Berita  

Mengungkap’…Jejak Pendeta Bertato yang Berkawan dengan Anak Pekerja Seks

Agus%2BSutikno%252C%2Bpendeta%2Bnyentrik
Agus Sutikno, pendeta nyentrik yang akrab dengan kaum pinggiran. (Metrosemarang/fariz fardianto)

SEMARANG-JATENG, SriwijayaAktual.com – Penampilannya yang penuh tato pada wajahnya membuat Agus Sutikno mudah
dikenali di Kampung Pandean Lamper, Semarang Timur. Tapi pada Kamis
(9/3/2017), kondisi kampung tersebut cenderung sepi. Pemandangannya sangat
kontras dibanding malam hari di mana banyak penjaja seks mangkal di
rumah-rumah bordil.
Agus siang itu tampak sibuk bercengkrama dengan beberapa pemuda
setempat. Sekilas perawakannya terlihat seram. Tubuhnya tinggi kurus
serta berambut gondrong tak nampak seperti seorang pendeta Kristen.
“Sudah 14 tahun saya tinggal di Pandean Lamper bersama anak-anak
pekerja seks. Orangtuanya membuka jasa panti pijat sedangkan mereka
putus sekolah,” kata Agus.
Kampung Pandean Lamper, kata Agus merupakan kawasan kumuh yang sarat
permasalahan sosial. Kampung itu dihuni ragam masyarakat yang punya
masalah sangat kompleks.
“Ada 80 waria, kos-kosan pemandu karaoke yang berbaur dengan
rumah-rumah pengemis dan pemulung, belum lagi ODHA (Orang dengan HIV
AIDS) dan anak pekerja seks. Makanya saya mencoba mengangkat harkat
hidup mereka,” tuturnya.
Ia yang terenyuh melihat banyaknya anak putus sekolah akhirnya
berusaha pasang badan untuk membiayai sekolah mereka. Ini baginya misi
Tuhan yang patut dijalankan oleh tiap pemula agama, khususnya kalangan
gerejawi seperti dirinya.
“Walau saya seorang pendeta, tapi saya pastikan di sini tidak ada
yang pindah agama. Saya hormati semuanya. Tidak ada kristenisasi. Ini
misi Tuhan demi mengasihi umat manusia,” kata pendeta Kristen Pantekosa
Semarang itu, saat mengingat perjuangannya dengan mata berkaca-kaca.
Tiap donatur datang silih berganti. Ia bilang tangan-tangan Tuhan
secara sukarela tergerak mendatangi dirinya. Ada yang membawa uang ala
kadarnya. Tapi ada pula yang menyumbangkan tenaganya demi membantunya
menolong sesama manusia.
Uang para donatur yang terkumpul ia pakai untuk membiayai anak putus
sekolah. “Hati saya tersentuh melihat bagaimana ratusan anak terbelenggu
dalam lingkungan yang kumuh. Saya membiayai sekolahnya sampai SMK,”
akunya.
“Saya menyemangati mereka, jangan takut sukses. Walaupun kalian anak
pekerja seks, tapi berhak mengenyam pendidikan setinggi mungkin,”
cetusnya.
Ia sudah tak mempedulikan cibiran dari sesama pendeta Kristen. Ia
menganggap bila kebanyakan pendeta Kristen terjebak dogma yang mengakar
sejak puluhan abad. Sehingga mereka tak terima jika ada rekannya yang
bersikap berbeda dengannya.
Justru baginya, jadi pendeta tak melulu berpakaian rapi dan
berkhutbah di mimbar. Melainkan harus mampu bersosialisasi dengan
masyarakat luas.
“Jadi pendeta itu enggak cuma khutbah membacakan firman Tuhan. Namun
pendeta harus meneladani Yesus, berbaur dengan warga miskin sehingga
bisa menyampaikan misi Tuhan,” katanya, dikutip Metrosemarang.
Ia berharap anak pekerja seks bisa bersekolah setinggi mungkin demi
memutus mata rantai pelacuran yang melekat. Dengan mengenyam pendidikan,
para bocah bisa menggapai sukses layaknya masyarakat umum lainnya.
(*)

*Ambil Sisi Positifnya