Berita  

Catat! Dampak Serangan Teroris Bagi Muslim Eropa

Sriwijaya Aktual – Gelombang serangan teroris sejak satu tahun lebih yang lalu sungguh mengejutkan Eropa.
Serangan yang yang dimulai oleh penyerbuan kantor redaksi majalah satir Charlie Hebdo di bulan Januari 2015, disusul oleh serangan terkoordinasi di banyak tempat di kota Paris, Peranciasnovember 2015.
Serangan berikutnya adalah penembakan brutal di Bandara Brussel, Belgia, maret 2016 dan yang terbaru adalah tragedi truk maut pada acara perayaan Bastille Day, Juli 2016, lagi-lagi terjadi di kota Paris, Perancis.
Serangan demi serangan teroris yang mengguncang Eropa itu tentau saja membawa dampak buruk bagi kehidupan minoritas muslim Eropa, yang suka atau tidak suka selalu dikaitkan dengan kelompok teroris yang selama ini selalu membawa-bawa identitas Islam.
Serangan-serangan tersebut seakan menjadi wadah yang subur bagi meluasnya faham rasis terhadap muslim Eropa (dan juga umumnya di negara-negara barat lainnya), yang dikenal dengan istilah Islamophobia.
Admin Note: Bagi kita yang tinggal jauh dari Eropa, seperti apakah dampak rangkaian serangan teroris terhadap Muslim Eropa, umumnya hanya kita dapatkan dari berita-berita media lokal yang umumnya mengutip dari sumber-sumber barat atau media-media berbasis keagamaan yang mengutip dari sumber-sumber yang seringkali visi, misi dan ideologinya patut dipertanyakan.
Untuk itulah kami mencoba mengutip artikel Aleksandar Hermon, reporter majalah Rolling Stone (media yang pemberitaannya dikenal netral dan proposional) yang memberikan pandangannya tentang kehidupan muslim Eropa pasca serangan teror yang kami terjemahkan secara bebas.
Charlie Hebdo Attacked

Pada tanggal 22 Maret, pada hari serangan Brussels, saya terbang dari Berlin ke Basel melalui Frankfurt. Mungkin ini terlalu riskan mengingat serangan brutal teroris di bandara Zavantem, Brussel, Belgia baru saja terjadi. Tetapi suasana di bandara Frankfurt tampaknya tidak ada perubahan dramatis dalam hal protokol bandara. Tidak ada garis keamanan yang dipasang.
Hal yang sama juga tampak di bandara Basel, Swiss, di mana saya mendarat sore itu. Nama resmi bandara adalah EuroAirport. Bandara ini melayani administrasi penerbangan untuk kota Basel – Swiss, Freiburg – Jerman dan Mulhouse – Perancis. Tidak ada indikasi di EuroAirport bahwa Eropa baru saja diserang di Belgia. Juga tidak ada apa-apa di Basel sendiri – salah satu kota terkaya di Eropa – yang menunjukkan bahwa sebuah serangan teror brutal telah terjadi hanya 300 mil jauhnya dari sana.
Orang-orang pergi berbelanja perhiasan atau menghirup Nespressos mereka. Lalu lintas kendaraan dan trem meluncur di sepanjang jalan-jalan yang cerah seperti di surga, seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
Seminggu kemudian, saya berada di Venice, Italia, saat perburuan besar-besaran terhadap dua bersaudara tersangka teroris serangan Brussel, yang lebih dikenal dengan nickname ‘orang yang memakai topi’ – menghiasi seluruh halaman depan media-media Eropa.
Namun demikian kehidupan di Venice berlangsung seperti biasanya. Para wisatawan berselfie ria dengan tongsis mereka atau menikmati ayunan perahu gondola atau menikmati secangkir espresso di di Piazza San Marco.
Dunia disana seperti acuh tak acuh terhadap kenyataan bahwa seorang pembom bunuh diri atau penembak brutal bisa saja saat itu berada ditengah-tengah mereka dan menghancurkan semua kenyamanan hidup yang mereka nikmati.
Orang-orang, tentu saja, selalu akan melanjutkan hidup mereka sampai mereka mati, tapi tampaknya bagi saya bahwa di Venice, seperti juga di Basel, ide bahwa Eropa telah diserang dan ada dalam keadaan bahaya adalah ide yang rapuh.
Pernyataan bersama mayoritas pemimpin Eropa pasca serangan menggambarkan anggapan bahwa target sebenarnya dari serangan teroris bukanlah orang atau bangunan, melainkan “nilai”.
Thorbjørn Jagland, Sekretaris Jenderal Dewan Eropa, dengan cepat mengatakan bahwa “serangan teroris telah mentargetkan nilai-nilai Eropa.” Sementara, dalam sebuah pernyataan setelah serangan, Kanselir Jerman Angela Merkel melihat para pelaku sebagai “musuh dari semua nilai-nilai yang melandasi keberadaan Eropa dan yang kita sebagai anggota Uni Eropa percaya.”

