Berita  

Koalisi Jokowi-Prabowo dan Gagasan Negara Kuat!

01351307102019 prabowo dan Jokowi bertemu

Koalisi Joko
Widodo-Prabowo Subianto dan Gagasan Negara Kuat!

OLEH: NATALIUS PIGAI
KOLOM PEMBACA-OPINI, SriwijayaAktual.com – PRESIDEN Terpilih Ir. Joko Widodo dalam Visi
Indonesia 2019-2024 menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara terkuat di
dunia. “Kita harus optimistis menatap masa depan! Kita harus percaya
diri dan berani menghadapi tantangan kompetisi global. Kita harus yakin
bahwa kita bisa menjadi salah satu negara terkuat di dunia”.
Visi negara kuat sebagaimana disalampaikan dalam Visi Indonesia tersebut
di atas sebenarnya telah diutarakan dalam berbagai kesempatan, termasuk
penyampaian visi misi calon Presiden Republik Indonesia baik H. Joko
Widodo maupun Prabowo Subianto pada saat debat pertama tanggal 17
Januari 2019 dan keempat 30 Maret 2019 dan berbagai kesempatan
menekankan: “Negara kuat jika alutsista maupun keamanan dalam negeri
kuat, pentingnya negara yang kuat, negara kuat jika institusi atau
lembaga negara kuat, demikian pula ditunjang dengan pengelola negara
yang profesional, bersih dan berwibawa”.

“Bangsa yang kuat, mandiri, berdaulat maka akan dihargai dan dihormati bangsa-bangsa lain termasuk dalam diplomasi”.

“Negara yang kuat jika memiliki TNI yang kuat disertai alat utama sistem
persenjataan yang kuat dan modern maka akan disegani bangsa lain”.

“Keamanan dalam negeri terpelihara jika institusi Kepolisian negara yang kuat”.

“Rakyat mendapat keadilan dihadapan hukum, jika institusi Kepolisian
terpercaya, bekerja secara independen, profesional, moderen, sejahtera.
Aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) harus kenyang, sehat, dan
pintar supaya bekerja profesional, objektif, dan imparsial dan menegakan
hukum”.

Kalimat pajang tersebut di atas merupakan ringkasan dari sederet
ungkapan ide, gagasan Joko Widodo maupun Prabowo Subianto membawa bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang kuat, pemenang dan keluar dari negara
yang terancam gagal (falls of nations). Fals of Nation (negara gagal).
Buku karangan Daren Acemoglu, seorang ilmuan Amerika keturunan Turki.

Inti dari buku negara gagal tersebut berkesimpulan bahwa, “negara gagal
karena sumber daya alam dikuasai sekelompok kecil oligarki, sementara
kebijakan politik dan hukum negara berorientasi untuk memperkuat
kepentingan sekelompok kecil oligarki ekonomi dan politik tersebut”.

Sehebat-hebatnya membangun untuk mengejar ketertinggalan negara lain,
tetapi tetap saja menjadi negara miskin dan gagal sebagaimana
kesenjangan (gap) antara Amerika Serikat dan Meksiko, Korea Utara dan
Korea Selatan, Jerman Barat dan Jerman Timur yang memiliki infrastruktur
sama, namun label sebagai negara gagal tetap melekat di Meksiko, Korea
Utara, dan Jerman Timur sebelum reunifikasi.

Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo pada periode ke-2 (2019-2024) perioritas pembangunan pada sumber daya manusia sudah tepat.

Memang benar bahwa apapun yang dilakukan pemimpin bangsa ini tentu
mempertimbangkan “kepentingan inti negara Indonesia” (core of national
interest) yaitu; sesungguhnya negara yang maju dan berkembang berada
pada penguatan hukum untuk mengatur ketertiban, keamanan, dan rasa
keadilan bagi rakyat. Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman sebagai
lembaga penegak hukum yang berada di beranda depan dalam sistem
peradilan pidana (criminal justice system) tentu menjadi pilar
terpenting bagi negara ini.

Jika membaca pandangan dan hati nurani Presiden Joko Widodo maupun
Jenderal Prabowo Subianto sebagai pemimpin bangsa ini, sebenarnya mau
menunjukkan ada optimisme di balik tekanan liberal terbawa bangsa
Indonesia tersandera dalam ancaman penetrasi kapital, hegemoni politik
negara lain. Akibatnya negara makin tidak berwibawa karena perilaku
kurang elok; kebocoran keuangan negara, korupsi merajalela,
memperdagangkan pengaruh, jual beli jabatan yang justru dilakukan oleh
orang-orang yang melingkari istana, pusat kekuasaan negara sejak zaman
orde baru hingga saat ini.

Visi Indonesia yang disampaikan oleh Joko Widodo sudah mulai membuka
kran demokrasi untuk tidak akan menyandera pilar-pilar demokrasi, hak
asasi manusia, perdamain dan keadilan melalui instrumen demokrasi, yaitu
partai politik, media massa, lembaga penegak hukum. Bangsa ini tidak
boleh mengalami distorsi arah dan gradasi nilai-nilai konstitusi dan
landasan idil.

