JAKARTA, SriwijayaAktual.com – Komunitas Mandailing Perantauan (KMP) kembali menuntut
Pemerintah mencabut izin PT Sorik Marapi Geothermal Power (PT SMGP),
Kamis (2/6/2016).
Kantor yang mereka datangi kali ini, Kemenko Perekonomian, yang
dipimpin Darmin Nasution yang juga berasal dari Lembah Sorik Marapi,
Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Membawa anggota sekitar 100 orang, para perantau asal Mandailing itu
menuding perusahaan geothermal tersebut hanya menjadi makelar dan tidak
serius menangani proyek panas bumi berkapasitas 450 MW di Mandailing
Natal.
Alfian Siregar, koordinator pengunjuk rasa, mengatakan KMP tidak
bermaksud menghalang-halangi eksplorasi panas bumi di kampung mereka,
sepanjang tidak merusak lingkungan di lima kecamatan di lereng Gunung
Sorik Marapi, Mandailing Natal.
“Kami meminta Pemerintah mencabut izin PT SMGP adalah untuk
mencarikan perusahaan yang serius untuk menanganinya. Kenapa
mempertahankan persero yang tidak kredibel,” kata Alfian.
Unjuk rasa KMP berlangsung dari pukul 10:17 WIB, Para perantau asal
Mandailing itu sempat bersitegang dengan polisi yang menjaga, karena
sebagian yang datang hendak merubuhkan pagar. Situasi terkendali setelah
Kapolsek Sawah Besar, RAKP Ridwan RS, berkordinasi dengan koordinator
KMP, Alfian Siregar.
Perwakilan perantau Mandailing, Alfian Siregar, Arief Lubis dan Okta
Nasution, diterima oleh tiga orang Deputi. Dalam pertemuan, yang
berlangsung sekitar 1 jam itu, Kabid Energi Terbarukan, Budi Utomo, mengatakan, bahwa Darmin Nasution sudah mendengar masalah ini sejak Tahun 2008.
Namun, Budi Utomo kaget mendengar PT Sorik Marapi Geothermal Power
(SMGP) sudah berpindah tangan ke KS Orka dan perusahaan ini melanggar
sejumlah ketentuan dari Menteri Kehutanan. “Kita segera koordinasi
dengan kementerian teknis,” kata Budi.
Pada akhir pertemuan, koordinator pengunjuk rasa, Alfian Siregar
mengatakan menunggu kabar baik dari Kementerian Perekonomian. “Kalau
tidak selesai di sini, kami akan ke Istana,” tantang Alfian.
Dalam surat, yang disampaikan kepada Menteri Koordinator Bidang
Perenomian, Komunitas Mandailing Perantauan menilai PT SMGP tidak bisa
dipercaya lagi menangani proyek panas bumi di Mandailing Natal. Begitu
memperoleh izin dari Kementerian ESDM, mereka malah mengakuisisinya, 100
persen, ke KS Orka Renewables Pte Ltd Singapura (KS Orka) April 2016
yang lalu.
Seperti makelar, pada Tahun 2008, perusahaan yang pertama mendatangi
Gubernur Sumatera Utara dan Bupati Mandailing Natal adalah PT Supraco,
sebuah perseroan di Jakarta, yang mengaku bergerak di bidang panas bumi,
padahal tidak lebih dari lembaga trainer SDM di bidang gas.
Pada Tahun 2009 PT Supraco merasa memenangkan tender untuk
memproduksi listrik 240 MW di lereng Gunung Sorik Marapi. Mengingat
Sumatera Utara terus-menerus krisis listrik, Gubernur dan Bupati
mengisyaratkan memberi IUP.
PT Supraco, kemudian, mencari pemodal dan menemukan seorang bernama
Andi Kelana, yang bekerja di PT OTP Geothermal Servis Indonesia, sebuah
perusahaan penanaman modal asing, yang berkantor di Singapura.
Pada Mei 2010, keempat perusahaan membentuk dua buah perusahaan baru.
PT Gheotermal Servis Indonesia (Andy Kelana 5%, Origin 45%, Tata 45%)
dan PT Sorik Marapi Geothermal Power (PT Supraco 5 %, Origin 45%, dan
Tata 45%).
Dengan semangat Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2010 dan Peraturan
Menteri ESDM No. 2 tanggal 27 Januari 2010 tentang percepatan
pembangunan pembangkit listrik di Indonesia, Bupati Mandailing Natal
mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada September 2010 kepada PT
Sorik Marapi Geothermal Power.
