busyro, pertama Jokowi menyetujui Dewan Pengawas di
KPK. Kedua, Jokowi menyetujui Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(SP3). Ketiga, Jokowi menyetujui perubahan status pegawai KPK menjadi
Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sedangkan sejumlah poin yang ditolak oleh Jokowi antara lain soal izin
pihak luar ketika ingin melakukan penyadapan. Kedua, Jokowi tidak setuju
penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan
kejaksaan.
Ketiga, Jokowi tak setuju KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung
dalam melakukan penuntutan. Dan keempat, Jokowi tidak setuju pengalihan
pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tak
dilakukan oleh KPK.
Jokowi saat menjelaskan pandangannya di Istana Negara, Jumat (13/9/2019),
mengaku ingin lembaga antirasuah itu memiliki kewenangan yang lebih kuat
dari lembaga lainnya dalam memberantas korupsi.
Jokowi menyatakan penguatan KPK dilakukan dengan penyempurnaan terbatas
terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Lebih dari 17
tahun UU tersebut belum direvisi.
Di sisi lain menurut Busyro pandangan Jokowi, terutama sikapnya
menyetujui tiga poin revisi UU KPK, masih berpotensi melemahkan KPK.
diajukan oleh DPR, tapi dengan menyetujui tiga poin. Tapi tiga poin
setelah kita baca, tiga poin itu masih mengandung unsur-unsur yang
akibatnya pembunuhan KPK,” katanya.
Dari tiga poin tersebut, Busyro menyoroti salah satunya tentang perubahan status pegawai KPK menjadi ASN.
Menurutnya poin tersebut adalah ancaman nyata terhadap independensi KPK, secara kelembagaan dan kepegawaian.
“Poin ASN adalah bentuk pembunuhan KPK secara smooth, pakai kursi
listrik setrum pelan-pelan. Atau pakai arsenik, ya? Pada suatu saat
nanti budaya asli sebagai lembaga independen hilang. Otomatis KPK mati,”
ujar Busyro.
KPK, kata Busyro selama ini dibentuk dengan sistem perekrutan yang
ketat, sebagaimana diatur dalam UU KPK. Pegawai dan penyidik KPK pun
dididik dengan serius, dilatih secara mental dan fisik bahkan oleh
Kopassus selama beberapa bulan.
“Kita merekrut pegawai KPK, kita juga mendesain pegawai KPK menjadi
periset, analis LHKPN, menjadi penyelidik, dan yang memenuhi syarat
menjadi penyidik, itu kemudian kita training dan training-nya gak
main-main, secara mental dan fisik. Kita titipkan kepada Kopassus di
Lembang,” ujar dia.
Pelatihan dan perekrutan pegawai KPK yang didesain sedemikian rupa, kata
Busyro, terbukti mampu menghasilkan SDM yang independen dan bisa
menjaga marwah KPK itu sendiri.
“Artinya Desain KPK dengan SDM yang sudah pernah dilakukan sebelumnya
hasilnya independen, itu karena tidak ada nilai-nilai dan budaya ASN
yang masuk di KPK,” katanya. [cnnIndonesia]