Pada periode kedua pemerintahan mesti berkomitmen agar rakyat bisa
artikulasikan keinginan, rintian, ratapan, penderitaan, kebebasan
ekspresi, pendapat, pikiran, dan perasaan. Untuk menjaga kebebasan sipil
terpelihara, maka pucuk pimpinan lembaga yang menangani bidang politik,
hukum dan hak asasi manusia haruslah orang yang profesional, tetapi
juga demokratis.

Dirahapkan pada masa yang akan datang pemimpin negara tentu bukan tipe
pemimpin yang suka berdebat, berwacana dan bangsa ini beruntun
seandainya Prabowo dan Jokowi berkoalisi, maka 2 pemimpin yang kuat
bertemu untuk membangun bangsa dan negara.

Kita berharap kedua pemimpin akan mampu membangun bangsa berbudaya
literasi dengan tidak bermain kata-kata gimik atau bahkan menyerang
pribadi lawan politik. Berdiam tidak berarti apatis terhadap negara,
berdiam sembari mengarahkan pemerintah berkerja sungguh-sungguh demi
rakyat, bangsa dan negara. Harus dipahami bahwa situasi saat ini telah
menyebabkan kerusakan fundamental soal integrasi sosial dan ancaman
integrasi nasional karena itu membangun kekuatan bersama untuk
pemantapan integrasi sosial dan politik.

Kebhinekaan bangsa dalam kurun waktu 5 tahun berada di titik nadir,
bangunan sosial terancam pecah karena ketidakharmonisan dan fragmentasi
antar horisontal juga vertikal. Rasisme, diskriminasi, kekerasan verbal
yang didorong atas rasa kebencian suku, agama, ras dan antargolongan,
pendatang dan pribumi adalah kosa kata yang saban hari menghiasi media
massa, media sosial, media mainstream dan juga dalam komunikasi
interpersonal.

Sewaktu waktu di pangung resmi, baik di media, seminar, juga berbagai
tempat pemerintah seringkali menyampaikan bahwa kebinekaan bangsa
Indonesia adalah suatu wahyu, titah yang tertulis sebagai adagium
persatuan dan kesatuan, kebinekaan bangsa sudah final dan mengikat
sanubari tiap orang. Menjamurnya beraneka etnik, ras, budaya harus
diterima sebagai kondisi kekinian, realitas bangsa bahkan keanekaragaman
adalah suatu niscaya. Semua terlindung dalam konstitusi negara dan
landasan ideologi Pancasila. Itulah inti negara kuat karena fondasinya
bersatu padu dalam beraneka.

Negara harus memastikan bahwa rakyat tidak terlalu terjebak dalam
sektarianisme, eksklusivisme yang naif dan bahkan chauvinistik
seakan-akan ada yang mengklaim sebagai pemilik negeri ini, klaim diri
sebagai pahlawan, nasionalis, bahkan personifikasi diri sebagai
nasionalis, sedangkan suku bangsa lain di nusantara dan kaum minoritas
lain dianggap bukan pejuang dan pahlawan. Membangun bangsa dengan
tanggung renteng untuk memantapkan bangsa yang kuat.

Barangkali tidak lupa bahwa perjuangan bangsa Indonesia dilakukan secara
sporadis, berjuang sendiri-sendiri di wilayahnya masing-masing dengan
tujuan yang sama, yaitu mengusir penjajah. Diponegoro tidak pernah
memimpin perang dari Sabang sampai Merauke, tapi hanya wilayah Jawa
Tengah. Laksamana Malahayati berjuang hanya di Aceh, Sisingamangaraja
berjuang di Tanah Batak, demikian pula pahlawan Patimura hanya di Ambon
dan lain-lain tetapi memliki keinginan yang sama, yaitu Indonesia lepas
dari belenggu penjajah.

Presiden Joko Widodo maupun Prabowo Subianto paham sejarah bahwa
kemerdekaan Indonesia juga diperjuangkan semua orang, diraih karena
adanya dikontribusi juga oleh tujuh orang pahlawan keturunan China; Jhon
Lie, Koen Hian anggota BPUPKI dan lain-lain, keturunan Arab; Baswedan
dan lain-lain, bahkan juga keturunan barat Belanda yang kita sebut
penjajah seperti “Ijon Jambi” tokoh kopassus.

Pahlawan besar beragama Katolik di Jawa Tengah tidak bisa diragukan
lagi, nama-nama besar seperti Jos Sudarso, Adi Sutjipto, Adi Marmo,
Slamet Riyadi, I.J Kasimo, dan lain-lain. Kalau demikian apakah kita
harus menafikan nama dan peran mereka dalam eksistensi Republik ini?
Tentu saja tidak karena bangsa ini terikat dalam adagium unitarianisme
yaitu “Bhineka Tunggal Ika”. Cara pandang tentang kebangsaan ini
tercermin pada Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Itulah ide, gagasan, dan harapan Indonesia negara kuat dalam
pemerintahan Presiden Ir. Joko Widodo dan Maruf Amin 2019-2024 yang saya
pahami dan analisis. Silakan rakyat ikut memberi dukungan tanpa
mengoreksi untuk mengisi ruang-ruang kosong yang tidak diisi negara, dan
kita jangan lupa bahwa dunia sedang mengalami perubahan (progress),
bukan kemunduran (regress), kita bisa berubah jika ada hasrat untuk
berubah (willingness to change). (Rmol)