Brussels Attacked
Spesial Untuk Mu :  HADIRILAH!! In Memoriam Taufiq Kiemas: Sumbangsih Untuk Bangsa, di Kota Palembang

Pembicaraan tentang “serangan terhadap nilai-nilai Eropa” secara tidak langsung telah mengalihkan perhatian dari fakta bahwa serangan itu bukanlah serangan acak, namun strategi yang lihai, fokus, dan dengan tujuan spesifik yang telah ditentukan.
Tujuan utama ISIS adalah makin meluasnya permusuhan dan kebencian antara Eropa dan kaum Muslim (yang mereka – ISIS, klaim mewakili). Kebencian itu disetting agar semakin kuat dan disegel dalam darah sehingga menjadi tidak dapat diperbaiki lagi dan mengakibatkan segregasi tegas yaitu antara “kita” dan “mereka.”
Mereka (ISIS) berharap bahwa gelombang rasisme dan kebijakan anti-Muslim akan mendorong lebih banyak kaum Muslim mendekat ke arah mereka untuk mencari perlindungan dan berharap merekrut lebih banyak pengikut yang marah terhadap keadaan.
Tujuan akhir ISIS adalah menjadikan Eropa medan perang di mana “kita” melawan “mereka” untuk sebuah akhir yang pahit, dengan menggunakan semua senjata hingga “kita” bisa menguasai seluruh benua.
Konsekuensi dari serangan Brussels, serta serangan-serangan sebelumnya, memiliki dua sisi. Di satu sisi, itu aman untuk mengasumsikan bahwa suara-suara dari nilai-nilai Euro akan segera memukul balik.
Paris Attacked 2

Dalam waktu singkat Parlemen Belgia dengan suara bulat menyetujui hukum yang mengharuskan imigran yang baru tiba untuk menandatangani pernyataan menjunjung tinggi “nilai-nilai Eropa”. Aksi Parlemen Belgia segera diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya, terutama oleh negara-negara Eropa Timr yang yang menjadi garda terdepan dalam menghadapi gelombang arus pengungsi dari Timur Tengah yang membanjiri Eropa.
Aturan-aturan yang memperketat dan mempersulit imigran baru segera diterbitkan yang mengakibatkan jutaan pengungsi di perbatasan Eropa Timur terlantar dan terancam mati kelaparan. Belum lagi mereka yang harus menyabung nyawa menyeberangi Laut Tengah dalam perahu-perahu kecil yang over kapasitas.
Di tempat lain, kelompok Neo-Nazi secara acak menyerang imigran di Brussels dan di tempat-tempat lain, misalnya di Jerman dan Belanda. Demonstrasi anti imigran melanda seluruh antero Eropa yang digalang oleh organisasi-organisasi anti Islam.
Di sisi lain, sementara serangan teroris membuat orang Eropa membangun benteng untuk melindungi tradisi Eropa yang panjang, mereka juga hidup dengan pengucilan terhadap masyarakat non-Eropa. Orang-orang Eropa sangat mampu mengabaikan kekejaman terhadap imigran yang terjadi di ujung jalan atau hanya menyaksikan banyak pengungsi yang tenggelam di lepas pantai tempat liburan populer tanpa berbuat apa-apa.
Naluri alami orang Eropa adalah membangun pagar pembatas (yang saat ini sudah dipasang di Hungaria dan Macedonia), serta menarik diri ke wilayah aman dengan tradisi, budaya dan masakan yang mereka akrabi. Sementara itu para teroris berharap bahwa di balik kawat berduri perkembangan “nilai-nilai mereka” akan semakin meluas akibat sikap defensif dan rasialis yang ditunjukkan oleh orang Eropa.

Bastille Attacked
Spesial Untuk Mu :  Polisi Tewas Nabrak Belakang Truk Berhenti Pengangkut Sapi Kurban, Sopir Jadi Tersangka

Apakah seluruh Eropa kelak akan terjatuh dalam situasi genting?, itu tergantung bukan hanya pada harmoni di antara kalangan elit, pemegang kekuasaan di Eropa, tetapi juga pada reaksi orang-orang kebanyakan terhadap kaum Muslim, umumnya dan imigran khususnya, paling tidak dalam hal kebijakan dan prosedur keamanan.
Jika Eropa ingin dipertahankan sebagai institusi politik, atau sejarah panjang yang tetap lestari, maka beberapa jenis perubahan perlu dilakukan. Arah kebijakan yang dibuat harus menuju inklusi transformatif, dan tidak ke arah diskriminatif demi esensi keamanan. Sistem nilai yang dibangun haruslah mencakup harmonisasi “kita adalah mereka – mereka adalah kita”. Harmonisasi nilai ini akan mencegah sistem nilai apokaliptik ISIS, yang disandarkan pada pilar-pilar pertentangan “kita” dan “mereka”, semakin meluas dan berkembang.
Kegagalan membangun harmonisasi antara “kita ” dan “mereka” akan membuat Eropa semakin rentan dalam menghadapi serangan teroris. Tidak ada satupun hal yang baik yang didapatkan dari permusuhan, pertentangan. Perdamaian, toleransi, kebebasan adalah nilai-nilai Eropa (dan dunia) yang dipertaruhkan dalam hal ini demi membendung semakin meluasnya pengaruh ISIS.
Sanggupkah Eropa?. (rollingstone/wiki/tvsx)

ISIS Troops