![]() |
Brigjen Pol (Purn) Dr. Anton Tabah Digdoyo (net) |
JAKARTA, SriwijayaAktual.com – Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI)
Brigjen Pol (Purn) Dr. Anton Tabah Digdoyo mengatakan, masyarakat tidak bisa menerima nalar dan
pola pikir Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus dugaan penistaan agama yang
menuntut terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan hukuman satu
tahun penjara. Karena itu, Anto mengatakan para tokoh hukum dan tokoh
lintas agama sebagai representasi rakyat berharap hakim menghukum
maksimal terdakwa Ahok sesuai ketentuan yang berlaku.
“Sebagai
negera beragama dan negara Muslim terbesar di dunia kita patut nukil
warning dari Nabi Muhammad SWA dalam sabdanya yang masyhur negara akan
hancur jika hukum tumpul pada pejabat-pejabatnya dan hanya tajam pada
rakyat jelata,” kata Anton, Senin (24/4/2017) dikutip laman Republika.co.id.
Purnawirawan
Polri itu melanjutkan, jika tuntutan terhadap Ahok merupakan bentuk
intervensi politik maka bukan tidak mungkin negara akan hancur. “Jika
politik diatas hukum asas rule of law rusak kehidupan bermasyarakat berbangsa bernegara akan hancur,” ujarnya.
Anton
yang juga menjabat Wakil Ketua Komisi Hukim MUI itu mengatakan, selama
ini semua kasus penistaan agama selalu dihukum berat sesuai fatwa MA
mengharuskan hakim memvonis hukuman berat pada pelakunya. “Karena kasus
penodaan agama memiliki drajat keresahan masyarakat sangat tinggi, oleh
karenanya mahkamah agung (MA) membuat fatwa agar hakim se-Indonesia
menghukum seberat-beratnya pelaku penista agama,” katanya.
Untuk
itu, kata Anton rakyat Indonesia dan tokoh-tokoh Indonesia sangat heran
dengan tuntutan JPU terhadap Ahok yang hanya satu tahun penjara dengan
alasan mantan bupati Belitung Timur itu berjasa pada negara. Terlebih,
Jaksa Agung Prasetyo bilang Ahok tak terbukti menista agama Islam sangat
bertolak belakang dengan JPU yang menyatakan Ahok terbukti secara sah
telah menista agama Islam.
menyatakan Ahok terbukti secara sah telah menista agama, tapi tuntutan
JPU sangat bertentangan dengan akal sehat ditinjau dari segi yuridis
sosiologis filosofis hukum. Ahok, masih kata Anton, benar-benar telah
sengaja menista agama Islam secara terencana, sistematis, terbuka,
diulang-ulang dan tak menyesal bahkan menantang kalau jadi penguasa akan
terus melakukan hal itu.
kepentingan-kepentingan di luar hukum. Dan ini sangat berbahaya akan
menghancurkan NKRI,” katanya.
Ahok diperlakukan beda dari terdakwa lain seperti Permadi, Lia Eden,
Asrwendo. Musadek, Rusgiyani Andrew Handoko. Mungkin alasan
yurisprudensi tak mengikat, dengan nama-nama di atas, namun rasa
keadilan masyarakat wajib diutamakan.
secara terbuka Ahok harus dihukum berat karena kasusnya lebih berat dari
dirinya Pak Permadi juga dihukum berat padahal cuma bilang dirinya tak
beragama,” jelasnya.
dihukum berat karena ia dihukum berat padahal ia tak sengaja menista
agama. Ahok sadar dengan apa yang diucapkan dan akibatnya. Malah konten
yang sama ditemukan berulang-ulang.
pertimbangan Jaksa Ahok berjasa sebagai gubernur, logika yang digunakan
jaksa sangat terbalik. Arswendo, Lia Eden, Permadi, Musadek, Rusgiani
dan lain-lain tidak makan uang negara.
Jika seorang pejabat melakukan kejahatan maka vonisnya mesti lebih berat
daripada orang biasa,” katanya.
Jadi kata Anton tuntutan JPU
pada Ahok sangat tidak masuk akal. Ia mempertanyakan apakah ini karena
jaksa agung orang parpol? Karena itu wajar jika rakyat menuntut jaksa
agung Prasetyo dicopot. Jaksa Agung wajib individu steril bukan kader
dari partai politik apapun manapun.
“Sekarang bola panas kasus
Ahok di tangan hakim. UU 48/2009 Pasal 5 (1) menjelaskan Hakim dan hakim
konstitusi wajib gali, ikuti, dan fahami nilai-nilai hukum rasa
keadilan yang hidup di masyarakat,” jelasnya. (*)
Komentar