Berita  

Pasca-1998: ‘Surplus Fanatisme, Defisit Akal’

ilustrasi hl2 ratio
Ilustrasi 
Tugas pemerintah adalah memberi rasa aman warga, bukan mengeksploitasi ketakutan dengan cara yang juga menakutkan.

Oleh: Rocky Gerung – 21 Mei 2018

SriwijayaAktual.com – Negeri ini didirikan dengan pikiran bermutu: bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Supaya penjajahan tak berulang, maka bangsa ini harus cerdas. Karena itu, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas utama pemerintah. Demokrasi adalah fasilitas untuk menyelenggarakan kemerdekaan berpikir, yaitu kondisi yang diperlukan untuk menumbuhkan kecerdasan. Tetapi justru kondisi itu yang tak tersedia selama dua era sejarah politik kita. 

Orde Lama dan Orde Baru; dua-duanya memusuhi pikiran. Sukarno tak menyukai “kaum intelektual”. Ia mencerca mereka sebagai “textbook thinking” kebarat-baratan. Soeharto membungkam kebebasan berpendapat, dan menjadikan “kaum intelektual” sekadar “teknokrat” untuk menjalankan pembangunan. Akumulasi kekuasaan adalah akibat dari takluknya pikiran kritis.


Keangkuhan Negara
Reformasi adalah pulihnya kritisisme. Kekacauan ekonomi bertemu dengan retaknya resim Soeharto. Teknokrat mundur karena melihat perintah politik Cendana makin mengacaukan rasionalitas kebijakan kabinet. Nepotisme menjadi beban ekonomi. Tentara memutuskan mengambil jarak dari kekuasaan, memungkinkan mahasiswa menempati ruang oposisi yang lebih frontal. Tumbuh kesadaran baru tentang pentingnya hak asasi manusia, reformasi TNI, dan pemberantasan korupsi.
Semua itu adalah modal etik yang kuat untuk memulai “Indonesia Baru”. Itu dua puluh tahun lalu.
Sekarang? Setiap Kamis sore, deretan payung hitam berbaris diam di depan
Istana Presiden. Tidak untuk antre sembako, apalagi berharap jabatan
komisaris BUMN, melainkan cuma menuntut pemenuhan hak asasi manusia dari
negara yang seharusnya beradab.

Tapi rutinitas Aksi Kamisan itu
kalah pamor dengan aktivitas hilir-mudik presiden untuk gunting pita
dan bagi-bagi sembako. Ada jarak antara Istana dan Pegunungan Kendeng;
ada pagar antara presiden dan para keluarga korban penghilangan paksa;
ada ketidakadilan yang tidak ingin dipahami negara. Ada apa dengan
negara?  

Penjelasan pemerintah pasti panjang, dan berbelit. Yang pendek adalah
pikiran politiknya: “Singkirkan HAM, Stabilitas yang Penting”. Itulah
watak dasar penguasa. Rangkaian teror memang menakutkan, tetapi
penyingkiran HAM jelas-jelas adalah proposal Orwellian yang berbahaya.

Reformasi
tidak dimaksudkan untuk menyelundupkan mental otoriter Orde Baru.
Reformasi tidak disediakan untuk mengawasi gerak-gerik seluruh warga.
Tugas pemerintah adalah memberi rasa aman warga, bukan mengeksploitasi
ketakutan dengan cara yang juga menakutkan.

Tetapi ajaib. Justru
demagogi semacam itulah yang kuat didukung oleh kaum “intelektual pro
status quo”. Sekadar demi melanjutkan dendam politik, akal sehat
dikesampingkan dan insinuasi dikedepankan: “Kami Pancasila!” Tentu, tapi
artinya? Apa ukurannya? Siapa yang bukan-Pancasila?

Gugup dan
gagap, kaum “liberal” juga memelihara arogansi yang sama: “Pancasila
sudah final!”. Dan dengan arogansi itu Pancasila diedarkan dari satu
seminar ke seminar yang lain untuk didiskusikan. Mendiskusikan sesuatu
yang sudah final? Ajaib! Inilah kaum “liberal paranoid” yang mendadak
konyol karena berangsur jadi pemuja kuasa, dan mulai menghitung giliran
berkuasa. Mereka gagal melihat hutan karena sibuk menghitung pohon.

Bagaimana
demokrasi hendak dimajukan bila pikiran kaum intelektual menjadi
konservatif? Bagaimana hak asasi manusia hendak diselenggarakan bila
tabiat kaum liberal menjadi oportunis?

