Kerikil Sandungan Jokowi di Pemilihan Presiiden 2019

Berita51 Dilihat
Presiden Jokowi di Rapimnas Golkar. ©2017 Biro Pers Istana
JAKARTA, SriwijayaAktual.com – Sejumlah lembaga survei masih menempatkan nama Joko Widodo
sebagai calon terkuat jika kembali maju sebagai calon presiden di
Pemilihan Presiden 2019. Rata-rata, tingkat elektabilitas Joko Widodo
jelang Pemilihan Presiden 2019 cenderung naik di angka 40-45 persen.
Namun, kenaikannya dinilai lamban. Sementara di belakang Joko Widodo
membuntuti rival terkuatnya yakni mantan Danjen Kopassus yang kini
menjadi Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi dinilai belum berada di zona
aman. Alasannya, separuh jumlah pemilih di Indonesia masih bisa berubah
pilihannya. Ada beberapa isu yang dinilai berpotensi menjegal Jokowi di
pertarungan 2019. Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray
Rangkuti melihat isu itu sudah mulai dimainkan dan terbukti memengaruhi
lambannya kenaikan elektabilitas Jokowi. Lambatnya kenaikan
elektabilitas Jokowi diyakini terimbas politik suku, agama, ras, dan
antar golongan (SARA) di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Jokowi kerap diserang isu komunisme hingga terlalu mengistimewakan atau memiliki orientasi pada perekonomian China.
“Kenapa lambatnya elektabilitas Jokowi? Dugaan saya karena masih
terkena imbas dari politik SARA,” kata Ray di D Hotel, Jalan Sultan
Agung, Setia Budi, Jakarta Selatan, Selasa (26/12).
Permainan isu SARA diyakini tidak akan terhenti dan akan dihembuskan
di Pilkada serentak 2018, Pemilu hingga Pilpres 2019. Isu SARA digunakan
untuk kepentingan politik karena memiliki dampak signifikan
menghancurkan elektabilitas lawan politik. Selain itu, efeknya
berkepanjangan. Selain efek signifikan, isu SARA banyak dipakai karena
muncul suasana yang melegalkan tindakan politik SARA.
“Jadi SARA tidak bermasalah karena dianggap mengamalkan kepercayaan tertentu, ada kegamangan,” ujarnya.
Baca Juga: Koalisi PKS-PAN-Gerindra akan Menjadi Kekuatan ‘Berbahaya’ Terhadap Jokowi di Pemilu 2019
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Paramadina Arif Susanto melihat,
konflik di masyarakat bakal terjadi hingga Pilpres 2019. Isu-isu yang
digunakan beragam. Mulai dari ketidakpuasan elit politik dalam pembagian
kekuasaan. Ketidakpuasan itu tergambar di 3 tahun pemerintahan
Jokowi-JK di mana sikap politik dua kaki PAN antara mendukung
pemerintahan dan oposisi.
Yang juga perlu disikapi adalah permainan isu jika masyarakat tidak
puas dengan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Pemicunya, ekonomi
tidak merata di seluruh wilayah Indonesia.
“Ekonomi cenderung stabil 3 tahun, tapi ada kesenjangan besar.
Pertumbuhan tidak diikuti dengan distribusi merata. Lebih parah kalau
tidak ada kepuasan pembangunan,” Arif di D Hotel, Setia Budi, Jakarta
Selatan, Selasa (26/12/2017).
Isu ketiga yang berpotensi jadi batu sandungan Jokowi adalah
penilaian jika pemerintah gagal dalam penegakan hukum, HAM dan anti korupsi.
Arif menyinggung buruknya kualitas penegakan hukum di Indonesia.
Penyebabnya karena Presiden Joko Widodo memercayakan institusi penegak
hukum dipimpin dari unsur partai politik. Contohnya, Yasonna Laoly
menjadi Menteri Hukum dan HAM serta M Prasetyo di posisi Jaksa Agung.
Laoly merupakan kader PDIP dan Prasetyo berasal dari Partai NasDem.
Arif juga menyoroti soal banyaknya aparatur sipil negara tersangkut
kasus korupsi oleh KPK serta janji Jokowi menyelesaikan pelanggaran HAM
masa lalu seperti pembunuhan aktivis Munir.
“Kesalahan Jokowi adalah mengangkat Menkum HAM dan Jaksa Agung
seorang politikus. Selama itu tidak akan pernah prestasi hukumnya Jokowi
bagus. Kalau mau bagi, ganti Jaksa Agung dan Menkum HAM,” tegas Arif.
Terakhir, lanjut Arif, peluang konflik besar jika tidak ada institusi sosial di luar politik yang mampu memoderasi politik.
“Agama enggak lupa diseret ke politik. Jadi tidak ada institusi di
luar politik yang bisa diharapkan untuk jadi jalan keluar di jalan
politik,” ucapnya dkutip laman merdeka.com. [*]

Spesial Untuk Mu :  Menyelinap Masuk Kamar, Preman Kampung Ini 'CroOTZ' Istri Bule

Komentar