Berita  

Infrastruktur & Teknologi Keuangan Dibajak jadi Alat Penghisapan Kartel ‘KUASA GELAP’, Jika Presidennya Tak Punya Gagasan Besar

Harys Rusli [net]
Oleh:
Harys Rusli
(Eksponen Mahasiswa 1998, Yogyakarta)

OPINI, SriwijayaAktual.com – Sebagaimana nuklir yang dapat disalahgunakan menjadi senjata pemusnah
masal. Nuklir juga dapat bermanfaat untuk tujuan kesejahteraan umat
manusia, bisa digunakan sebagai pembangkit listrik, dapat juga untuk
rekayasa teknologi dan industri yang lebih efisien, dll.
Teknologi, juga infrfrastruktur, adalah alat untuk memudahkan
kehidupan manusia. Namun teknologi tak netral, berpotensi menjerat umat
manusia. Sangat bergantung kepada gagasan besar dibalik penguasa yang
mengendalikan teknologi tersebut.
Kisah penyimpangan fungsi dan tujuan dari inovasi teknologi
digambarkan secara fiksi dengan sangat baik di dalam film Geostorm. Film
tersebut saat ini sedang tayang di bioskop, sangat menarik ditonton.
Film ini mengisahkan inovasi teknologi satelit terbaru untuk tujuan
keselamatan bumi dan umat manusia.
Diceritakan, untuk mengatasi perubahan iklim dan anomali cuaca yang
sangat ekstrem di masa depan. Sejumlah ilmuan dari 17 negara di dunia
berkumpul, mereka bekerjasama, bermusyawarah dan bermufakat untuk
melakukan riset dan inovasi. Mega projek itu dipimpin dan diarsiteki
oleh seorang ilmuan dari Amerika, Jack Lawson, yang diperankan oleh
Gerard Butler, artis papan atas Hollywood.
Para ilmuan yang dipimpin Jack Lawson tersebut kemudian berhasil
merancang teknologi satelit yang diberi nama Dutch Boy. Teknologi
satelit itu berfungsi mengontrol iklim dan mengendalikan cuaca ekstrim
yang mengancam kehidupan umat manusia.
Namun dalam perjalanannya, satelit pengontrol cuaca dan pengendali
iklim  tersebut dibajak oleh pimpinan intelijen negara. Atas nama
tindakan pecegahan, satelit Dutch Boy tersebut disalahgunakan fungsi dan
dan tujuannya oleh komplotan intelijen yang dikuasai gagasan kuasa
gelap.
Satelit pengontrol iklim dan pengendalian cuaca tersebut kemudian
dibelokan fungsi dan tujuannya menjadi senjata pemusnah masal. Satelit
Dutch Boy kemudian diuji coba untuk menyerang dan memusnahkan bangsa
lain melalui rekayasa iklim dan cuaca.
Teknologi yang tadinya diciptakan untuk tujuan kemanusian berubah
menjadi malapetaka kemanusian. Satelit yang awal mulanya berfungsi untuk
rekayasa penyelamatan bumi, diubah menjadi senjata pemusnah masal.
Serangan menggunakan teknologi satelit cuaca dapat terlihat sangat
alamiah, seakan seluruh kehancuran itu disebabkan oleh musibah bencana
alam yang telah menjadi takdir Tuhan.
Fungsi dan tujuan dari teknologi satelit yang tadinya untuk
mengontrol cuaca dan mengendalikan iklim diubah untuk merekayasa cuaca
ekstrem yang dapat memusnahkan negara tertentu. Badai tsunami dan badai
topan yang sangat ekstrem dapat direkayasa melalui satelit tersebut
untuk menyerang dan memusnahkan kehidupan dari negara lain.
Melalui teknologi satelit tersebut, dapat direkayasa anomali suhu
yang sangat dingin di pojok benua tertentu, yang dapat membuat seluruh
makhluk hidup membeku hingga mati secara sekejap. Di sudut benua yang
lain, digambarkan satelit tersebut dapat merekayasa cuaca panas yang
sangat ekstrem hingga membakar manusia dan seluruh makhluk hidup.
Demikianlah, kisah fiksi yang digambarkan sangat futurologis di dalam
film Geostorm. Film ini dapat menjadi samacam peringatan dini (early
warning) bagi kita, agar senantiasa waspada. Dikatakan peringatan dini
lantaran revolusi teknologi, juga pembangunan infrastruktur, bagaikan
pisau bermata dua. Sangat bergantung kepada siapa yang menguasai dan
mengendalikannya.
