Dihujat Banyak Pihak Khususnya Umat Islam, Saksi Ahli Ahok Tulis Surat Terbuka

Berita17 Dilihat
Ahmad Ishomuddin (fb)
SriwijayaAktual.com – Saksi ahli yang dihadirkan tim pengacara terdakwa kasus penistaan
agama Basuki Tjahaja Purnama (BTP), Ahmad Ishomuddin memberikan klarifikasi
terkait berbagai serangan kepadanya. 
Serangan terhadap Ishomoddin tidak hanya melalui media sosial
tetapi juga dari berbagai media online, termasuk dari kolega di IAIN
Raden Intan Lampung yang membuat pernyataan sikap secara tertulis
terkait pernyataannya yang membela Ahok.
Atas dasar itu, Ishomuddin memberikan klarifikasi melalui akun
Facebooknya, hari ini Juma’t (24/3/2017). 
Berikut redaksi kutipkan secara langsung,
tabayun tersebut: 
“TABAYYUN SETELAH SIDANG KE-15 KASUS PENODAAN AGAMA
Oleh: Ahmad Ishomuddin 
Beberapa waktu lalu saya diminta oleh penasehat hukum bapak BTP
(Ahok) untuk menjadi saksi ahli atas kasus penodaan agama yang
didakwakan kepadanya. Penasehat hukum dalam UU Advokat juga termasuk
penegak hukum di negara konstitusi Republik Indonesia, sebagaimana dewan
hakim dan para JPU (Jaksa Penuntut Umum). Karena kesadaran hukumlah
saya bersedia hadir dan menjadi saksi ahli dalam sidang ke-15.
Saya menyadari betul dan sudah siap mental menghadapi resiko apa
pun, termasuk mempertaruhkan jabatan saya yang sejak dulu saya tidak
pernah memintanya, yakni baik sebagai Rais Syuriah PBNU (periode
2010-2015 dan 2015-2020) maupun Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat
(2015-2020), demi turut serta menegakkan keadilan itu. Sebab, sepertinya
umat Islam sudah lelah dan kehabisan energi karena terlalu lama
mempersengketakan kasus pak BTP (Ahok). Sebagian umat yakin ia pasti
bersalah dan sebagian lagi menyatakan belum tentu bersalah menistakan
Qs. al-Maidah ayat 51.
Oleh sebab itu, persengketaan dan perselisihan tersebut segera
diselesaikan di pengadilan, agar di negara hukum kita tidak memutuskan
hukum sendiri-sendiri. Saya hadir, sekali lagi saya nyatakan, di
persidangan karena diminta dan karena ingin turut serta terlibat untuk
menyelesaikan konflik seadil-adilnya di hadapan dewan hakim yang
terhormat.
Saya hadir di persidangan bukan atas nama PBNU, MUI, maupun IAIN
Raden Intan Lampung, melainkan sebagai pribadi. Tidak mewakili PBNU dan
MUI karena sudah ada yang mewakilinya. Saya bersedia menjadi saksi ahli
pada saat banyak orang yang diminta menjadi saksi ahli pihak pak BTP
berpikir-pikir ulang dan merasa takut ancaman demi menegakkan keadilan.
Dalam hal ini saya berupaya menolong para hakim agar tidak menjatuhkan
vonis kepadanya secara tidak adil (zalim), yakni menghukum orang yang
tidak bersalah dan membebaskan orang yang salah. Tentu karena saya juga
berharap agar seluruh rakyat Indonesia tenang dan tidak terus menerus
gaduh apa pun alasannya hingga vonis dewan hakim diberlakukan. Rakyat
harus menerima keputusan hakim agar tidak ada lagi anak bangsa ini main
hakim sendiri di negara hukum.
Saya hadir sebagai saksi ahli agama karena dinilai ahli oleh para
penasehat hukum terdakwa, dan di muka persidangan saya tidak mengaku
sebagai ahli tafsir, melainkan fiqih dan ushul al-fiqh. Suatu ilmu yang
sudah sejak lama saya tekuni dan saya ajarkan kepada para penuntut ilmu.
