Pakar Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra (Net) |
harusnya menjadi panglima di negeri ini. Tanpa hukum, ketertiban dan
keadilan mustahil tercipta. Maka itu, seorang pemimpin harusnya
menjunjung tinggi hukum dalam menjalankan kekuasaannya.
memosisikan hukum dalam menjalankan kepemimpinannya selama dua tahun.
Berikut hasil perbincangan seperti dikutip dari SINDOnews (21/10/2016) dengan pakar hukum tata Negara
Prof. Yusril Ihza Mahendra.
Pemerintahan Jokowi ini mulai menjalankan pemerintahan sudah terdapat
kesalahan-kesalahan dalam penerapan hukum administrasi negara kemudian
berdampak juga ke bidang-bidang hukum yang lain. Pertama, sekali itu
kesalahan-kesalahan dalam prosedur pengangkatan pengusulan orang dalam
jabatan, sudah terjadi. Pada kasus Kapolri, pemberhentian dan penunjukan
Plt Kapolri yang sebenarnya mengacaukan sistem yang ada.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sampai kasus Partai Golkar,
kelihatannya dalam menegakkan dan menjalankan pemerintahan sesuai norma
hukum yang berlaku, kelihatannya tidak baik. Jadi, pemerintahnya
seperti punya sebuah kepentingan, lalu memaksakan kehendaknya dan
mengabaikan norma-norma hukum yang berlaku.
seharusnya netral, tidak memihak. Tapi kelihatan sekali terjadi
pemihakan dan terjadi intervensi, sehingga partai politik yang merupakan
salah satu organ penting dalam membangun demokrasi menjadi susah untuk
bisa independen dan akhirnya harus melayani pihak yang berkuasa.
kedaulatan negara kelihatan sekali pemerintah kita tidak sungguh-sungguh
menyadari adanya ancaman dari negara-negara lain terhadap kedaulatan
negara kita. Misalnya klaim China atas Laut China Selatan yang berdampak
luas terhadap konsep negara kita sebagai negara kepulauan.
program poros maritim yang match dengan cycle-nya China, sehingga bagi
saya sebenarnya penegakan hukum di laut juga menjadi ancaman bagi
kedaulatan negara di masa datang. Di bidang hukum pidana kita terjadi
tebang pilih, pemaksaan kehendak.
beberapa kasus, tapi begitu saja lolos, dan terbaca semacam ada
barter-barter politik dalam penegakan hukum. Mulai dari kasus
dinyatakannya tersangka para Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) kemudian mereka belakangan kasusnya dideponering.
menegakkan hukum, seolah-olah kalau orang yang katanya pegiat
antikorupsi sepertinya penerapan hukum pidana korupsi menjadi lemah pada
mereka. Misalnya kasus Denny Indrayana sudah dinyatakan tersangka,
perkaranya sudah dilimpahkan, sekarang orangnya di Australia.
lain, apa yang terjadi? Orang lain kalau dinyatakan tersangka, dicekal
tidak bisa ke luar negeri, Denny malah tenang-tenang saja mengajar di
Australia, begitu juga deponering kasus yang menimpa beberapa Komisioner
KPK.
sih tidak sungguh-sungguh menegakkan hukum. Jadi sejauh di mana
penghentian perkara itu dideponering untuk kepentingan umum, di mana
letak kepentingan umumnya. Itu sudah dua kali terjadi pada KPK dan ini
Kejaksaan Agung memberikan satu alasan deponering itu enggak mengembang,
tidak jelas arahnya. Jadi terlihat jelas penegakan hukum tidak merata,
tapi tebang pilih.
kasus yang menimpa mereka terkait politik langsung dengan pemerintah,
penegakan hukumnya sangat lemah. Kasus Pak Surya Paloh misalnya, kasus
Gubernur DKI Jakarta. Jadi seperti ada barter-barter politik.
DKI Jakarta itu sebenarnya sudah terjadi penyimpangan prosedur dalam
pengelolaan dana yang seharusnya dimasukan ke APBN. Misalnya mengenai
denda dan kompensasi, ya semuanya itu dikelola begitu saja seperti
mengelola uang negara seperti mengelola dana non budgeter seperti zaman
di Orde Baru.