Jika yang menguasai atau mengendalikan teknologi tersebut adalah
kekuatan batil atau kerajaan kuasa gelap, maka teknologi tersebut dapat
digunakan untuk tujuan kejahatan. Demikian juga sebaliknya, jika yang
menguasai dan mengendalikan teknologi tersebut adalah kuasa terang, maka
teknologi tersebut dapat berguna untuk kemaslahatan bersama.
Untuk Siapa Infrastruktur dan Teknologi Keuangan?
Kembali kepada situasi nyata yang sedang kita hadapi selama tiga
tahun Joko Widodo menjadi Presiden. Hingga saat ini kita tak dapat
menangkap gagasan besar dibalik pembangunan infrastruktur dan teknologi
keuangan yang sedang dikembangkan.
Kita tak mempersoalkan pembangunan infrastruktur dan pengembangan
teknologi keuangan (Fintec) yang dijadikan sebagai prioritas
pembangunan. Kita sangat butuh infrastruktur, butuh teknologi yang maju
untuk memudahkan kehidupan kita. Namun, kita menjadi kuatir lantaran tak
adanya gagasan besar yang terintegrasi, memandu dan melandasi beragam
mega-projek yang sedang dan akan dibangun.
Siapa yang merancang paket mega projek infrastruktur tersebut? Siapa
yang membangun sistem teknologi digital keuangan? Untuk tujuan apa dan
untuk siapa mega projek infrarstruktur tersebut dibuat? Untuk maksud apa
pembangunan teknologi keuangan yang tersebut dikembangkan?
Jika untuk rakyat, lalu kenapa rakyat dan juga wakil rakyat tak
dilibatkan untuk turut serta merencanakan mega projek infrastruktur dan
pengembangan teknologi keuangan tersebut? Bukankah negara kita menganut
prinsip demokrasi yang mensyaratkan aspirasi dan partisipasi rakyat
dalam proses pengambilan keputusan hingga pelaksanaan dan penggunaannya?
Kenapa sebagian rakyat kita yang menggunakan hak demokrasinya yang
dijamin oleh konstitusi untuk mempersoalkan sejumlah mega projek
tersebut, justru mereka dikriminalisasi dan distigma sebagai musuh
negara?
Hingga kini kita tak mengerti detail gagasan besar dibalik
pembangunan kerete cepat Jakarta Bandung, padahal untuk kereta listrik
(KRL) saja masih belum optimal penggunannya. Kita juga tak paham untuk
maksud apa projek reklamasi pantai dibuat, padahal di saat yang sama
masih banyak tanah di luar Jawa, yang masih kosong, belum tersentuh
pembangunan secara maksimal.
Kita juga tak pernah mengerti maksud dari pembangunan kota Meikarta
yang menabrak sejumlah peraturan, baik yang diatur UU maupun Perda.
Demikian juga projek listrik 10.000 MW hingga 35.000 MW yang ternyata
berunjung pada privatisasi listrik secara terselubung.
Anehnya, di tengah gencarya pembangunan pembangkit listrik 35 MW,
disaat yang sama tarif listrik justru naik tinggi mencekik rakyat disaat
harga minyak, gas dan batubara jatuh di harga paling rendah sepanjang
sejarah.
Perhatikan juga projek jalan tol yang dibanggakan oleh Presiden Joko
Widodo yang melewati desa dan sawah, yang hanya dapat dinikmati oleh
minoritas orang-orang berduit yang mampu membeli mobil.
Bagi petani miskin, buruh pabrik dan pedagang kecil yang bersepeda
ontel, jalan tol hanya bisa ditonton, tak bisa digunakan. Tak ada jalur
khusus untuk pejalan kaki, juga sepeda ontel. Jalur khusus untuk gerobak
dan becak tak tersedia. Apalagi jalur khusus untuk kerbo, tak usah
ditanya.
Untuk dapat menikmati berkenderaan di jalan tol harus punya mobil.
Minimal mobil pick up bekas untuk angkut hasil panen. Lagi pula untuk
menggunakan jalan tol harus pergi ke kota terdekat, tak ada pintu masuk
dan pintu keluar tol di desanya. Orang-orang di desa tak dapat mengakses
langsung jalan tol yang dibanggakan-banggakan oleh Presiden Joko Widodo
tersebut.