Karena tidak ada sosialisasi dan langsung mengangkut peralatan ke
lapangan, rencana eksplorasi gas di Lereng Gunung Sorik Marapi itu
ditentang oleh warga lima kecamatan di Madina (Tambangan, Panyabungan
Barat, Lembah Sorik Marapi, Panyabungan Selatan, dan Puncak Sorik
Marapi). Sejak PT SMGP hadir, hampir setiap bulan warga melakukan unjuk
rasa.
PT SMGP mengadu domba warga. Mereka dibantu sejumlah pejabat
eksekutif, legislatif, dan para tokoh. Sebagai balas jasa, perusahaan
ini mempekerjakan keluarga para petinggi Kabupaten, membeli lahan yang
berdekatan dengan lokasi rencana pengeboran, menyewa rumah dan tanah
para pejabat Pemkab dan DPRD Mandailing Natal, dengan harga lima kali
lipat dari nilai standar di Panyabungan, ibukota Kabupaten Madina.
Pro dan kontra pun, pelan-pelan, merasuki warga lima kecamatan.
Puncaknya pada 11 November 2014, ribuan masyarakat yang memblokir jalan
Lintas Sumatera ditantang belasan warga yang lain: Seorang tewas dan
belasan lainnya digelandang ke Kantor Polisi.
Salah seorang di antara warga, bernama Herman Nasution, sampai kini
masih ditahan di Lapas Panyabungan, dengan tudingan memprovokasi warga.
Meski sebenarnya, menurut Komunitas Mandailing Perantauan, penduduk asal
Maga, Mandailing Natal, tersebut melindungi ribuan warga lima
kecamatan, agar tidak terus diinterogasi dan diintimidasi oleh Pihak
Kepolisian. Apalagi pada akhirnya, Pengadilan tidak menemukan terdakwa.
Tersangkanya adalah ribuan orang yang marah.
Melihat masyarakat sudah menjadi korban dan rencana eksplorasi
memasuki tahap merusak lingkungan dan menimbulkan bencana alam, Bupati
Mandailing Natal, pada 9 Desember 2014, mencabut izin PT Sorik Marapi
Geothermal Power.
Pada Tahun 2015, Pemerintah mengubah kebijakan Izin Usaha
Pertambangan, tidak lagi dikeluarkan oleh Kepala Daerah, tetapi dari
Menteri ESDM. PT Sorik Marapi Geothermal Power mendapat angin. Mereka
mengurus izin baru dan memperolehnya pada 21 April 2015.
PT Sorik Marapi Geothermal Power pun makin tidak lagi peduli dengan
lingkungan. Diam-diam, mereka mulai membeli lahan dari masyarakat.
Padahal, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 568 Tahun 2012,
pemakaian lahan eksplorasi merupakan hak pinjam pakai.
PT Sorik Marapi Geothermal Power mulai menguasai ratusan hektare
lahan yang digarap masyarakat, meski SK Menteri Kehutanan No. 568 Tahun
2012, hanya menoleransi pemakaian untuk eksplorasi 14 hektare, jalan 20
hektare, dan pipa 2 hektare.
Kecurigaan dari awal, bahwa PT Sorik Marapi Geothermal Power hanya
menjadi agen perusahaan gas dan panas bumi, terbukti pada April 2016.
Setelah mendapat Izin Panas Bumi dari Kementerian ESDM dan berhasil
membeli ratusan hektare lahan dari tokoh-tokoh masyarakat di lima
kecamatan, mereka menjual seluruh saham perusahaan kepada KS Orka
Renewables Pte Ltd Singapura (KS Orka).
Hingga saat ini, kegiatan eksplorasi gas panas bumi belum tampak di
Mandailing Natal. Peralatan yang dikirim pada Tahun 2012 diangkut
kembali oleh PT SMGP.
Selain ke Kementerian Koordinator Perekonomian, para perantau asal
Mandailing itu telah unjuk rasa ke Kementerian ESDM, Rabu (18/5/2016.
Saat itu Kepala Pusat Komunikasi Publik Ir. Sujatmiko tidak bisa
menjawab Alfian Siregar, yang mempertanyakan izin dari Kementerian ESDM
dikeluarkan untuk menghidupkan izin yang lama yang dicabut Bupati
Mandailing Natal. (Kamarberita/Admin)