Berita  

HEBOH! Polisi Ini Tidak Mengakui Jokowi Sebagai Presiden Indonesia, Kenapa ya?

keadilan
Ilustrasi

MALANG-JATIM, SriwijayaAktual.com
Ini barangkali kasus cukup langka yang ada di dalam sidang Pengadilan
Negeri (PN) Kota Malang. Karena saat sidang Kamis  (27/4/2017), ada dua
penggugat dalam kasus perdata menyebut tidak mengakui semua produk hukum
yang dikeluarkan PN. Ironisnya, satu dari dua penggugat itu, yakni
Aiptu Suyanto adalah seorang polisi.


Dia anggota Polres Malang Kota di bagian sarana-prasarana. Sedangkan
satu penggugat lain adalah Harianto, warga Jalan Gunung Agung, Kecamatan
Sukun. Kenapa keduanya tidak mengakui produk hukum PN? Karena PN,
menurut keduanya, di bawah Presiden RI Joko Widodo yang dianggap bukan
sebagai kepala negara. Jokowi hanya kepala pemerintahan saja. Karena
posisi presiden dianggap tidak sah, maka lembaga di bawahnya, termasuk
Mahkamah Agung (MA) yang kini dipimpin Hatta Ali hingga ke PN juga tidak
sah. Yang sah sebagai presiden sekaligus kepala negara, menurut dua
penggugat itu, adalah Achmad Mujais, warga Perum Royal Janti Residence,
Kelurahan Sukun, Kecamatan Sukun, Kota Malang.

