mengapresiasi perubahan tata tertib DPD RI yang akan diberlakukan pada
periode 2019-2024 nanti.
Tatib DPD RI baru ini kata Dia, lebih menunjukkan kedisplinan terhadap
anggota-anggota baru sehingga akan ada peningkatan kinerja.
“Saya
apresiasi kalau niatnya seperti tadi tata tertib, karena memang tata
tertib filosofinya hakikat keberadaan tatib itu adalah mengatur secara
internal agar lembaga itu organisasi teratur,” kata La Ode dalam Dialog
Kenegaraan DPD RI bertama “Tata Tertib DPD RI Untuk Apa dan Siapa?” di
Media Center, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Mantan Wakil Ketua DPD RI itu juga menilai tatib baru dapat memberikan
sanksi terhadap anggota DPD RI yang tidak patuh untuk melaksanakan
fungsi-fungsinya. Terutama persoalan rapat-rapat legislasi baik itu
kehadiran rapat paripurna atau rapat di komite-komite.
“Saya paham betul dan saya mengapresiasi betul jika kemudian faktor
presensi itu menjadi 1 ukuran untuk memberikan sanksi administrasi dan
sanksi moral kepada setiap anggota sebagai bagian dari pelanggaran
etik,” katanya.
La Ode melanjutkan, anggota DPD RI merupakan perwakilan daerah yang
harus dijaga budaya masing-masing. Untuk itu, ia menyesalkan jika ada
senator yang tidak menjalankan fungsi-fungsi karena dapat merusak
kelembagaan DPD RI itu sendiri.
“Tetapi soal yang lain soal gaduhnya itu mungkin mencari bentuk itu
jangan sampai roh daerah , misalnya budaya Bali, itu harus terwujud,
harus terkenal menjadi bagian dari berpengaruh pada kelembagaan nasional
di DPD dan harus dijaga,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Badan Kehormatan (BK) DPD, Mervin S Komber
menjelaskan, proses pelantikan Presiden bisa terganggu jika Anggota DPD
menolak atau mengubah Tata Tertib Dewan Pimpinan Daerah (DPD) yang baru.
“Secara otomatis akan menggangu, mulai dari proses pengajuan calon wakil
ketua MPR dari DPD dan bahkan bisa mengganggu pelantikan Presiden juga,
inilah kenapa saya mengimbau kawan-kawan, untuk tidak mempermasalahkan
Tatib ini,” ujarnya.
Penyusunan tatib ini kata Marvin, tidak datang tiba-tiba, namun
sejatinya sudah dimulai cukup lama dan melahirkan beberapa pasal-pasal
yang sebenarnya adalah bagian dari penyempurnaan.
“Salah satunya adalah tentang Provinsi Kalimantan Utara, awalnya itu
hanya menyebutkan nama daerah tapi tidak disebutkan di alat kelengkapan,
karena ditatib yang lama, Kaltara masih diwakili Kalimantan Timur, ini
juga bagian penyempurnaan,” katanya.
34 yang sebelumnya hanya 33. Yang menjadi polemik itu sejatinya kata
Marvinn adalah soal pasal 55 Ayat 1 huruf b. Disebutkan calon pimpinan
tidak pernah melakukan pelanggaran tatib dan kode etik yang ditetapkan
Badan Kehormatan (BK) DPD. Selain itu, calon pimpinan tidak dalam status
tersangka.
Dalam Pasal 55, Ayat 1 huruf a menyebutkan calon pimpinan harus
menandatangan pakta integritas yang memuat tiga poin. Pertama,
mewujudkan penyelenggaraan lembaga negara yang berwibawa, baik, bersih
dengan menaati peraturan Tatib dan Kode Etik DPD.
Kedua, tidak melakukan politik uang, baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam bentuk penyuapan atau gratifikasi. Ketiga, bersedia
diberhentikan sementara oleh BK sesuai ketentuan mekanisme yang berlaku
apabila ditemukan pelanggaran sesuai poin pertama dan kedua.
Sementara dalam pasal 54 menyebutkan pimpinan DPD terdiri atas dua
mewakili Indonesia wilayah Barat dan dua perwakilan Indonesia wilayah
Timur. Pimpinan akan dipilih secara musyawarah mufakat. Namun jika tidak
tercapai kata mufakat maka akan dilakukan pemilihan secara pemungutan
suara (voting).
“Ributnya karena ada pasal itu. Sejatinya, pasal tersebut justeru
sebagai bagian, langkah kita ingin membangun parlemen yang bersih,”
tandasnya.
Jika tidak mau atau menolak pasal itu, ya itu artinya mereka tidak
setuju dengan adanya parlemen bersih. Dan saya sangat senang karena
ternyata pak La Ode Ida setuju dengan kami,” tandasnya.
Menurutnya lagi, pasal itu layak dimunculkan karena tidak ingin ada
pemimpin DPD ke depan diisi orang-orang bermasalah. “Dan salahsatu acuan
kita adalah pengalaman saat DPD dipimpin pak Irman Gumsn. Dimana saat
beliau ditepakan jadi TSK, kita bingung bagaimana berhentikan beliau,
karena memang tidak ada dalam aturan,” tegasnya.
Inilah kata Dia, yang kemudian ditetapkan dalam Tatib yang baru. “Jadi
secara otomatis, seorang pimpinan menjadi tersangka otomatis dia
berhenti dari jabatan pimpinan juga nantinya,” urainya.[teropongsenayan]