Berikut ini beberapa kritikan dan kecaman dimaksud, yakni Permen KHK No. P39 itu:
 |
Muchtar Effendi Harahap peneliti senior Network for South East Asian Studies (NSEAS). |
Beragam kritik dan kecaman ini kemudian bermuara ke suatu aksi bersama pd awal September 2017 ini .Yaitu mengajukan uji materil Permen LHK P.39 tsb kepada Mahkamah Agung (MA). Target para Penggugat atau Pengaju Uji Materil adalah dibatalkan atau dicabutnya Permen LHK tsb. sehingga tidak diimplementasikan. Tentu saja para Penggugat ini memiliki kepentingan termasuk ekonomi atas aksi bersama menggugat Permen LHK P.39 ini.
Kritik dan kecaman terkait khusus butir 1, “bagi2 lahan tanpa kontrol”, sungguh memanipulasi kandungan Permen LHK P.39. Secara normatif dan substansial tidak ada “bagi2 lahan”. Lahan Perum Perhutani terlantar lebih 5 tahun hingga 15 tahun akan dimanfaatkan oleh rakyat sekitar lahan tsb pada prinsipnya rakyat hanya memiliki hak akses ke lahan dalam bentuk penerimaan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial, disebut IPHPS.
IPHPS adalah usaha dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu dlm hutan tanaman, pemanfaatan air, enerji air, jasa wisata alam, sarana wisata alam, penyerapan dan penyimpanan karbon dan penyimpanan di hutan produksi dan lindung.
IPHPS di berikan kepada masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani. Tujuannya, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. IPHPS ini diberikan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi.
Siapakah sebagai Penerbit IPHPS? Bukan Dirut Perum Perhutani sebagai korporasi negara, bukan juga Pemda, tetapi Pemerintah (Pusat) dlm hal ini Direktur Jenderal atas nama Menteri LHK.
Intinya, IPHPS ini bukan bagi2 lahan Perum Perhutani, tetapi pemanfaatan oleh rakyat sekitar lahan yang terlantar lebih 5 tahun hingga 15 tahun. Diberi jangka waktu IPHPS 35 tahun, dievaluasi paling sedikit 1 kali 5 tahun. Diperpanjang atau tidak IPHPS ini tergantung hasil evaluasi 5 tahun ini. Jadi, rakyat tidak memiliki lahan dimaksud, tetap milik negara yang bisa diambil kembali karena rakyat bersangkutan tidak melaksanakan kewajiban.
Apa kewajiban pemegang IPHPS? 1. Menjaga arealnya dari perusakan dan pencemaran lingkungan; 2. Memberi tanda batas areal kerjanya; 3. Menyusun rencana pemanfaatan jangka panjang 10 thn dan pendek 1 thn; 4. Melakukan penanaman dan pemeliharaan hutan di areal kerjanya; 5. Melaksanakan tata usaha hasil hutan; dan, 6. Melaksanakan fungsi perlindungan.
Kecuali ada kewajiban pemegang IPHPS, juga memiliki hak. 1. Melakukan kegiatan pd areal IPHPS;2. Mendapat perlindungan dari gangguan perusakan dan pencemaran lingkungan atau pengambilalihan sepihak oleh pihak lain; 3. Mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan sesuai fungsinya; 4. Mendapatkan pendampingan, termasuk teknologi, akses pembiayaan dan pemasaran; 5. Mendapatkan hasil usaha; 6. Bermitra dgn BUMN dan BUMS.
Kritik dan kecaman butir 1 di aitas juga mengklaim ” tanpa kontrol”. Kritik ini apriori tanpa memahami Permen LHK P39, terutama Bab V Pendampingan, Bab VII. Monitoring dan Evaluasi, Bab VIII Pembinaan dan Fasilitasi dan Bab IX Sanksi. Bab2 ini secara detail mengatur pemegang IPHPS sebagai komponen strategis kontrol atas pemegang IPHPS.
Adalah keliru dan apriori penilaian pengkritik Permen LHK P39 bahwa pemegang IPGPS tanpa kontrol. Jika ditelaah secara seksama, justru kebijakan perhutanan sosial ini sangat menekankan aspek kontrol terhadap pemegang IPHPS. (MEH/abadikini)