Waras yang menghebohkan, ada kasus beli tanah dua kali yang
menghebohkan, ada kasus reklamasi. Kalau terjadi pada kepala daerah
lain, sudah wasalam itu sebenarnya.
dibuka kasusnya, Gubernur DKI nya mengatakan seperti mengancam
presiden. Anda tidak akan menjadi presiden tanpa pengembang
sebagainya-sebagainya. Makanya mengancam presiden ya kalau nanti dibuka
juga kasus Transjakarta.
kelihatannya para aktor-aktor utama dalam politik kita tersandera,
sehingga penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan secara optimal dan
konsisten. Bagi saya sih penegakan hukum seperti itu sangat buruk lah.
juga intervensi dari kekuasaan eksekutif terhadap badan-badan yudikatif,
itu juga terasa sekali. Justru di awal reformasi kita ingin sekali
supaya pemerintah tidak lagi bersentuhan dengan bidang yudikatif. Ingat
zaman saya juga pemisahan fungsi-fungsi antara eksekutif dengan
yudikatif, sehingga hakim-hakim tidak lagi departemen kehakiman. Semua
disatu atapkan di Mahkamah Agung.
lepas dari pengaruh pemerintah. Tapi seperti kita lihat banyak kasus
terjadi, ya semacam sandera menyandera. Akibatnya sukar mendapatkan
putusan pengadilan yang bersifat objektif.
tadi, dari awal pemerintah ini sudah kacau dalam menerapkan hukum
adminitrasi negara. Masalah kewarganegaraan kan terkait administrasi
negara, masalah pengangkatan menteri juga terkait dengan hukum
administrasi negara.
nya seolah-olah tidak mengerti hukum. Baik dalam pengesahan partai
politik yang terjadi pada Golkar dan PPP maupun dalam kasus Arcandra
ini.
kadang kurang hati-hati, lalu menerapkan hukum secara sembarangan,
seperti ada kemauan dan kemauan itu dilegitimasi dengan hukum. Bukan
kemauan itu menyesuaikan dengan aturan hukum. Jadi terbalik, itu yang
terjadi.
penegakan hukum. Dari segi aparatur, memang KPK yang sekarang agak lemah
dibanding dengan KPK sebelumnya.
dari masyarakat agar KPK mampu menangani dan mengungkapkan kasus-kasus
besar karena seperti itu lah sebenarnya maksud kita dulu membuat KPK.
Saya orang yang mengajukan rancangan Undang-undang pembentukan KPK ke
DPR sampai selesai.
Romli Atmasasmita, tapi sekarang rupanya tidak ada satu prestasi
menonjol yang dilakukan KPK, baik dalam pencegahan maupun dalam
penindakan kasus-kasus korupsi yang terjadi di masyarakat, maksudnya
kasus-kasus besar. Tapi yang terungkap ini banyak kasus hasil
penyadapan.
karena menyadap orang nelepon ya, anda pun kalau dikasih alat penyadap
bisa menyadap banyak orang juga. Jadi, yang sekalian ditangkap pun bukan
merupakan kasus-kasus besar dan lebih banyak merupakan kasus penyuapan.
tidak akan besar dari segi jumlah, itu pun sebenarnya belum tentu
kerugian negara secara langsung, secara tidak langsung bisa. Katakanlah
si Amat menyogok Bupati. Kerugian negaranya kan tidak langsung, walaupun
kebijakan-kebijakan Bupati kemudian memperkaya Amat.
negara. Kan dulu KPK dibuat untuk menangani perkara-perkara yang
kerugian negaranya di atas Rp1 Miliar. Itu sekarang kasus-kasus yang
namanya orang menyadap, kemudian setelah disadap dilakukan operasi
tangkap tangan belum tahu jumlah uangnya berapa.
Anda menyuap saya, Pak Yusril saya mau kasih uang Pak Yusril Rp5 miliar,
terus kan disadap, setelah disadap dipersiapkan operasi tangkap tangan,
tahu-tahu anda bawa uang Rp50 Juta.
negara, memenuhi syarat Rp1 miliar enggak? Ya tanda tanya juga.
Kewenangan KPK itu Rp1 miliar. Kalau misalnya begitu sih sudah ditangkap
KPK, ya sudah kasih saja ke jaksa, polisi.
akan menghasilkan sesuatu yang besar, tapi ya kelihatannya tidak seperti
itu. Jadi banyak hal yang sebenarnya mencurigakan, misalnya kasus
Sumber Waras, reklamasi, beli tanah di Cengkareng, itu ratusan miliar.
kepada orang lain enggak seperti itu. Kasus-kasus yang tidak melibatkan
kerugian negara atau banyak pun bisa. Kalau bupati-bupati tempat lain
sudah selesai itu ceritanya, atau gubernur di tempat lain.
amnesty, kalau menteri keuangannya enggak diganti dengan Sri Mulyani,
mungkin orang enggak percaya, kalau dikasih sama si Bambang
Brodjonegoro, mungkin orang juga enggak meyakinkan, tapi ya ketika
menteri keuangannya Sri Mulyani orang ada rasa confident.
amnesty, lalu harus bayar juga dengan uang mereka. Ya sebenarnya
sasarannya kan bukan untuk itu, sasarannya untuk konglomerat-konglomerat
yang menyimpan uang di luar negeri.
kelihatannya tersandera juga, mungkin juga dia orang Partai Nasdem,
pasti lah. Saya pernah juga jadi ketua partai, Jaksa Agungnya orang
Partai Bulan Bintang (PBB), waktu Abdurrahman Saleh, tapi saya enggak
pernah tuh intervensi apapun ke Abdurrahman Saleh.
jaksa, enggak pernah. Selama Abdurrahman Saleh jadi Jaksa Agung, cuma
satu kali saya bicara sama dia, ketika Pak Soeharto kritis di Rumah
Sakit Pertamina, tapi itu bukan masalah kaitannya dengan kepentingan
saya, tapi kaitannya dengan kepentingan negara.
perkaranya dicoret dari pengadilan, diserahkan kembali ke kejaksaan.
