Ojo Kaget! Misteri Tumbal Pengantin Baru Jembatan Kali Gung Tegal

misteri jembatan kali gung

TEGAL-JATENG, Sriwijaya Aktual –  Minggu selanjutnya, kantor Pemerintah Wilayah serta DPU Kabupaten terlihat lebih repot. Sejumlah besar pekerjaan sekitar tentang gagasan pembangunan jembatan Kali Gung di Kagok. Kontraktor lain juga sudah lakukan survey serta melakukan perbuatan suatu hal.
Bos memberi tahu jika rapat spesial akan dikerjakan di kantor kami. Lihat persiapannya, ada seperti ?mengonsumsi? spesial. Saya berfirasat: kami bisa menjadi juara tender!
Peserta rapat spesial itu terbagi dalam staf petinggi pemerintah, konsultan, dan beberapa tokoh warga yang terlihat arif tetapi sedikit misterius.
“Kita tidak mau warga terus-terusan ditimpa kesusahan! Ambruknya jembatan penting membuat transportasi macet. Hal tersebut memengaruhi keadaan ekonomi kota yang sedang bertumbuh, merepotkan rakyat kecil. Selanjutnya, project pembangunan jembatan cuma memberikan keuntungan beberapa pihak khusus untuk karier serta kekayaan pribadi. Kita pasti kurang sepakat dengan intimidasi seperti ini,” tutur satu orang yang sebagai wakil faksi Pemerintah Wilayah.
“Kita dikasih pilihan yang lebih simpel,” kata salah seorang tokoh warga. “Sepasang pengantin-baru akan membuat jembatan itu bertahan lama. Kita mengatur skenarionya sebaik-baiknya. Upayakan usai sebelum musim hujan selanjutnya.”
Ketakmengertianku tentang isi perbincangan itu tidak kutunjukkan. Ditambah lagi Bos mengenalkan saya jadi Proyek Manajer, dengan rincian curriculum vitae yang cukup terlalu berlebih.
Empat bulan sudah berlalu, sesudah kami terima ketetapan jadi juara tender. Sekarang, tiang-tiang jembatan-baru yang dibuat dari rangka baja raksasa serta benteng fondasi batu-gunung juga hampir usai. Sungai mengalir jinak, menunggu janji alternatif jembatan yang rubuh oleh ?perangai?-nya yang jelek. Di salah satunya ujung tiang jembatan, terlihat pemilik warung nasi repot layani seputar seratus pekerja.
Kutinggalkan Direksi Kit, serta turun ke lapangan. Jika benar hari ini paling akhir penyelesaian tiang jembatan, pasti hari paling akhir juga buat kami untuk bercakap dengan sepasang suami-isteri pengantin-baru pemilik warung itu. Saya ingin membagi keceriaan, jadi ?upacara? perpisahan.
“Baru kawin bisa borongan besar. Itu namanya keruntuhan bulan, Yu!” kata seorang kuli yang makan nasi dengan semur jengkol. “Mau pelesir ke mana kalian kelak?”
“Wah, mendingan untuk nyewa warung dekat pasar, Kang.” Wanita warung yang bertubuh singset itu itu tersipu. “Pasang-surut rezeki seperti Kali Gung. Jadi jangan senang foya-foya.”
“Setelah jembatan ini selesai, kalian dapat bangun rumah,” kata lainnya membetulkan, sambil meminta lebih nasi.
“Mudah-mudahan, Kang. Mandornya baik-baik. Bayarannya tetap pas waktu. Kapan selesainya ya, Kang?” bertanya suami pemilik warung.
“Tergantung pemborongnya. Tetapi ini bertambah cepat dari agenda. Esok semua benteng jembatan harus telah jadi,” seorang mandor sisi pengecoran menerangkan. “Sampeyan harus geser ke atas.”
“Waduh, jika demikian esok harus buat tenda baru,” wanita warung itu melihat suaminya.
“Jangan cemas. Kita buat seperti warung tukang es dawet yang disana, sesaat jadi.” Ditepuknya pantat isterinya, yang refleks mengibaskan tangan.
“Rokoknya yang biasa, Yu! Dua bungkus,” kataku menyela aktivitas mereka. “Dengan koreknya sekaligus. Ini uangnya.”
“Kembalinya belumlah ada, Pak,” tutur wanita warung itu lihat lembaran uang dengan nominal paling besar di tanganku. “Banyak yang ngebon.”
“Ya, telah, kelak saja.” Kuterima rokok serta menyalakan sebatang. Kuhisap sekalian melihat air sungai selebar enam puluh mtr. yang mengalir tenang. Aktivitas lalu-lintas berjalan di jembatan genting, berjalan perlahan-lahan, berganti-gantian arah.
“Oh ya, kalian kelak buat nasi yang banyak. Malam hari ini kebanyakan orang kerja lembur serta jangan berhenti. Jadi makan malamnya diserahkan jadi sore hari.”
