dan ibu kota, Yangon, bermodalkan US$ 590 atau setara Rp7,8 juta, Nwe
Nwe Oo berharap terhindar dari perburuan yang dilakukan pasukan
pemerintah terhadap minoritas Muslim dan bisa memulai hidup baru.
tersebut, janda 50 tahun itu sudah menghabiskan lebih dari separuh
uangnya untuk menyewa kamar berukuran 8 meter persegi.
sangat cemas. Saya tidak bisa menemukan pekerjaan di sini,” kata Nwe.
Keluarga tersebut sangat tergantung kepada anak tertua dengan gaji US$
88 sebulan di pabrik teh.
Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, sejak April lalu telah menutup kamp
pengungsi yang didiami Nwe, di kota Ramree.
cara pemerintah Myanmar menangani penutupan tersebut karena dianggap
bisa memberikan preseden mengkhawatirkan saat menangani kamp yang lebih
besar di Rakhine dengan jumlah puluhan ribu pengungsi.
Kemanusian (OCHA) di Myanmar, jika tidak ada usaha untuk membawa
perdamaian dan stabilitas di Rakhine, penutupan kamp tersebut hanya akan
memindahkan masalah ke tempat lain.
karena menurut pemerintah, kamp pengungsi di Ramree, kota di selatan
Rakhine, tidak aman bagi 128 pengungsi Muslim yang ada di sana.
Muslim Rohingya, mereka secara resmi diakui sebagai warga negara dan
suku di Myanmar.
terjadi kerusuhan antara kelompok Islam dan Budha Rakhine pada 2012 yang
menelan korban hampir 200 orang dan membuat ribuan lain kehilangan
tempat tinggal.
yang diharapkan adalah kembali ke tanah kelahiran kami. Saya tidak tahu
apakah itu bisa terjadi,” kata Nwe.
pengungsi yang sejak April lalu diberi tiket bus, pesawat udara dan
serta bantuan keuangan jika mereka bersedia meninggalkan arena yang
mayoritas Budha.
kepada petugas PBB, mereka tidak dibolehkan kembali ke tanah asal mereka
dan tidak diberi pilihan lain selain pergi.
lalu menempatkan kembali sekitar 300 suku Rakhine, yang beragama
Buddha, ke 65 rumah di kawasan Kyauk Pyu.
rumah baru yang dilengkapi dengan air bersih, listrik dan sistem
drainase.
diizinkan kembali ke daerah asal mereka, maka hanya ada sedikit solusi
yang bisa dicapai bagi 120 ribu kelompok Muslim Rohingya yang sampai
sekarang masih tidak diakui sebagai warga negara Myanmar, meski mereka
sudah turun temurun tinggal di Rakhine.
Kaman, sebuah kelompok yang secara resmi diakui sebagai warga negara,
harapan apa yang bisa diperoleh warga Rohingya?” kata Lara Haigh,
peneliti dari Amnesti Internasional.
apartheid di Ramree, karena pengemudi bus tidak mau membawa kaum Muslim,
tidak diberi peluang sama untuk mendapatkan pekerjaan yang layak serta
pendidikan bagi anak-anak.
menghadapi banyak masalah jika tetap tinggal disana,” kata Tin Hla,
seorang ayah empat anak berusia 55 tahun.
penutupan kamp bisa meningkatkan taraf hidup mereka sehari-hari.
berusia 28 tahun, sudah tidak sabar menunggu hasil wawancara untuk
mendapakan pekerjaan di perusahaan pembangunan.