Darmono dan Presiden Jokowi. (dok/ist) |
Djuandi Darmono mengatakan, pendidikan agama tidak perlu diajarkan di
sekolah. Agama cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru
agama di luar sekolah.
dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima
mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu
berbeda,” kata Darmono usai bedah bukunya yang ke-6 berjudul Bringing
Civilizations Together di Jakarta, Kamis (4/7/2019).
Tanpa disadari, lanjutnya, sekolah sudah menciptakan perpecahan di
kalangan siswa. Mestinya, siswa-siswa itu tidak perlu dipisah dan itu
bisa dilakukan kalau mapel agama ditiadakan.
Sebagai gantinya, mapel budi pekerti yang diperkuat. Dengan demikian
sikap toleransi siswa lebih menonjol dan rasa kebinekaan makin kuat.
“Siswa harus diajarkan kalau mereka itu hidup di tengah keanekaragaman.
Namun, keanekaragaman dan nilai-nilai budaya itu yang menyatukan bangsa
ini, bukan agama,” tegasnya.
Kalau agama yang dijadikan identitas, lanjut Darmono, justru akan memicu
radikalisme. Ketika bangsa Indonesia hancur karena radikalisme, belum
tentu negara tetangga yang seagama bisa menerima.
“Kita harus jaga bangsa ini dari politik identitas (agama). Kalau negara
ini hancur, yang rugi kita sendiri. Memangnya kalau kita pindah ke
negara lain yang seagama, kita bisa diterima, kan tidak. Makanya
rawatlah negara ini dengan nilai-nilai budaya, bukan agama,” bebernya.
Dia menyarankan Presiden Joko Widodo untuk meniadakan pendidikan agama
di sekolah. Pendidikan agama harus jadi tanggung jawab orang tua serta
guru agama masing-masing (bukan guru di sekolah). Pendidikannya cukup
diberikan di luar sekolah, misalnya masjid, gereja, pura, vihara, dan
lainnya.
“Kalau mau merawat persatuan dan kesatuan bangsa, itu harus dilakukan.
Cuma saya melihat presiden tersandera oleh berbagai macam kepentingan
politik. Jika ini tidak diubah, sampai kapan pun agama akan dijadikan
alat politik indentitas,” tandasnya. [jn]