Pernyataan bahwa Achmad Mujais yang sah sebagai presiden dan bukan
Jokowi itu terungkap dalam sidang perdana kasus perdata dengan penggugat
Aiptu Suyanto. Sidang perdata ini menyusul eksekusi rumah milik Suyanto
di Jalan Danau Maninjau Nomor 138, Kelurahan Sawojajar, Kecamatan
Kedungkandang, 26 Januari 2017. Rumah tersebut disita oleh PN Kota
Malang berdasar surat bernomor 26/Eks/2016/ PN.Mlg karena menjadi agunan
(jaminan) kredit di Bank Nusantara Parahyangan (BNP).
Pinjaman senilai Rp 375 juta itu macet. Padahal, peminjam uangnya
atas nama Suheri, teman Suyanto. Sehingga Suyanto merasa hanya menjadi
korban. Namun, karena sertifikat rumah Suyanto yang jadi agunan, maka
rumah itu yang disita. Karena tak terima dengan penyitaan rumah itu,
Suyanto melayangkan gugatan perdata bernomor 15/Pdt. Plw/2017/PN Mlg.
Ada sejumlah pihak yang digugat. Yakni Deni Nugraha, pemohon eksekusi
serta Bank Nusantara Parahyangan Tbk Bandung. Ketua PN Kota Malang Sihar
Hamonangan Purba termasuk juga ikut digugat karena mengeluarkan surat
eksekusi, padahal tak punya kewenangan.
Suyanto juga memasukkan nama Presiden Jokowi sebagai tergugat. Dalam
sidang yang dipimpin Johanis Hehamony dengan anggota Martaria Yudith dan
Intan Tri Kumalasari itu, Suyanto secara berani beberapa kali melakukan
interupsi serta berdebat dengan hakim. Johanis beberapa kali meminta
Suyanto untuk diam. ”Nanti dulu, belum waktunya dimintai pendapat,” kata
Johanis kepada Suyanto.
Giliran dapat kesempatan berbicara, justru yang disampaikan Suyanto
tidak pada pokok perkara penyitaan rumah. Dia mempersoalkan keabsahan
para hakim. Dia menilai para hakim juga tidak sah. ”Bapak-bapak (para
hakim, Red) turut tergugat dalam perkara dengan nomor 73,” ucap Suyanto.
Gugatan perkara nomor 73 yang dimaksud Suyanto adalah para hakim yang
mengeksekusi rumahnya itu ilegal.
Sebab, MA yang menaungi hakim di PN hingga Presiden Jokowi pun tidak
sah. Yang dianggap sah sebagai presiden adalah Achmad Mujais sejak 9
April 2014. Mendapat ”serangan” dari Suyanto, para hakim memutuskan
untuk menskors sidang hingga 40 menit. Setelah jeda, Johanis langsung
membaca empat putusan untuk Suyanto. Yakni menyatakan Suyanto dan kuasa
hukumnya Shandy Irawan divonis telah melakukan tindakan makar (berniat
menggulingkan pemerintahan yang sah).
Karena tidak mengakui presiden yang sah secara hukum, Suyanto
dianggap akan menggulingkan pemerintahan yang sah. ”Karena telah
menyatakan bahwa Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Ketua MA Hatta Ali,
dan para pejabat di bawah MA tidak sah. Dan menyatakan Mujais sebagai
presiden dan ketua MA serta hakim pemutus perkara yang sah,” tegas
Johanis. Johanis menambahkan, Suyanto juga tidak berhak mengajukan
gugatan di pengadilan RI. ”Sebab, dia bertentangan dengan Undang- Undang
Dasar negara RI tahun 1945,” tuturnya.
Hakim juga memutus pemeriksaan perkara perdata itu dihentikan demi
kepentingan umum. ”Membebankan segala biaya perkara kepada penggugat dan
kuasa hukumnya secara tanggung renteng yang ditetapkan Rp 1,6 juta,”
imbuh Johanis seraya menutup sidang. Usai mendapatkan putusan terse but,
hakim sempat menanyakan kepada Suyanto, apakah terima atau tidak.
Termasuk juga apakah bakal melakukan banding. Tetapi secara tegas
Suyanto menolaknya. ”Saya tidak terima dan sampai kapan pun tak akan
terima,” ujar anggota Polres Malang Kota ini.
Usai sidang, Suyanto memilih langsung pergi. Dia enggan menjawab
pertanyaan wartawan. ”Sudah, tidak ya,” kata Suyanto seraya pergi. Nasib
serupa dialami Harianto. Dalam sidang perdata di PN kemarin, pria yang
menjadi anggota Koperasi Indonesia pimpinan Achmad Mujais ini oleh hakim
dianggap makar. Sebab, dia menggugat Presiden Jokowi; Ketua MPR
Zulkifli Hasan; Ketua MA M. Hatta Ali; Wali Kota Malang Moch. Anton;
Menteri Keuangan Sri Mulyani; dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus
Martowardojo. Para pejabat itu bertanggung jawab untuk mencairkan dana
Rp 108 triliun ke Koperasi Indonesia.
Dana itu adalah pendapatan negara bukan pajak yang seharusnya untuk
program dana bergulir yang bisa dikelola Koperasi Indonesia. Koperasi
pimpinan Mujais inilah yang berhak mengelola uang negara. Harianto juga
menuntut para tergugat secara tanggung renteng menyerahkan uang Rp 100
juta setiap hari kepada penggugat. Menyikapi tuntutan Harianto ini, para
hakim memvonis penggugat telah berbuat makar.
Hakim juga menghentikan pemeriksaan perkara. ”Menetapkan biaya
perkara ditanggung oleh penggugat dan kuasa hukumnya,” tegas Johanis
kembali. Usai sidang, Harianto juga sama dengan Suyanto. Dia memilih
enggan berkomentar. Dan dia menyerahkan perkara ini ke kuasa hukumnya.
”Biar pengacara saya nanti yang mengurus,” ujarnya seraya pergi.
Lantas siapa sebenarnya Achmad Mujais? Jawa Pos Radar Malang mulai
kemarin, pukul 14.00–19.00, nyanggong di rumah dan kantor Achmad Mujais
di Perum Royal Janti Residence. Namun, oleh Munawar, pengurus koperasi,
koran ini dihalangi-halangi. ”Beliau (Mujais) sedang rapat penting.
Tidak bisa diganggu,” tegas Munawar, kemarin sore. Ketika wartawan koran
ini berniat untuk menunggu hingga rapat selesai, Munawar mengungkapkan
tetap tidak bisa. ”Kalau mau bertemu Pak Mujais harus membawa surat
resmi yang berisikan keperluannya seperti apa. Tidak bisa langsung
bertemu,” terangnya. Awalnya ketika datang, wartawan koran ini disuruh
untuk mengisi buku tamu terlebih dulu.
Dalam buku tamu tersebut terdapat isian nama, instansi, keperluan,
tanggal, jam kedatangan, serta tanda tangan pengisi. Terlihat juga dua
pegawai PN Kota Malang yang baru saja mengisi buku tamu tersebut sebelum
wartawan koran ini datang. Dari keterangan Sutari, salah satu anggota
Koperasi Indonesia, Achmad Mujais memang diyakini presiden RI yang sah.
Karena sebelum tahun 2014, Indonesia masih belum punya kepala negara.
Yang ada hanya kepala pemerintah, yakni presiden.
Begitu tahun 2014, Mujais mendeklarasikan diri sebagai presiden
dengan membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Negara Republik Indonesia.
Peran pria yang pernah mencalonkan diri sebagai wali kota periode
2010–2015 itu sebagai kepala negara. ”Karena beliau itu keturunan Raja
Majapahit,” terang Sutari dengan enteng. Mengetahui ada anggotanya yang
disebut makar, Kapolres Malang Ko ta AKBP Hoiruddin Hasibuan memilih
meminta waktu. ”Saya mau cek di kantor dulu. Nanti saya pelajari,”
ujarnya. (zuk/viq/c2/abm/JPG)