PEGIDA Logo |
Kota Dresden, yang menjadi tempat kelahiran Pegida, memiliki sejarah kelam gerakan anti-Islam. Pada Juli 2009, Marwa El-Sherbini gugur ditikam pisau sebanyak 18 kali tusukan di depan suami dan anaknya sendiri yang berusia tiga tahun ketika berada di pengadilan Dresden. Ironisnya, suami Marwa ditembak pihak keamanan pengadilan Dresden ketika berusaha melindungi isterinya yang diserang dengan senjata tajam oleh pemuda Jerman bernama Alex W.
Marwa menuntut Alex di pengadilan, karena telah menyebutnya sebagai teroris, hanya karena Muslimah Mesir ini mengenakan berjilbab. Sedangkan suami Marwa, yang berusaha menolong isterinya, justeru ditembak oleh polisi yang menjaga ruang sidang. Akibat tembakan itu, suami Marwa mengalami luka serius.
Media dan pemerintah Jerman sejak awal terjadinya insiden berusaha menutupi kasus Marwa. Pemerintah Jerman bahkan baru secara resmi menyampaikan duka cita pada Mesir, negara asal Marwa, setelah 10 hari insiden itu terjadi.
Sikap media dan pemerintah Jerman terhadap kasus Marwa menunjukkan biasnya negara-negara Barat dalam menangani kasus-kasus kejahatan rasial dan Islamofobia yang menimpa kaum Muslim di negeri itu. Polisi Jerman juga dianggap telah gagal melindungi korban karena kejadian itu terjadi dalam ruang sidang yang seharus steril dari segala macam bentuk kekerasan.
Polisi Jerman dinilai tidak bekerja profesional, karena tidak bisa membedakan mana suami Marwa yang berusaha membela diri istrinya, dan Alex yang menyerang Marwa. Ini baru satu contoh kecil saja dari fenomena gunung es Islamofobia di negara-negara Barat.
PEGIDA Rally 1 |
Pegida memulai aktivitasnya dari Dresden yang menyebar ke berbagai kota besar Jerman lainnya. Kemudian, para pendukung gerakan anti-Islam ini mengorganisir berbagai aksi unjuk rasa dan propaganda Islamfobia di berbagai negara Eropa seperti Austria, Swedia, Denmark, Belanda dan Inggris. Meskipun gerakan yang menentang Pegida di Eropa juga tidak kecil, tapi gerakan Islamfobia di Eropa kian hari semakin gencar.
Lebih dari sekedar unjuk rasa dan propaganda anti-Islam, serangan terhadap imigran Muslim juga semakin masif. Berdasarkan data statistik Jerman, serangan terhadap imigran di negara ini melebihi wilayah lainnya di Eropa. Pada tahun 2013, terjadi sebanyak 159 kasus penyerangan. Jumlah tersebut, naik di tahun 2014 menjadi 179 kasus.
Pegida memanfaatkan sentimen anti-imigran yang marak di Jerman untuk menarik dukungan besar terhadap gerakan anti-Islam di Eropa. Dengan mempertimbangkan tingginya imigran Muslim yang datang dari negara-negara Islam ke Eropa, faktanya gerakan anti imigran tidak lain dari gerakan anti-Islam dan pembatasan lebih ketat terhadap Muslim di Eropa.
PEGIDA Rally 2 |
Di Jerman muncul keyakinan bahwa kelompok Pegida memainkan peran penting sebagai gerakan anti imigran. Dilaporkan, para pendiri Pegida adalah orang-orang yang memiliki rekam jejak kriminal. Der Spiegel memberitakan, anggota dewan pendiri Pegida memiliki masalah kriminal, bahkan sebagian pernah menjalani hukuman penjara.
Menurut majalah mingguan Jerman ini, kebanyakan anggota kelompok Pegida adalah hooligan sayap kanan ekstrem pendukung klub sepakbola kota Dresden FC. Fakta lain yang tidak bisa dipungkiri, sebagian pendukung Pegida adalah pengikut Neo-Nazisme.
Dalam sebuah polling yang digelar belum lama ini mengenai kelompok tersebut menunjukkan bahwa sepertiga rakyat Jerman tidak menentang keberadaan kelompok Pegida. Bahkan, sebanyak 65 persen responden menilai Kanselir Jerman tidak menaruh perhatian besar terhadap masalah gelombang imigran yang datang ke Jerman.
PEGIDA Anti Refugees Campaign |
Gerakan anti-imigran dan anti-Islam di Eropa memiliki kesamaan konsepsi. Partai sayap kanan moderat yang tidak bisa menyuarakan sikap anti-Islamnya, bersembunyi di balik topeng gerakan anti-imigran, dan menciptakan berbagai pembatasan terhadap para imigran dengan target melancarkan Islamfobia.
