Berita  

Cuma Minum Teh atau Kopi Saja, Para Pria Rela Bayar Rp 75 Ribu di Warung ini yang Penjaganya….kok Bisa?

SriwijayaAktual.com – Mencari panganan untuk disantap malam hari memang sering dan mudah didapatkan. Di Jogja, sebut saja jajanan khasnya yang suka buka pada malam hari disebut dengan angkringan.
Di tempat ini pengunjung dapat puas makan, karena selain enak, harga yang ditawarkan sangatlah murah.

Tetapi beda dengan warung satu ini.Bahkan membuat para pria senang nongkrong di warung yang biasa disebut jablai (warung malam).

Selain sekadar memandang wajah cantik penjaga warung di Hulu Sungai Tengah. Padahal, pemilik warung membanderol tarif yang cukup menguras kantong.

Bayangkan saja. Satu kali nongkrong di warung jablai, minimal satu orang menghabiskan Rp 50 Ribu, hanya dengan menu kopi, atau teh, plus snack.

“Saya pernah mampir ke salah satu warung, sambil melakukan pemantauan dalam rangka tugas investigasi. Saat itu makan mi instan, teh dan telur asin. Saat membayar penjaga warungnya bilang Rp 75 ribu. Iseng, saya protes kenapa semahal itu, dia malah bilang, pian salah singgah ke warung sini,” ungkap salah satu anggota Polres HST.

Diapun mengaku sudah tahu, jika minum teh atau kopi di warung malam harga lebih mahal. “Cuma pengen tahu saja mengapa mahal,” katanya.

JH, warga lainnya yang minta namanya tak disebut dengan alasan takut ketahuan istri sering nongkrong di warung jablai mengakui, harga yang dibanderol pelayan warrung jablai, memang berlipat-lipat lebih mahal dibanding warung biasa.

Namun, mereka yang sudah terbiasa mencari hiburan, dan sering berkunjung rata-rata sudah tahu.

“Kalau saya ikhlas saja, asalkan penjaga warungnya ramah dan enak diajak ngobrol, rela saja, Gak kapok, hitung-hitung membantu mereka cari nafkah,” ungkap JH seraya terkekeh.

Pelayan warung jablai rata-rata berusi 17 sampai 20 tahunan. Mereka tak hanya berasal dari HST, tapi juga dari HSS dan Tapin.

Mereka rata-rata berjualan sampai larut malam. Dan anehnya, makin malam pengunjung warung makin ramai.
Menjadi pelayan atau penunggu warung remang malam atau warung jablai, harus tahan begadang hingga pagi.
Sebab, puncak pengujung ramai, mulai pukul 23.00 sampai pukul 03.00 Wita. Selain itu, meski mengantuk, harus bersikap ramah pada pengunjung, dan harus bersedia diajak ngobrol oleh siapapun.
Begitu penuturan DZ yang berjualan di pinggir jalan raya Desa Haur Gading, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.‎
DZ mengaku berusia 24 tahun. Sejak usia 19 tahun, dia sudah menikah dan punya seorang anak, tapi akhirnya bercerai.
Orang tuanya hidup pas-pasan, sehingga tak bisa menjadi tempat menumpang hidup, sehingga oleh ayahnya DZ puin diberi modal berjualan di warung malam.
Untuk sewa satu petak warung, dia mengaku membaya Rp 600 ribu per bulan. Seperti warung lainnya, di warung DZ pun menyediakan menu yang sama.
Teh, kopi, mie instan dan makanan ringan, dengan harga “khusus” atau lebih mahal.
“Modal saya harus tahan begadang. Jika melayani pengunjung dengan ramah, biasanya pengunjung tak peduli harga. Bahkan uang kembalian pun mereka relahan untuk saya,” tutur DZ yang mengaku terpaksa mencari rezeki dengan warung malam tersebut, karena punya anak yang harus dia hidupi sendiri.
DZ menyadari, bekerja di warung malam, menciptakan imej negatif di masyarakat. Dia dan teman-teman seprofesinya bahkan harus rela dijuluki perempuan jablai.
“Saya tak peduli imej negatif itu, Niat saya hanya mencari nafkah. Karena rezekinya di sini, saya jalani saja,” katanya. (banjarmasinpost.co.id/hanani)

Spesial Untuk Mu :  Postingan ini Istri TNI ke Wiranto?, "Semoga Lancar Kematiannya"