Namun, itu bukan berarti saya buta dan tidak mengerti sama sekali
dengan kitab-kitab tafsir. Alhamdulillah, saya dianugerahi oleh Allah
kenikmatan besar untuk mampu membaca dan memahami dengan baik berbagai
referensi agama seperti kitab-kitab tafsir berbahasa Arab, bukan dari
buku-buku terjemahan. Semua itu adalah karena barakah dan sebab doa dari
orang tua dan para kyai saya di berbagai pondok pesantren.
Kronologi fb Ahmad Ishomuddin
Saat saya ditanya tentang pendidikan terakhir saya oleh ketua
majelis hakim, saya menjawab bahwa pendidikan formal terakhir saya
adalah Strata 2 konsentrasi Syari’ah. Saya memang belum bergelar Doktor,
meski saya pernah kuliah hingga semester 3 di program S-3 dan tinggal
menyusun disertasi namun sengaja tidak saya selesaikan. Jika ada yang
menyebut saya Doktor saya jujur dengan mengklarifikasinya, sebagaimana
saat orang menyebut saya haji, karena benar saya belum haji. Bagaimana
saya mampu berhaji, saya miskin dan banyak orang yang tahu bahwa bahwa
saya sekeluarga hidup sederhana di rumah kontrakan yang sempit. Namun
sungguh saya tidak bermaksud melakukan pembohongan publik. Saya yakin
sepenuhnya bahwa penguasaan ilmu dan kemuliaan itu adalah diberikan oleh
Allah kepada para hamba yang dikehendaki-Nya dan karenanya saya tidak
pernah merendahkan siapa saja. Titel kesarjanaan, gelar panggilan kyai
haji, dan pangkat bagi saya bukanlah segalanya. Saya berusaha
menghormati siapa saja yang menjaga kehormatannya. Bagi saya berbeda
pendapat adalah biasa dan wajar saja dan karenanya saya tetap menaruh
hormat kepada siapa saja yang berbeda dari saya, terutama kepada orang
yang lebih tua, lebih-lebih kepada para kyai sepuh.
Dalam persidangan ke-15 itu tentulah saya menjawab dengan benar,
jujur, tanpa sedikitpun kebohongan, di bawah sumpah semua pertanyaan
yang diajukan, baik oleh Majelis Hakim, para Penasehat Hukum, maupun
para para Jaksa Penuntut Umum (JPU). Apabila para saksi, baik saksi
fakta maupun saksi ahli, yang diajukan JPU lebih bersifat memberatkan
terdakwa karena yakin akan kesalahannya, maka saya sebagai saksi ahli
agama yang diajukan oleh para Penasehat Hukum bersifat meringankannya,
selanjutnya nanti majelis hakimlah yang akan memutuskannya. Kesaksian
itu saya berikan berdasarkan ilmu, sama sekali bukan karena dorongan
hawa nafsu seperti karena ingin popularitas, karena uang dan atau
keuntungan duniawi lainnya. Sungguh tidaklah adil dan bertentangan
dengan konstitusi jika saya disesalkan, dilarang, dimaki-maki, diancam
dan bahkan difitnah karena kesaksian saya itu, baik di dunia nyata
maupun di dunia maya.
Sangat disesalkan bahwa gelombang fitnah dan teror telah menimpa
saya, terutama di media sosial yang kebanyakan ditulis dan dikomentari
tanpa tabayyun. Berita yang beredar tentang diri saya dari sisi-sisi
yang tidak benar langsung dipercaya dan segera terburu-buru
disebarluaskan. Di antaranya berita bahwa saya menyatakan bahwa Qs.
al-Maidah ayat 51 tidak berlaku lagi, tidak relevan, atau expaired.