Beberapa tahun lalu, Kanselir Jerman, Angela Merkel mengakui kegagalan terwujudnya mutikulturalisme di Eropa, terutama Jerman. Kemudian, pernyataan kanselir Jerman tersebut juga dibenarkan oleh Nicolas Sarkozy yang saat itu menjabat sebagai presiden Prancis, dan perdana menteri Inggris, David Cameron.
Sebelumnya, multikulturalisme menjadi proyek prestisius negara-negara Eropa sebelum dinilai gagal penerapannya oleh para pejabat tinggi mereka sendiri. Kini, alih-alih menciptakan keragaman budaya dan kehidupan yang harmonis antarbangsa dan budaya yang beragam di Eropa, Para pejabat negara Eropa justru menelorkan prakarsa baru dengan menggulirkan konsep Islam Eropa.
European Muslim Pray on The Street |
Konsep Islam Eropa adalah konsep untuk menyatukan budaya Muslim dengan budaya Barat. Berdasarkan prakarsa tersebut, Muslim Eropa harus hidup dengan tatanan budaya Eropa. Artinya segala bentuk aplikasi budaya Islam yang “bukan Eropa” seperti hijab, burqa, memelihara janggut, dll tidak diperkenankan.
Dalam sejumlah prakarsa disebutkan mengenai penggabungan imigran dalam budaya Jerman. Salah satunya, prakarsa bagi imigran untuk berbicara dengan bahasa Jerman di rumah mereka. Selain itu, pembatasan di sekolah Muslim dalam penggunaan bahasa Arab dengan alasan dapat menyuburkan ancaman radikalisme dan esktremisme.
Sebagian prakarsa tersebut bukan hanya sekedar konsep di atas kertas saja, tapi dengan berlalunya waktu menjadi undang-undang yang mendapatkan kekuatan hukum dari negara dan meningkatkan tekanan terhadap imigran serta eskalasi Islamfobia. Contoh paling nyata adalah larangan bagi guru Muslimah berhijab di sekolah-sekolah negeri di Jerman.
European Muslim 1 |
Dalam kasus ini, Prancis berada di garda paling depan. Padahal, negara ini mengklaim sebagai pendukung kebebasan dan demokrasi. Kemudian, negara-negara Eropa lainnya mengikuti jejak Prancis dalam melakukan pembatasan ketat terhadap Muslim di negara masing-masing.
Kondisi tersebut berlangsung di saat Prancis merupakan negara dengan jumlah populasi Muslim terbesar di benua Eropa. Berdasarkan prinsip Liberal Demokrasi Barat sendiri, seharusnya Prancis memberikan kebebasan kepada warga Muslim, termasuk kebebasan menjalankan keyakinan agamanya.
Ironisnya, pemerintah Prancis alih-alih mengakui hak Muslim, tapi justru meningkatkan pembatasan terhadap imigran dan mendukung gelombang Islamophobia di negaranya sendiri. Disinilah letak sikap hipokrit negara-negara barat dengan standar gandanya dalam melaksanakan prinsip-prinsip yang mereka klaim “milik Eropa”!.
Pengakuan terhadap kegagalan program multikulturalisme, dan prakarsa penyatuan budaya imigran dengan masyarakat Barat menunjukkan jawaban para pejabat tinggi negara-negara Barat terhadap kekhawatiran meningkatnya jumlah Muslim di Eropa. Padahal selama ini mayoritas Muslim Eropa bisa hidup harmonis dengan lingkungannya.
European Muslim 2 |
Kepada bangsa-bangsa lainnya, Pemerintah Barat juga terus menerus menyebarkan citra buruk mengenai Islam dan Muslim yang mereka identikkan dengan teroris. Barat mengaitkan aksi teroris ISIS dan Al-Qaeda dengan agama Islam. Padahal Islam sejatinya menyebarkan perdamaian, keadilan dan kasih sayang. Faktanya, kaum Muslim mainstream sendiri terang-terangan menentang ISIS dan Al-Qaeda.
Propaganda masif Islamophobia di Eropa menyulut lahirnya media satir anti-Islam seperti Charlie Hebdo yang membuat kartun menistakan Rasulullah Saw. Ironisnya, terbitnya kartun yang menghina Rasulullah Saw tersebut berlindung di balik kebebasan berekspresi. Tapi pada saat yang sama menerapkan standar ganda dengan membatasi aktivitas beragama Muslim di Eropa.
Anti-Pegida Rally |
Barrack Obama Quotes |