Berita  

Mahkamah Agung Bebaskan Terdakwa BLBI, ICW Desak KY Bertindak

foto/istimewa

JAKARTA, SriwijayaAktual.com – Mahkamah Agung (MA) dalam putusan
kasasi membebaskan terdakwa korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) mantan Kepala Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung.

Padahal sebelumnya, pengadilan menyatakan Syafruddin terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah dalam perkara ini sehingga dijatuhi hukuman 15
tahun penjara.

Peneliti ICW Kurnia Ramadana mengatakan putusan kasasi MA atas
Syafruddin ini akan berimplikasi serius terhadap tingkat kepercayaan
publik kepada lembaga peradilan.

ICW mendesak Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk
memeriksa Hakim yang mengadili perkara Syafruddin. “Jika ditemukan
adanya pelanggaran maka hakim tersebut harus dijatuhi hukuman,” kata
Kurnia dalam siaran persnya, Selasa (9/7/2019) malam.

ICW menuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap mengusut tuntas
perkara yang melibatkan dua tersangka lainnya, yakni Sjamsul Nursalim
dan Itjih Nursalim sembari mengupayakan memaksimalkan pemulihan kerugian
negara Rp 4,58 triliun.

Menurutnya, langkah KPK yang menggiring praktik rasuah ini ke ranah
pidana sudah tepat. Terlebih, kata dia, sudah ada tiga putusan
pengadilan yang membenarkan langkah KPK. Mulai dari praperadilan,
pengadilan tingkat pertama, dan pada fase banding.

“Ketiganya menyatakan bahwa langkah KPK yang menyimpulkan bahwa perkara
yang melibatkan Syafruddin murni pada rumpun hukum pidana telah benar,”
ungkap Kurnia.

Karena itu, Kurnia menyatakan, tidak ada landasan hukum apa pun yang
membenarkan bahwa perkara ini berada dalam hukum perdata ataupun
administrasi.

Perlu ditegaskan, banyak pihak yang seakan menganggap putusan MA kali
ini dapat menggugurkan penyidikan KPK atas dua tersangka lain, yakni
Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim adalah keliru. Menurut dia, pada
dasarnya Pasal 40 UU KPK telah menegaskan bahwa KPK tidak berwenang
mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

“Jadi, KPK dapat tetap melanjutkan penyidikan dan bahkan melimpahkan perkara Nursalim ke persidangan,” katanya.

Sebagai informasi, jelas Kurnia, Syafruddin sebelumnya dinyatakan
bersalah telah memperkaya salah satu obligor BLBI, Sjamsul Nursalim
(Pemegang Saham Pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia) Rp 4,58
triliun atas dasar pengeluaran SKL. Padahal yang bersangkutan mengetahui
aset yang dijaminkan oleh Nursalim berstatus misrepresentasi, sehingga
tidak layak diberikan SKL.

“Pengeluaran SKL ini berdampak serius, karena mengakibatkan hak tagih
negara menjadi hilang pada Nursalim,” kata Kurnia, Selasa (9/7) malam.

Jumlah kewajiban Sjamsul Nursalim adalah sebesar Rp 47,2triliun (angka
ini diperoleh berdasarkan kucuran BLBI yang diterima oleh BDNI dan total
dana nasabah). Pada masa itu Nursalim mengklaim memiliki aset Rp 18,8
triliun, salah satunya diperoleh dari pinjaman petani atau petambak PT
Dipasena Rp 4,8 triliun. Jadi jumlah kewajiban Nursalim dikurangi dengan
aset yang ia miliki adalah senilai Rp 28 triliun.

Persoalan pun timbul, aset Rp 4,8 triliun yang dijaminkan Nursalim
kepada negara untuk melunasi utang-utangnya ternyata bermasalah.
Kesimpulan ini bukan tanpa dasar. Saat itu BPPN telah melakukan dua
model audit, yakni Financial Due Dilligence dan Legal Due Dilligence.

Kesimpulannya menerangkan bahwa aset ini dikatagorikan sebagai
misrepresentasi atau sederhananya tidak sesuai dengan nilai yang
disebutkan.

Tentu ini menimbulkan persepsi bahwa ada niat jahat (mens rea) dari
Nursalim untuk berupaya mengelabui negara atas pelunasan uutangnya.

Selang waktu enam tahun kemudian, tepatnya pada Februari 2004 diadakan
rapat kabinet terbatas yang dihadiri Presiden untuk membahas usulan dari
Syafruddin yang meminta agar sisa utang Nursalim dihapus.

Padahal yang bersangkutan mengetahui secara jelas bahwa aset Rp 4,8
triliun milik Nursalim itu sedari awal bermasalah berdasarkan penjelasan
audit di atas.

Dari data yang ditemukan diketahui bahwa rapat terbatas tersebut tidak
membuahkan sebuah kesimpulan, atau dapat dikatakan presiden sama sekali
belum memberikan persetujuan atas usul penghapusan utang itu.

Namun terjadi hal yang di luar dugaan, dua bulan pascarapat kabinet itu
tiba-tiba BPPN menerbitkan SKL pada Nursalim. Kebijakan ini yang
mengakibatkan Nursalim seakan terbebas dari kewajiban hukumnya, yakni
melunasi utang BLBI pada negara.

Pada 2007 aset Nursalim yang telah dijaminkan kepada negara dilelang
oleh Kementerian Keuangan. Benar saja, dua audit yang menghasilkan
kesimpulan misrepresentasi atas aset Nursalim terbukti. Aset yang sedari
awal diklaim Nursalim bernilai Rp 4,8 trilyun ternyata hanya laku Rp
220 miliar.

“Atas dasar selisih nilai aset itulah kemudian kerugian negara yang timbul atas kasus ini Rp 4,58 triliun,” kata Kurnia. [jn]
Spesial Untuk Mu :  Jadikan MEA Untuk Peluang Berkiprah