“Waduh, kapan ngasonya?”
“Nanti malam kalian dapat tidur nyenyak. Tidak akan ada yang mengganggu,” kataku menghibur. Ya, tidur pulas! Itu yang kami harap. Tetapi tidak urung gemetar perasaanku.
“Tidur lho, Yu! Bukan nggarap lainnya,” celetuk seorang mandor. Terdengar bising tawa lainnya dengan suara erotik.
Dekat senjakala udara bergerak dingin. Serangga mulai menyanyi. Deru sungai mengalir seperti memanggil-manggil. Sesuai dengan gagasan, semua pekerja, mandor, tukang serta kuli, makan sebelum langit gelap. Demikian ramai situasi dibawah jembatan. Dalam sorot cahaya petromak serta lampu dari genset, suami-isteri pemilik warung kembali repot. Sesaat keletihan menyergap serta mereka berdua akan tergolek disamping lincak, di atas tikar. Dalam musik ritmis arus sungai, satu dunia lain akan menjemput.
Seratus orang pekerja mulai menebar, dengan pekerjaan semasing yang telah mereka ketahui. Matahari sudah musnah. Warung juga sepi, tinggal pemiliknya yang meringkuk kecapekan. Sesaat pedagang lain telah semenjak sore tinggalkan ruang project.
Saya naik ke atas tanggul. Kupanggil beberapa mandor. Cuma pada mereka detil skenario dibeberkan serta dikerjakan dengan penuh tanggungjawab. Semua adalah perintah atasan, dengan taruhan bonus spesial diakhir project.
Kuperintahkan mereka kerja rapi serta tidak ragu-ragu. Sebelum fajar, tiang jembatan tempat berlindung warung itu harus telah usai.
Saya kembali pada Direksi Kit. Dari jendela kulihat semua tukang, kuli serta mandor, siap kerja. Satu orang menyorotkan lampu senter ke arahku, sinyal suami-isteri pemilik warung sudah tertidur nyenyak, Warung serta dua pengantin baru itu siap untuk di urug jadikan tumbal jembatan.
Mereka menyengaja dibuat mengagumkan lemas, agar tidak terbangun saat dinding batu mengepung warungnya. Kulihat branjangan kawat baja mulai dipasang. Mesin-mesin pengaduk cairan beton berputar-putar. Batu-batu sebesar tiga kepala manusia dijatuhkan dari atas ke jaring kawat!
Angin yang bertiup lewat jendela, membersihkan keletihan badanku satu minggu paling akhir ini, membuat mata berasa berat. Mendekati larut malam sempat kulihat batu-batu paling akhir menyempurnakan bagian tiang jembatan, sampai tidak sisa rongga. Serta warung dan didalamnya itu juga terkubur. Kantuk yang kuat selekasnya menggilas, selanjutnya tidak kuingat apa-apa .
Saya terlelap dengan beberapa mimpi yang kusut. Saat terbangun, tidak kudengar suara arus sungai. Tidak kudengar jerit serangga di luar. Sunyi yang menakutkan itu benar-benar mengganggu perasaanku.
Mendadak terdengar ketukan di pintu Direksi Kit, yang membuatku betul-betul sadar, serta jantungku berdetak cepat. Kulihat jam: astaga, jam tiga pagi! Kuusap mata yang merasa tebal.
Terdengar ketukan di pintu. Saya menggeliat dengan punggung sakit. “Siapa?” suaraku masih parau. “Masuklah!”
Saya bangun serta kaget bukan main demikian lihat satu orang yang hadir. “Kau??!” Lututku tiba-tiba gemetar.
Tamu itu: lelaki pemilik warung! Tidakkah dia tidur dalam rongga tiang jembatan? Terkurung batu bersama dengan isterinya?
“Maaf Pak, saya mengganggu. Ini kembalian uang Bapak siang tadi.” Lelaki itu menempatkan satu genggam uang di meja. Saya memandangnya tanpa ada mampu bicara. Tenggorokanku terhalang. Keringat dingin membasahi semua punggung. “Permisi, Pak.”
Pemilik warung itu keluar serta tutup pintu kembali. Tubuhku lemas mengagumkan. Ketakutan juga menyebar cepat. Saya berupaya buka pintu, tetapi kaget sebab terbentur dinding batu! Dengan cemas saya lari ke jendela, tetapi tidak kulihat apa-apa tidak hanya formasi batu yang padat, masif, serta dingin! Kupukul-pukul tembok batu yang masih bergerak, membisu. Saya juga berteriak kalut. Suaraku terpantul-pantul dalam ruangan sepi. Memunculkan gaung yang mengerikan!
Saya terus berteriak. Terus berteriak! Sampai habis suara serta ke-2 tanganku penuh darah karena bentrokan dinding batu yang kasar. Sampai selanjutnya terdengar sayup-sayup suara arus Kali Gung yang demikian merdu. [*]