Kalau suatu saat Pak Harto sehat, bisa diadili. Nah, malam itu Pak
Harto dalam keadaan kritis, tim dokter melapor ke presiden bahwa keadaan
Pak Harto sangat kritis.
meninggal, terus besok bagaimana cara memakamkan beliau, kalau statusnya
masih tersangka. Sedangkan seorang mantan presiden itu harus dilakukan
upacara kenegaraan. Nah, kalau orangnya sudah meninggal, gimana? Kan
jadi masalah.
ke Istana Negara, ada SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) di situ, ada saya,
ada Kapolri. Saya bilang kalau bisa status Pak Harto itu dicabut saja
karena memang tidak ada harapan Pak Harto akan sembuh kembali.
jadi Jaksa Agung, padahal dia anak buah saya. Tapi kan agak beda Surya
Paloh dengan Jaksa Agung sekarang. Hehehehe… Dan itu jadi rumor di
mana-mana, keadaan seperti itu.
sudah lebih tenang, kalau dulu itu nyata sekali terjadi ketegangan
antara satu dengan yang lain. Mudah-mudahan harmonis.
kebijakan penegakan hukum. Di awal-awal kabinet itu dibentuk, presiden
harus memanggil seluruh aparat penegak hukum di bawah presiden.
Agung (MA), dengan KPK, kalau itu hanya bisa koordinasi. Tapi kalau ke
kepolisian, kejaksaan, presiden kan dapat memerintah mereka.
maunya presiden. Presiden harus mem-briefing penyamaan persepsi
terhadap norma-norma hukum yang diperlakukan. Sehingga tidak terjadi
tafsiran yang berbeda-beda.
ketidakpastian hukum. Kalau terjadi ketidakpastian hukum, akan berdampak
ke bidang politik, ekonomi. Misalnya begini, kemarin Pak Jokowi
memanggil semua aparat penegak hukum, dan menjelaskan bahwa terhadap
kebijakan tidak boleh dipidana, delik, tapi presiden harus memberikan
satu alasan yang clear.
persepsi aparat penegak hukum itu sama. Misalnya pengertian keuangan
negara itu harus ada persepsi yang sama. Kenyataannya sekarang ada 20
lebih undang-undang, 20 macam definisi tetang keuangan negara. Itu
harus diselesaikan baik oleh presiden atau dibawa ke Mahkamah Konstitusi
(MK). Biar MK yang menafsirkan keuangan negara yang bagaimana.
BUMN. Uang BUMN itu uang negara atau bukan. Ada yayasan, yayasan itu
dikasih hibah oleh pemerintah. Misalnya yayasan panti jompo dikasih
hibah sama pemerintah atau tiap tahun dikasih bantuan sama BUMN.
kan kacau lalu diangap uang negara, menurut saya sih bukan. Lalu
bagaimana uang saya, saya jadi dosen tiap bulan saya digaji pemerintah
dikasih tunjangan sama intensif, uangnya kan uang APBN, ketika
pemerintah bayar kepada saya uang itu saya pegang tapi saya belanja di
pasar uangnya dicopet sama maling, uangnya itu negara atau uang saya.
punya garis yang jelas. Menurut saya masa Jokowi ini malah makin kacau.
Kalau zaman Pak Harto memang kacau karena memang hukum skalanya nomor
sekian, anggarannya pun enggak sampai nomor tiga dari bawah.
hukumnya sering dilabrak. Sering anggapan seperti Ibu Susi Pudjiastuti
(Menteri Kelautan dan Perikanan-red) yang katanya negara ini tengelam
karena peraturan. Ibu Susi ngomong baru-baru ini.
bagaimana dong Ibu Susi, mau ditabrak semua, ya justru anda yang bikin
peraturan bikin peraturan yang benar dong. Kaitannya, ini bisa bahaya
omongan Ibu Susi, omongan Ahok. Jadi negara adalah saya, kan negara
dijalankan bukan pakai hukum negara dijalankan pakai seleranya Ahok
seleranya Ibu Susi kacau kalau gitu. Kalau pakai selera kan jadi
subjektif. (*).
Baca Juga Ini; PDB Sektor Perikanan Diklaim Melonjak Dalam 2 Tahun Jokowi-JK