Berita  

‘Indonesia Mampu Bantu Palestina Hadapi Kebiadaban Israel’

SriwijayaAktual.com – KEKEJIAN pemerintah Israel terhadap
warga Palestina terus bergerak seperti tiada ujung. Dalam beberapa hari
terakhir, kekejian itu kian memuncak dengan adanya kebijakan melakukan
pembatasan terhadap warga muslim yang hendak melakukan salat lima waktu
dan salat Jumat di Masjid Al-Aqsa.

Apakah Indonesia bisa membantu Palestina? Beberapa kendala dan peluang perlu dijadikan catatan.

Kali
ini, kisruh bermula pada hari Jumat, 14 Juli 2017. Tiga orang Arab
Israel keluar dari kompleks Haram al-Sharif dan menembak mati dua polisi
Israel yang sedang berjaga. Usai menembak, pelaku lari ke lokasi Masjid
Al-Aqsa. Aparat militer Israel lantas mengejar dan berhasil menewaskan
pelaku.

Tapi ternyata kasus tidak hanya berhenti pada tewasnya
pelaku penembakan. Pada hari itu juga, Pemerintah Israel menutup akses
ke Masjid Al-Aqsa. Lacur yang terjadi, warga Palestina gagal melakukan
ibadah salat Jumat dalam masjid. Ini merupakan penutupan pertama kali
sejak wilayah itu diduduki Israel 69 tahun silam.

Penutupan
berlangsung sampai esok hari. Sedangkan malam harinya, Perdana Menteri
Israel Benjamin Netanyahu mengeluarkan kebijakan bahwa Israel bakal
membuka akses ke Masjid Al-Aqsa tetapi dengan syarat: Israel memasang
alat detektor logam berikut kamera pengawas untuk mencegah serangan
susulan.

Persyaratan Israel tersebut terang saja memantik reaksi
keras. Warga Palestina memilih menolak masuk Masjid Al-Aqsa sampai
Israel mencabut kebijakannya.  Dan bentrok tidak bisa dihindarkan.
Beberapa nyawa melayang dan ratusan umat muslim terluka.

Dalam
sebuah rekaman video, tampak militer Israel menendang warga Palestina
yang sedang salat. Militer Israel menembakkan amunisi, gas air mata, dan
peluru dilapisi karet. Bahkan, mereka menyemburkan granat setrum kepada
kerumunan pendemo.

Peristiwa berdarah ini hanya satu momen
kecil dari sejarah panjang kekejian militer Israel terhadap warga
Palestina. Kekejian yang berulang-ulang, entah sampai kapan.

Dukungan
umat Muslim mengalir deras kepada Palestina. Termasuk dari Indonesia.
Salah satu bentuk konkret dukungan adalah Syawalan dan Konser Amal
bersama Opick di GOR UNY, Yogyakarta, Minggu (23/7/2017). Kegiatan yang
dimotori Konsorsium Yayasan Mulia bekerja sama dengan Komite Nasional
untuk Rakyat Palestina (KNRP) ini sanggup memenuhi ruangan GOR yang
berkapasitas 10 ribu orang. Pengunjung secara antusias merogoh kocek
untuk memberikan santunan bagi perjuangan Palestina. Total terkumpul
dana hampir Rp 2 miliar.

Urusan uang, umat Muslim Indonesia
memang bisa dibilang gencar membantu Palestina. Lihat saja, banyak
lembaga penyalur donasi. Misalnya KISPA, ACT, MER-C, PORTALINFAQ, PKPU,
DOMPET DHUAFA, DDR, BSMI, KNRP, PMI, dan lainsebagainya. Lembaga-lembaga
itu juga menyertakan bentuk konkret penyaluran bantuan bagi Palestina.