Apa mampu petani kecil, buruh pabrik dan pedagang asongan itu beli
mobil dan bayar tiket tol? Bagi petani miskin dan buruh pabrik, lebih
baik tak usah pakai jalan tol. Biaya untuk beli teket masuk tol dapat
digunakan untuk bayar listrik yang sudah naik sangat tinggi.
Di Yogyakarta, Gubernur DIY, Sri Sultan Hambengkubawono X,
menyampaikan protes keras melalui kebijakanya yang menolak pembangunan
jalan tol yang hanya menguntungkan segelintir kaum pebisnis. Menurut
Sultan, terbatasnya ruang terbuka di Yogyakarta tidak memungkinkan
dibangunnya jalan bebas hambatan yang tertutup dan tak semua orang bisa
menggunakannya.
“Saya tidak setuju adanya jalan tol, karena rakyat tidak akan
mendapatkan apa-apa, tak bisa menggunakan. Diperlebar silakan, tetapi
jangan dibuat tol. Tol sing untung ning yang membuat tol, tetapi rakyat
di sekelilingnya tak dapat apa-apa, karena jalan ditutup,” kata Sultan.
Baca ini: Sri Sultan HB X: Di Yogyakarta Tidak akan Ada Jalan Tol
Sultan menjelaskan, bandara baru di Kulon Progo akan beroperasi pada
2019. Karena itu, untuk memudahkan akses akan dibangun jalan lebar empat
jalur bukan tol. Akses jalan Yogyakarta-Solo untuk wilayah Prambanan
lebih baik menggunakan jalan baru atau di atas jalan lama. Tak perlu
bangun jalan tol, demikian kata Sultan.
Pembangunan Dibajak Kartel Ekonomi
Berdasarkan kenyataan praktek pembangunan tersebut, dapat kita tarik
kesimpulan bahwa pembangunan infrastruktur dan pengembangan teknologi
keuangan yang dijalankan selama 3 tahun pemerintahan Joko Widodo, diduga
sepenuhnya dirancang dan dikendalikan oleh kerajaan kuasa gelap, yaitu
kartel ekonomi, kartel infrastruktur, kartel properti, kartel keuangan
global, serta kartel vendor yang mengendalikan BUMN.
Presiden Joko Widodo yang sangat kosong gagasan besar, tak mampu
memimpin, memandu, memberi bentuk, warna, tujuan dan fungsi dari setiap
pembangunan yang direncanakan, dilaksanakan dan digunakan. Bentuk,
tujuan dan fungsi dari pembangunan infrastruktur dan pengembangan
teknologi keuangan telah dibajak dan dikendalikan oleh kerajaan kuasa
gelap atau kartel ekonomi.
Akibatnya, pembangunan infrastruktur dan revolusi teknologi justru
terpisah dari tujuan bernegara, yaitu untuk membangung kesejahteraan
bersama. Dampak dari pembangunan infrastruktur dan revolusi teknologi
keuangan justru menempatkan mayoritas rakyat sebagai objek yang
dieksploitasi oleh segelintir kartel ekonomi.
Jalan tol dan kereta cepat dibuat untuk bisnis cari keuntungan,
sekaligus sebagai akses terhadap projek properti. Projek reklamasi dan
Meikarta dibuat untuk cari untung dengan merusak lingkungan hidup
sekitarnya, dirancang dengan melanggar peraturan untuk membangun negara
dalam negara. Projek pembangkit listrik 35.000 MW dibuat semata untuk
bisnis listrik oleh komplotan kartel listrik yang mengendalikan PLN.
Demkianlah kenyataan pahit yang harus kita terima, akibat Presiden
yang diamanatkan untuk memimpin negara tak punya gagasan besar. Jika
pemimpin sebuah negara terjebak di dalam kerja praktis dengan semboyan
kerja dan kerja semata, tanpa mempedulikan gagasan besar dan nilai-nilai
yang melandasi dan memandu kerja tersebut, maka kerja tersebut
berpotensi dibajak untuk kepentingan kuasa gelap atau kerajaan
kebatilan, yang kini tampil dalam bentuk kartel ekonomi.
Hancurnya sistem negara disertai rusaknya moral pejabat dan aparatur
negara, memperkokoh kerajaan kuasa gelap (kartel ekonomi) untuk
membajak, menguasai dan mengendalikan negara dan menghisap rakyat. [abadikini] 

Spesial Untuk Mu :  'Potensi Halal Xenograft di Indonesia'