Berita  

“DEPOK, KOTA YANG MEMBUNUH IDENTITASNYA”

Depok%2B93f0b539 1c14 4df3 9c7f 976ff351fc6c
Salah satu sudut wajah Kota Depok di usia 19 tahun pada 27 April 2018. (Foto: Grandyos Zafna)

DEPOK-JABAR, SriwijayaAktual.com – Jati diri kota Depok sangat mudah ditelusuri di sepanjang jalan
protokol kota itu. Sayangnya situs yang menjadi penanda jati diri itu
keberadaannya dimutilasi, diisolasi, dan dibiarkan terbengkalai hingga
beberapa diantaranya lenyap.
Mencari keberadaan situs ini
tak sulit, jika kita memasuki Kota Depok dari Lenteng Agung, Jakarta
Selatan, kita akan disambut dengan kampung bernama Pondok Cina di Jalan
Margonda. Walau bernama Pondok Cina, tak ada pecinan di daerah ini. Nama
Pondok Cina diambil dari sebuah rumah milik orang cina yang dulu
menjadi bangunan paling tinggi di daerah itu.
Rumah
ini menjadi bagian penting ketika Cornelis Chastelein membangun
pertanian di atas tanah terletak antara Batavia dengan Buitenzorg pada
1696, yang berjarak 5 kilometer dari rumah Pondok Cina. Chasteleien
membatasi kedatangan orang-orang Cina untuk berdagang di tanahnya hingga
matahari terbenam.
Pada sore hari mereka kembali
lagi ke Batavia. Kampung Bojong, nama kampung tempat rumah Pondok Cina,
berdiri menjadi persinggahan sekaligus hunian sementara. Buku Berkembang Dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1990-an karya Tri Wahyuning M. Irsyam, menuliskan orang Cina diterima tuan tanah dan mendirikan pemondokan di wilayah itu. 
Rumah Pondok Cina sendiri dibeli oleh Lauw Tek Tjiong, kemudian
diwariskan kepada anaknya Lauw Cheng Shiang. Foto yang terpampang dalam
foto Tri menunjukkan bentuk rumah itu secara utuh. Bangunan teras dan
ruang depan dibentuk dengan gaya eropa. Bagian tengah ke belakang gaya
itu dipertahankan dengan menggunakan atap genteng.
Namun
kondisi rumah yang menjadi pintu masuk Depok ini kini dalam kondisi
mengenaskan. Kemegahan rumah Pondok Cina diimpit oleh The Margo Hotel
dan Mall Margo City. Bangunan yang dipertahankan-pun hanya teras dan
ruang depan saja, bahkan sempat dimanfaatkan menjadi kafe.
Dari
Pondok Cina kita melaju ke selatan lagi, kemudian berbelok menuju ke
Jalan Raya Bogor. Lahan luas milik Radio Republik Indonesia (RRI) di
Kecamatan Cimanggis menyimpan sebuah rumah besar milik janda Gubernur
Jenderal VOC, Adrianna Johanna Bake.
Rumah itu
merupakan bangunan ikonik karya arsitektur Indies pertama, David J.
Smith, yang diyakini dibangun pada 1771-1775. Ia memadukan kemegahan
gaya arsitektur Louis XV dengan gaya tropis yang memiliki atap menjorok
dan lebar. Selain itu ornamen heraldik dari pahatan kayu menunjukkan
bentuk bunga sebagai lambang keluarga. 
Tak hanya itu keberadaan rumah ini merupakan pembuka sisi Depok
yang masih berbentuk belantara di antara kampung Betawi. Rumah ini
menjadi persinggahan para orang Belanda yang hendak pergi ke Buitenzorg
dari Batavia atau sebaliknya.
Kuasa Johanna meliputi
tanah berhektar-hektar di sekitar rumah itu. Perkembangan ekonomi
membuatnya membangun Pasar Cimanggis (sekarang Pasar Pal) yang berjarak
sekitar satu kilometer.
Namun berharap keindahan atas
bangunan ini akan menuai kekecewaan. Hampir separuh atap rumah ini
hancur karena tak dipelihara. Belukar menutup seluruh rumah hingga ke
dalam ruangan. Padahal pada 2013 lalu, rumah ini masih dalam kondisi
utuh dan bersih.
Setelah mengecap rubuhnya situs di
pinggir jalan raya penghubung Batavia Buitenzorg, kita berjalan terus ke
selatan menuju jantung tumbuhnya Depok sebagai daerah kosmopolitan pada
masa kolonial, ke area milik Cornelis Chastelein di kawasan Depok Lama.
Sederet rumah di sepanjang Jalan Pemuda merupakan tanah bekas milik
Chasteleien. 
Depok%2B948f3206 39ae 47ea 8150 d23810b4053d 169
Hotel The Margo berdiri di lahan bekas bangunan bersejarah, Pondok Cina. Foto: Grandyos Zafna
Ia menggarap tanahnya hingga memiliki sekitar 150 budak. Tri
Wahyuning menuliskan Chasteleien mengembangkan tanahnya dengan sangat
baik. Ia memperlakukan budak dengan hubungan bapak-anak.
Ketika
meninggal pada 28 Juni 1714, Chasteleien membagi tanahnya ke para
budaknya. Perintah wasiat ini tak terlaksana dengan mulus sehingga tanah
itu berkembang menjadi pemukiman eropa.
Beberapa
bangunan masih dapat dipertahankan bentuknya namun jumlah menyusut.
Sejarawan JJ Rizal menganggap pelestarian cagar budaya tak dapat
melindungi sekitar 50 rumah peninggalan Belanda di daerah itu. Jual beli
dibiarkan begitu saja hingga si pemilik menghancurkan bangunan tanpa
perlindungan cagar budaya.
“Sejarah itu menunjukkan
identitas suatu daerah, dan identitas itu sudah dibunuh di Depok dengan
membiarkan rumah bersejarah tak terlindungi,” keluhnya.
Pembunuhan
melalui absennya kebijakan ini hanya salah satunya. Rizal menyebutkan
penentuan hari ulang tahun Depok pada 27 April-pun didasarkan pada saat
kota Depok lepas dari Kabupaten Bogor. Keputusan ini mengesampingkan
fakta sejarah Depok memiliki akar sejarah sejak zaman kolonial.
“Ini
kan gila, peninggalan sejarah dibiarkan hancur dan jejak sejarah
sebagai kota kosmopolitan dihilangkan begitu saja dari ingatan. Ini
pembunuhan identitas kota itu sendiri,” tegasnya. (detik/ayo/jat)