Berita itu berita bohong (hoax). Yang benar adalah bahwa saya mengatakan
bahwa konteks ayat tersebut dilihat dari sabab an-nuzulnya terkait
larangan bagi orang beriman agar tidak berteman setia dengan orang
Yahudi dan Nasrani karena mereka memusuhi Nabi, para sahabatnya, dan
mengingkari ajarannya. Ayat tersebut pada masa itu tidak ada kaitannya
dengan pemilihan pemimpin, apalagi pemilihan gubernur. Adapun kini
terkait pilihan politik ada kebebasan memilih, dan jika berbeda
hendaklah saling menghormati dan tidak perlu memaksakan pendapat dan
tidak usah saling menghujat. Kata ” awliya’ ” yang disebut dua kali
dalam ayat tersebut jelas terkategori musytarak, memiliki banyak
arti/makna, sehingga tidak monotafsir, tetapi multi tafsir. Pernyataan
saya tersebut saya kemukakan setelah meriset dengan cermat sekitar 30
kitab tafsir, dari yang paling klasik hingga yang paling kontemporer.
Saya sangat mendambakan dan mencintai keadilan. Oleh sebab itu,
setiap ada berita penting menyangkut siapa saja, baik muslim maupun non
muslim, lebih-lebih jika menyangkut masa depan dan menentukan baik-buruk
nasibnya, maka jangan tergesa-gesa di percaya. Untuk menilai secara
adil dan menghindarkan kezaliman menimpa siapa pun maka berita itu harus
diteliti benar tidaknya dengan hati-hati, wajib dilakukan tabayyun
(klarifikasi) kepada pelakunya atau ditanyakan kepada warga di tempat
kejadian perkara.
Dalam hal terkait pak BTP (Ahok) saya tahu bahwa dalam
mengeluarkan sikap keagamaan yang menghebohkan itu MUI Pusat tidak
melakukan tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu, baik terutama kepada
pak BTP (Ahok) maupun langsung kepada sebagian penduduk kepulauan
Seribu, karena MUI Pusat merasa yakin dengan mencukupkan diri dengan
hanya menonton video terkait dan memutuskan Ahok bersalah menistakan
al-Qur’an dan Ulama. Padahal dalam al-Qur’an diperintahkan agar umat
Islam bersikap adil dan sebaliknya dilarang zalim, kepada siapa saja
meskipun terhadap orang yang dibenci. Maka janganlah berlebihan dalam
hal apa saja, termasuk jangan membenci berlebihan hingga hilang rasa
keadilan.
Bila kemudian saya menyatakan pendapat yang berbeda dengan Ketua
Umum MUI (KH. Ma’ruf Amin) sebagai saksi fakta dan Wakil Rais Aam PBNU
(KH. Miftahul Akhyar) sebagai saksi ahli agama di sidang pengadilan itu,
maka itu hal biasa, wajar, dan hal yang lazim saja. Bagi saya berbeda
pendapat itu tidak menafikan penghormatan saya kepada dua kyai besar
tersebut. Dalam hal yang didasari oleh ilmu, bukan hawa nafsu, berbeda
itu biasa dan merupakan sesuatu yang berbeda dari persoalan
penghormatan. Sebagai muslim saya terus memerangi nafsu untuk bersikap
tawadlu’ (rendah hati) sepanjang hayat.
Terhadap setiap pujian kepada saya, saya tidak bangga dan saya
kembalikan kepada pemilik semua pujian yang sesungguhnya, Allah ta’ala.
Sebaliknya, terhadap caci maki, celaan, fitnah dan apa saja yang
menyakiti hati saya tidak kecewa dan tidak takut, karena saya menyadari
keberadaan para pencaci di dunia yang sementara ini. Saya harus berani
menyampaikan apa yang menurut ilmu benar. Rasanya percuma hidup sekali
tanpa keberanian, dan menjadi pengecut. Kebenaran wajib disampaikan,
betapa pun pahitnya.
Hanya kepada Allah saya mohon petunjuk dan perlindungan. Semoga
kita dijauhkan dari kezaliman, kejahatan syetan (jenis manusia dan jin),
dan dijauhkan dari memperturutkan hawa nafsu. (rima)

Komentar