Berita  

MPR RI Sesalkan Gelagat Pemerintah Tarik Diri dari RUU Pemilu 2019 Karena Ambang Batas

RUU%2BPemilu%2B20170523 3908Hg

JAKARTA, SriwijayaAktual.com – Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid menyesalkan wacana dari pemerintah untuk menarik diri dari pembahasan RUU Pemilu.

Menurut Hidayat, rencana itu pasti akan kontra produktif dan
justru akan menampilkan posisi pemerintah yang tidak bagus di masyarakat
yang menginginkan RUU tentang pemilu itu segera diselesaika.
“Selama ini DPR yang selalu dituduh menghambat. Ketika pemerintah
sikapnya seperti ini itu justru mewujudkan bahwa bukan DPR yang
menghambat,” kata Hidayat di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (16/6/2017), dikutip dari rimanews.
Yang lebih disesalkan Hidayat, pemerintah tahu bahwa ada
perbedaan mendasar antara Pileg dan Pilpres 2014 dengan 2019 nanti.
Pileg dan Pilpres 2019 yang dilangsungkan serentak mensyaratkan aturan
yang tentunya pasti berbeda.
“Kalau pemerintah menarik diri akan muncul kekosongan hukum, mau
pakai apa pemilu 2019 yang serentak itu dengan waktu yang sangat mepet,”
ujarnya. 
Berita Terkait: Fadli Zon Curiga Sengaja Ada Akal-akalan Capres Tunggal Pemilu 2019
Tak hanya itu saja, KPU juga mendesak DPR segera menyelesaikan
RUU Pemilu karena meraka juga harus mempersiapkan diri untuk pelaksanaan
Pemilu.
“Jadi jangan sampai pemerintah dituduh menjadi penghambat
pembahasan RUU Pemilu dan yang dinilai komitmen untuk mensukseskan itu
menurut saya pemerintah melanjutkan (regulasi dari) DPR,” kata Wakil
Ketua Dewan Syuro PKS itu.
Kisruh ambang batas
Alotnya pembahasan RUU Pemilu karena sengketa ambang batas untuk
partai mengajukan calon presiden. Pemerintah melalui Mendagri Tjahjo
Kumolo ngotot menginginkan presidential threshold dalam skema 20-25
persen sesuai dengan UU No.42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden.
Dikatakan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, pemerintah memiliki
pertimbangan dalam mengusulkan Presidential Threshold 20 persen kursi
dan 25 persen perolehan suara sah nasional.
“Pertimbangannya, jumlah presidential threshold tersebut sama
dengan pengaturan dalam UU lama yakni UU No.42 tahun 2008 tentang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden, sehingga prinsipnya sama dengan aturan
sebelumnya,” ujar Tjahjo di Jakarta, Rabu (14/6/2017).
Selain itu, upaya uji materi di MK yang pernah diajukan terhadap
UU No.42/2008, tidak membatalkan pasal tentang presidential threshold,
sehingga tidak bertentangan dengan konstitusi. Perlu diketahui bahwa
Pileg dan Pilpres serentak adalah hasil dari putusan Mahkamah
Konstitusi.
Tjahjo beralasan bahwa presidential threshold mendorong
peningkatan kualitas Capres/Cawapres serta memastikan bahwa
Presiden/Wapres yang terpilih telah memiliki dukungan minimum parpol
atau gabungan partai di parlemen. 
Baca Juga: Lima Isu Urgent Krusial ini Menjadi Fokus Pembahsan Pansus RUU Pemilu
Sementara itu, sebelumnya, Ketua Panitia Khusus Rancangan
Undang-Undang Pemilu Lukman Edy mengatakan fraksi-fraksi sudah
menyepakati ambang batas parlemen hanya 4 persen. Usulan inilah yang
membutuhkan pengesahan, yang tampak dihindari oleh pemerintah.
Dia menjelaskan fraks-fraksi menyepakati angka ambang batas itu
setelah membahas empat pilihan ambang batas parlemen 3,5 persen, empat
persen, lima persen, dan tujuh persen. 
Lukman optimistis rapat Pansus Pemilu akan menyepakati penetapan
ambang batas itu tanpa melakukan pemungutan suara. Akan tetapi, rapat
beberapa kali tertunda karena Tjahjo, sebagai wakil dari pemerintah,
tidak hadir. (*)