Berita  

Inikah Indikasi PDIP “MAIN MATA” dengan Petinggi Polri?

main%2Bmata%2Bta

JAKARTA, SriwijayaAktual.com – Sekjen PDIP Hasto Kristianto tidak terima jika partainya dituding
menggunakan alat kekuasaan demi memenangkan Pilkada 2018 melalui
pengangkatan perwira Polri sebagai penjabat gubernur. Ia juga menegaskan
PDIP tak pernah memiliki sejarah pernah menggunakan alat negara untuk
memenangkan kontestasi politik.
Sah-sah saja bila Hasto membantah. Sebagai kader, apalagi  didapuk
jadi sekjen, memang tugasnya untuk membantah, untuk menjaga citra PDIP
di mata publik. Tapi perkara benar-salahnya nanti dulu. Memang tidak ada
bukti kongkritnya, tapi sebagai manusia yang diberi akal pikiran, tentu
sah-sah pula bila kita menarik kesimpulan.
Ada beberapa kejadian yang menurut saya bisa dijadikan indikasi PDIP
bermain mata dengan alat kekuasaan—dalam konteks ini Polri. Biar saya
runut satu persatu. 
Pertama, kasus Lukas Enembe. Gubernur Papua Lukas Enembe bertemu
dengan Kepala BIN, Budi Gunawan; Kapolri Tito Karnavian; dan eks Kapolda
Papua Paulus Waterpauw. Tempatnya di rumah Budi Gunawan. Ada rumor
beredar. Lukas dipaksa menandatangai klausul khusus dalam pertemuan itu.
Ada tiga poin penting yang tersiar: 1) memenangkan Jokowi dalam Pilpres
2019; 2) memenangkan PDIP dalam Pileg 2019; dan 3) berpasangan dengan
Irjen Pol Paulus Waterpauw dalam Pilgub Papua 2018.
Lukas Enembe adalah kader Partai Demokrat. Jadi wajar saja bila
partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lantas menyerukan
pembentukan Pansus DPR untuk menyelidik kasus Lukas Enembe. Tapi kita
sama-sama paham, usulan ini mentah. Seharusnya, apabila PDIP tidak
merasa bersalah, mereka akan mendukung pansus ini sebagai ajang
pembersihan citra. Nyatanya, tak ada keberanian dari kubu PDIP.
Kedua, kasus Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang. Jaang adalah bacagub
Kalimantan Timur yang diusung Partai Demokrat. Ada rumor upaya
kriminalisasi terhadap Jaang agar mau berpasangan dengan Kapolda Kaltim
waktu itu, Safaruddin yang diusung oleh PDIP. Bahkan Wali Kota
Balikpapan Rizal Effendi yang sekiranya hendak dipasangkan dengan Jaan,
mendadak tersangkut kasus korupsi.
Kasus ini pun lagi-lagi gelap mendadak. Uniknya, pasca kejadian ini
Safaruddin dimutasi dari jabatan Kapolda Kaltim. Belakangan, Safaruddin
maju sebagai bacawagub di Pilgub Kaltim didukung oleh koalisi PDIP.
Ketiga, sejak menjadi the rulling party, PDIP terkesan akrab dengan
beberapa petinggi Polri. Keakraban ini tampak dari “mati-matiannya” PDIP
membela Budi Gunawan (BG) —mantan ajudan Megawati semasa jadi presiden
RI. Mula-mula BG maju sebagai calon menteri, tapi gagal karena kena
rapor merah dari KPK. Lalu BG dimajukan sebagai Kapolri, gagal lagi
gara-gara rapor merah KPK, dan akhirnya diakomodir sebagai Wakapolri.
Lalu BG mencelat sebagai Kepala BIN.
Mulusnya karir BG ini mencuatkan banyak bisik-bisik. Rumor pagar BIN
yang sudah dicat merah. Kemungkinan BG diusung sebagai cawapres-nya
Jokowi. Isu kedekatan BG dengan Megawati. Dan bisik-bisik lainnya.

Baca Juga: Pakar Hukum Tata Negara ini Sebut; Jenderal Jadi Plt Gubernur Langgar Undang-undang!

Kedekatan PDIP dan Polri bisa dilihat pula dari majunya ketiga
jenderal polisi dalam pilgub serentak 2018. Mereka dalah Safaruddin
(Kaltim), Anton Charliyan (Jabar), dan Murad Ismail (Maluku). Menelisik
hal ini, bukankah kasus Lukas Enembe seolah-olah menemukan pembenaran?
Baca Juga ini: CATAT!!, Megawati sebut; Kekuasaan yang Diperoleh dengan Segala Cara Takkan Lama
Dengan indikasi ini, seharusnya PDIP tahu diri. Seharusnya PDIP
menjaga jarak dengan Polri. Alih-alih, Mendagri Tjahjo Kumolo, yang
lagi-lagi kader PDI, bermaksud menunjuk perwira Polri sebagai penjabat
Gubernur di Jabar, Sumut—dan mungkin sebentar lagi Papua. Apalagi saat
Tjahjo menepuk dada siap diberi sanksi atas kebijakannya ini.
Alasannya, untuk keamanan? Aih, bukankah urusan keamanan adalah
urusan polisi, dalam konteks pilkada ini, urusannya Kalpoda. Lantas
mengapa gubernur sampai tersangkut-paut begitu rupa?

Baca Juga ini: Menyoal ‘DWIFUNGSI’ POLRI !!!

Jadi bila PDIP menyebut tidak pernah menggunakan alat kekuasaan dalam
kompetisi politik saya sangsi. Memang bukti nyatanya tidak ada, tetapi
indikasinya sudah begitu kuat. Dan penolakan publik terhadap rencanan
penunjukan petinggi polri sebagai pejabat Gubernur di Jabar dan Sumut
saya pikir adalah bukti bahwa rakyat Indonesia pun gelisah dan cemas
seperti diri saya. [ AK ]
Oleh, Rahmat Thayib,
Pegiat Gerakan Demokrasi Berkeadaban