(Istimewa) |
1970-an Tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman
seperti hadir kembali saat kita memperingati hari pangan se-dunia setiap
tahun. Begitu gemah ripah loh jinawi-nya negeri kita. Sumber makanan
dari darat dan lautan begitu melimpah.
saat ini, kondisinya justru terasa jauh berbeda. Kita terasa disindir
lagu tersebut. Karena gambaran negara yang loh jinawi sudah serasa jauh
dari kondisi saat ini. Rasanya, kita justru menjadi negara yang tidak
mampu berdaulat dalam urusan pangan.
Indonesia saat ini hanya mencapai 46,7 berada di urutan 74 dari 105
negara di dunia. Dan kalau kita bandingkan dengan negara tetangga
seperti Malasyia, Thailand dan Negara ASEAN lainnya kita tertinggal
jauh. Tentu ini menjadi sebuah ironi, Indonesia dengan sumber daya alam
yang melimpah tetapi tingkat ketahanan pangannya justru terpuruk.
seperti gandum, kedelai, beras, buah-buahan semakin membuat miris. Coba
kita lihat dari satu komoditas gandum saja. Berdasarkan data Asosiasi
Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) periode Januari-Juni 2016,
total impor terigu mencapai 97.349 metrik ton dengan nilai US$
28,22juta. Sementara impor biji gandum periode yang sama, tercatat total
mencapai 5.692.630 metrik ton dengan nilaiUS$ 1,31 miliar. Belum lagi
impor gandum untuk kebutuhan pakan ternak yang cukup besar mencapai
1.506.293 ton, atau naik 86.957,4% dibandingkan periode yang sama di
2015 sebesar 1.730 ton.
gandum? Bukankah negara kita yang tropis oleh Tuhan tidak didesain
dengan sumber pangan tersebut. Tentu saja ini menjadi sebuah keanehan,
sedangkan Tuhan dengan firmanNya jelas-jelas menegaskan bahwa semua yang
hidup dari binatang yang kecil dan melata seperti cacing sudah
disediakan sumber makanannya. Sumber makanan suatu negara tentu saja
sejalan dengan jenis tanah dan iklimnya. Maka pilihannya hanya satu,
kita harus segara ke luar dari jebakan pangan tersebut. Saatnya kita
kembali ke sumber pangan kita sendiri yang begitu melimpah dari Sabang
sampai Merauke.
masyarakat Purworejo, Banyumas dan sekitarnya biasa menyebut ‘bodin’.
Singkong merupakan komoditas yang mudah tumbuh dimanapun di Indonesia.
Dari lahan gambut yang ada di Kalimantan sampai dengan lahan yang kering
seperti di Gunungkidul. Singkong mempunyai karakter unik untuk bahan
pangan alternatif selain beras. Bahkan singkong dengan pengolahan secara
khusus melalui fermentasi yang biasa dikenal dengan tepung Mocaf
(modified cassava flour) karakternya bisa menggantikan tepung terigu.
Karakter tanaman singkong yang mudah beradaptasi dengan lingkungan
tersebut sesungguhnya menarik untuk dikembangkan. Tetapi perhatian
pemerintah saat ini dengan varietas singkong masih setengah hati. Sumber
pangan dari singkong masih dipandang sebagai bermutu rendah (inferior).
swasembada beras, walaupun hasilnya masih jauh dari harapan swasembada
yang dicita-citakan. Mengapa kita tidak mencoba alternatif lain? Seperti
mendorong singkong sebagai sumber pangan kedua setelah beras, bukan
malah terigu/gandum yang seratus persen berasal dari import.
impor gandum dengan mulai mengganti tepung non gandum seperti singkong
melalui swasembada singkong nasional, sebagai sumber pangan alternatif
selain beras. Sehingga dalam kurun waktu tertentu kita akan bisa
menghentikan impor gandum dengan mengganti dengan tepung dari pangan
lokal seperti singkong. Modal triliunan untuk impor gandum bisa
diarahkan untuk mendorong swasembada beras dan singkong nasional
sehingga akan berdampak kepada kesejahteraan petani. Tentu saja ini
adalah sebuah wacana yang masih perlu didiskusikan lebih lanjut,
sehingga pada saatnya dapat ditemukan konstruksi yang tepat untuk
mengembalikan jatidiri sebagai bangsa yang berdaulat termasuk dalam
urusan pangan. (*).
Kecil (PinBUK) dan Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat PWM DIY.
Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 18
Oktober 2016