Lantas bagaimana bentuk dukungan oleh pemerintah Indonesia sendiri?
Dalam
beberapa kesempatan, bahkan sebelum menjadi Presiden, Joko Widodo
(Jokowi) menjanjikan bakal sekuat tenaga membantu agar Palestina bisa
merdeka. Janji itu ditegaskan ketika Jokowi membuka Konferensi Tingkat
Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerjasama Islam (KTT LB OKI) ke-5 di
Plenary Hall JCC Senayan, Jakarta, Senin (7/3/2016). 
“Pada
tahun 1962, Bapak Bangsa Indonesia, Presiden Pertama Republik Indonesia,
Sukarno, Bung Karno, menegaskan ‘Selama kemerdekaan bangsa Palestina
belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa
Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel’
. Kami bangsa Indonesia
konsisten dengan janji tersebut,” kata Jokowi ketika itu.
Ketika
konflik di Masjid Al-Aqsa pecah pun, Pemerintah langsung mengontak
negara-negara menjalin diplomasi. Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi
menelepon Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Rex Tillerson. Menteri
Retno juga melakukan komunikasi intensif dengan Menlu Yordania,
Palestina, Turki, serta Sekretaris Jenderal OKI. Intinya, Pemerintah
Indonesia mengecam tindakan Israel dan berusaha mencari jalan keluar
terbaik bagi Palestina.
Namun bagi beberapa kalangan, perintahan
Presiden Jokowi kurang maksimal dalam memberikan bantuan terhadap
perjuangan Palestina. Maka, demo-demo pun digelar. Mereka mereka
menganggap Jokowi ingkar janji.
Benarkah Jokowi ingkar janji?
Bisa jadi benar, bisa jadi juga tidak. Tetapi memang ada beberapa hal
yang membuat pemerintah Indonesia dalam posisi sulit. Utamanya adalah
status Indonesia sebagai negara dunia ketiga alias negara berkembang
alias negara dengan bejibun utang luar negeri.
Sejak Indonesia
diperintah oleh Presiden Soekarno hingga Presiden Jokowi, utang luar
negeri tidak pernah susut. Sebaliknya, jumlah utang luar negeri semakin
menggunung. Saat ini saja, menurut Bank Indonesia ( BI), utang luar
negeri  mencapai 326,3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 3.672 triliun.
Angka ini naik 2,9 persen secara tahunan (yoy) dibandingkan pada kuartal
sebelumnya yang mencapai 2 persen (yoy). Sekretaris Kabinet, Pramono
Anung, juga mengakui kalau tiap tahun, Indonesia wajib mencicil utang
plus bunga sebesar Rp 250 triliun.
Dalam teori Ketergantungan
atau teori Dependensi, negara-negara kaya alias maju memang sengaja
menciptakan dan merawat dominasi terhadap negara miskin dan negara
berkembang. Tujuannya agar negara maju tetap maju dan negara miskin
tetap miskin. Negara maju bisa mengintervensi negara miskin dan
sebaliknya negara miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali menurut.
Pada
teori Ketergantungan dipaparkan pula berbagai langkah untuk
menghilangkan dominasi negara maju. Salah satunya yang ditawarkan oleh
Raul Presbich. Menurutnya, negara terbelakang harus melakukan
industrialisasi. Memproduksi sendiri barang-barang yang semula berasal
dari negara lain (impor). Untuk itu, kebijakan pemerintah di bidang
ekonomi menjadi sangat penting. Termasuk proteksi barang-barang masuk
dari luar negeri agar industri dalam negeri bisa berkembang pesat. Jadi
bukan sebaliknya, yaitu banyak melakukan impor dengan alasan
menstabilkan harga.
Namun lepas dari status sebagai negara
berkembang, Indonesia sebenarnya telah memiliki potensi besar di ranah
internasional. Potensi yang bisa dimaksimalkan untuk membantu perjuangan
kemerdekaan rakyat Palestina. Pertama, Indonesia sebagai negara dengan
penduduk muslim yang sangat besar. Kedua, muslim Indonesia memiliki
spirit kuat untuk membantu Palestina. Ketiga, Indonesia mewarisi konsep
Trisakti dari ajaran Soekarno.
Sebagai negeri dengan penduduk
muslim yang sangat besar, Indonesia memiliki power mendesak dalam
Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk melakukan sidang darurat
membahas masalah Palestina. Jika ini terwujud, posisi diplomasi
Palestina menjadi lebih kuat di hadapan Israel. Bersatunya negara-negara
islam tentu saja bisa mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mendesak Israel
menghentikan kekejiannya terhadap warga Palestina.
Presiden
Jokowi juga perlu memimpin langsung diplomasi keluar negeri. Peran ini
tidak bisa hanya didelegasikan kepada menteri luar negeri. Jokowi harus
mengagendakan kunjungan ke negera-negara lain. Secara politis, diplomasi
yang dilakukan presiden tentu lebih kuat dibandingkan dilakukan oleh
menteri.
Turun tangannya Jokowi memimpin diplomasi, ini
sekaligus bentuk penerapan dari ajaran Trisakti. Berkedaulatan dalam
politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Artinya, Presiden Jokowi secara serius menunjukkan sikap politik
Indonesia kepada dunia. Artinya lagi, Indonesia berani mengambil risiko.
Sedangkan di dalam negeri, muslim Indonesia sudah terbukti
memiliki niat kuat membantu Palestina. Itu terbukti dengan adanya
aksi-aksi nyata. Tidak sekadar lontaran kecaman atau prihatin, muslim
Indonesia rela merogoh kocek untuk menyisihkan sebagian rejekinya.
Sedikit atau besar, dana dari Indonesia tentu berpengaruh bagi realisasi
perjuangan Palestina.
Di sisi lain, muslim Indonesia tetap
percaya bahwa perjuangan melawan Israel telah dijamin keberhasilannya
dalam Alquran. “Dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan Israel)
yang kedua, (Kami datangkan orang-orang Islam di bawah pimpinan Imam
Mahdi) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam Masjid
(Al-Aqsha), sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama,
dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa yang mereka kuasai”. (QS.
Al-Isra’: 7). [but/BJ]