Januari 2018, kemarin seorang advokat di Nagoya (Jepang) menjawab
pertanyaan saya sambil terheran-heran. Saat itu saya bersama Zainal
Arifin Mochtar (Uceng) dari Fakultas Hukum UGM diundang makan siang oleh
pimpinan ASEAN Nagoya Club (ANC) di sebuah restoran di Nagoya.
ANC
adalah sebuah komunitas pebisnis untuk kawasan ASEAN yang berkedudukan
di Nagoya. Mungkin karena saya dan Uceng berprofesi sebagai dosen di
bidang hukum, pihak tuan rumah membawa seorang advokat, Junya Haruna,
dan seorang guru besar hukum konstitusi dari Nagoya University, Prof
Shimada.
Dengan maksud mengobrol masalah yang ringan-ringan
saja, saya bertanya kepada Junya Haruna, “Seberapa banyak kasus
penyuapan terhadap hakim yang terjadi di Jepang?” Haruna terperanjat dan
tampak heran atas pertanyaan itu.
Dia mengatakan, sepanjang
kariernya dia tidak pernah mendengar ada hakim dicurigai menerima suap
di Jepang. “Terpikir pun tidak pernah.”
Di Jepang, kata Haruna,
masyarakat percaya bahwa hakim tidak mau disuap. Di sana hakim sangat
dihormati dan dimuliakan karena integritasnya. “Apakah Anda percaya pada
semua putusan hakim yang juga mengalahkan Anda dalam menangani
perkara?” tanya saya. Haruna menjawab, semua putusan hakim diterima dan
dipercaya sebagai putusan yang dikeluarkan sesuai dengan kebenaran
posisi hukum yang diyakini oleh hakim.
“Di sini tidak pernah ada
kecurigaan hakim disuap. Seumpama pun kami kalah dan tidak sependapat
dengan putusan hakim, paling jauh kami hanya mengira hakim kurang
menguasai dalam satu kasus yang spesifik dan rumit atau kamilah yang
kurang bisa meyakinkan hakim dalam berargumen dan mengajukan bukti di
pengadilan. Tak pernah terpikir, hakim kok memutus karena disuap,”
tambah Haruna.
Ketika Haruna mau bertanya balik tentang Indonesia, saya segera membelokkan pembicaraan. Saya bilang restoran tempat kita lunch sangat
indah dikelilingi oleh kebun bunga yang memancing selera makan,
termasuk bunga sakura dan pohon-pohon yang seperti dibonsai dengan
begitu harmonis. Lalu saya mengajak berfoto.
segera berpatut-patut mengangkat kameranya yang canggih dan mengomando
kami agar ambil posisi untuk foto bersama. Uceng membantu saya dengan
gaya seperti pemotret profesional. Pembelokan pokok pembicaraan pun
berhasil digiring oleh Uceng.
pembicaraan tentang “penyuapan hakim” itu karena saya takut ditanya
balik dan harus bercerita jujur tentang hukum, hakim, pengacara, dan
penegakan hukum di Indonesia. Tak mungkin bisa keluar dari mulut saya
cerita tentang betapa buruknya penegakan hukum di Indonesia. Apalagi
saat itu saya baru berusaha meyakinkan pimpinan ANC bahwa aturan hukum
di Indonesia sangat kondusif untuk berinvestasi.
malu kalau saya harus berbicara keadaan Indonesia tentang itu.
Bayangkanlah, saya harus bercerita, hakim-hakim di Indonesia bukan hanya
dicurigai tetapi benar-benar banyak yang digelandang ke penjara karena
penyuapan.
bahwa di Indonesia banyak pengacara tersandung kasus karena menyuap atau
berusaha menyuap hakim. Tak mungkin saya bercerita bahwa banyak
pengacara di Indonesia yang tidak mengandalkan kompetensi dalam profesi
hukum, tetapi hanya melatih dirinya untuk melobi aparat penegak hukum
atau menggunakan posisi politik agar perkaranya dimenangkan dengan
imbalan uang.
yang magang (latihan mencari pengalaman) kepada pengacara senior justru
tugas pertamanya adalah disuruh mengantar uang kepada hakim, jaksa,
atau polisi dan yang bersangkutan harus memastikan penyerahan suap itu
aman adanya.
saya kalau ditanya apakah di Indonesia ada jaksa atau polisi yang
dihukum karena penyuapan dan rekayasa perkara? Akan malu saya sebagai
anak bangsa jika menjawab itu dengan jujur tetapi akan berdosa saya
sebagai muslim jika saya menjawab dengan berbohong. Kita memang
mempunyai budaya sendiri sebagai bangsa, tetapi tidak salahkah kalau
dalam soal berhukum kita meniru Jepang.
menjadi ketua MK, saya diundang menjadi tamu oleh Kementerian Luar
Negeri Jepang di Tokyo. Saat saya tiba di sana, sedang gencar berita dan
kampanye untuk pemilihan gubernur Tokyo.
gubernur? Ya, tetapi bukan berdasar jadwal normal, melainkan karena
Gubernur Inosi, pejabat yang definitif, mengundurkan diri.
mengundurkan diri? Karena sang gubernur diberitakan meminjam uang tanpa
jaminan ke sebuah rumah sakit besar dan oleh pers itu dicurigai untuk
mendanai kampanye politiknya. Karena pinjaman itu tanpa jaminan, pers
menduga Inosi nanti akan memberikan imbalan dalam bentuk, mungkin,
korupsi politik
malu saat dicurigai akan (baru dicurigai: akan) menggunakan jabatannya
untuk melakukan korupsi politik. Eloknya lagi, sekitar seminggu setelah
saya pulang dari Jepang awal 2014 itu seorang pegawai dari Kedutaan
Besar Jepang di Jakarta datang kepada saya mengantarkan uang Rp120.000
(seratus dua puluh ribu rupiah). Untuk apa?
sudah diundang ke Jepang dengan fasilitas mewah, soal uang seratus dua
puluh ribu rupiah pun masih diantarkan kepada saya. “Duh, kok repot-repot ngantar uang
Rp120.000 ke sini? Kalau naik taksi pulang-pergi dari kantor Anda ke
sini sudah lebih dari Rp200.000,“ kata saya. Apa jawab petugas itu? “Itu
peraturan di kantor kami. Kami harus mematuhi semua peraturan tanpa
menambah atau mengurangi,” jawabnya.
Jepang adalah anggota
Kelompok Negara G-7, salah satu dari tujuh negara termaju di dunia.
Budaya hukumnya sangat indah, peraturan sesederhana apa pun ditaati.
Inilah rasanya yang lebih pas menjadi budaya Pancasila.
“Berapa
puluh tahun lagi kita bisa berhukum seperti itu, Prof?” kata Uceng saat
kami keluar dari jamuan makan siang Selasa lalu itu. “Nanti diskusikan
di Jakarta saja,” jawab saya.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN),
Ketua MK (2008-2013)