Ada pikiran yang berhenti di era ini. Konfrontasi politik sejak Pemilu
2014, yang berlanjut pada Pilkada DKI Jakarta 2017, bukan saja telah
membelah masyarakat politik, tetapi juga mendangkalkan kaum terpelajar:
bergerombol di forum-forum media sosial, menumpuk sentimen, lalu
terengah-engah memusuhi oposisi.
Hanya demi ketakutan kehilangan
afiliasi dengan kekuasaan, para aktivis masyarakat sipil meninggalkan
fungsi kritik sosialnya, lalu berbaris mencari suaka di Istana. Tak
masuk akal, aktivis masyarakat sipil bergerombol di sekitar kekuasaan
yang anti-HAM.
Mental feodal telah mengubah akademisi menjadi
pelayan birokrasi, menanggalkan ide dan pikiran. Inilah era ketika
elektabilitas mengepung intelektualitas, era ketika para pengajar
menjadi pemuja status quo. Kekurangan pikiran—itulah sinopsis reformasi hari ini.
“The
middle ground”—Isaiah Berlin (1909-97) memilih istilah itu setelah ia
mempelajari sejarah pikiran Eropa yang membawa banyak penderitaan
manusia pada abad lalu. Bahwa ketakcukupan perspektif telah
menjerumuskan orang ke dalam fanatisme politik, kepicikan dan pemujaan.
Suatu “pathological suspicion”, dalam istilah Berlin, juga ada pada kita
hari-hari ini.
Kita hidup dalam situasi saling intai, dan
bereaksi sebelum duduk perkara dipahami utuh. Perbedaan justru
dieksploitasi dengan memojokkan suatu golongan sebagai kaum fundamental,
dan yang lain sebagai penjaga NKRI. Negara justru menguatkan stigma ini
melalui public relation yang insinuatif: “Tidak ada tempat
bagi kaum intoleran”. Negara telah membuat definisi yang justru
patologis, membangkitkan luka-luka ideologis di masa lalu. Keakraban
berwarganegara dihilangkan oleh keangkuhan negara.
Kaum
intelektual, akademisi, dan aktivis masyarakat sipil yang berhenti
mempersoalkan kekuasaan adalah para medioker yang patuh karena tak
paham, dan takluk karena tak cukup berakal. Kritik tak mampu diucapkan
oleh seorang medioker. Politik yang absolutis juga dapat berlangsung
dalam era transisi demokrasi ketika kaum medioker berbondong-bondong
menuju Istana, bukan untuk memberi kritik, tetapi untuk mematuhkan diri
kepada kekuasaan.
Sekadar dipakai untuk “public relation”,
tokoh-tokoh masyarakat sipil dari sektor agama dan kebudayaan juga
memperkuat barisan “the middle ground” ini. Pluralisme adalah umpan
politik yang dengan mudah dilahap barisan ini, karena kekuasaan memiliki
seluruh perangkat untuk memaksimalkan kecemasan “kaum minoritas”.
Setiap kali terjadi konflik sosial, pemerintah datang dengan solusi
moral: kumpulkan pemuka agama.
Toleransi menjadi proyek
ideologis negara, kendati dalam pengertian yang sangat sempit, yaitu
sekadar toleransi di antara umat beragama. Bahwa sumber ketegangan
sosial itu adalah disparitas dan kesalahan kebijakan pemerintah, tak
ingin diakui.

Esensi Kritik
Kritik adalah evaluasi pikiran terhadap realitas, yaitu mengurai inkonsistensi kebijakan. Inkonsistensi dalam kebijakan pertama-tama harus dimulai dengan memeriksa inkoherensi dalam ide. Karena itu fungsi kritik adalah mengurai, bukan membangun. Itulah tugas utama akademisi. 

Jadi, tuntutan agar kritik itu harus “yang membangun” adalah tuntutan
dari mereka yang tak ingin dikritik. Hakikat kritik adalah menunjukkan
kesalahan, bukan memperbaikinya. Adalah tugas yang dikritik untuk
memperbaiki konsepnya.

Dalam urusan publik, tugas si pejabat
publik untuk memperbaiki kebijakan, karena ia digaji rakyat untuk itu.
Demokrasi hidup dengan kritik. Tugas oposisi sudah dimulai sejak
presiden dilantik. Karena itu, ide mengganti presiden memang melekat
pada tugas oposisi. Itu bukan saja konstitusional, tapi memang logis:
sungguh dungu bila oposisi berniat tidak mengganti presiden. Karena itu,
mengaktifkan oposisi, justru menjamin kekuasaan tidak menempuh tradisi
primitifnya: pongah.

Lalu, apakah kita pesimistis dengan keadaan?
Tak perlu dijawab, karena politik bukan klinik psikologi. Yang perlu
diperhatikan adalah kondisi psikologi dari kaum terdidik yang justru
menjadi pemuja kekuasaan. 


Dalam isu mutakhir hari ini, yaitu tentang usulan agar pemerintah segera mengeluarkan peraturan perundang-undangan soal terorisme, pendukung utama usulan ini adalah justru kalangan terdidik dan aktivis masyarakat sipil pro pemerintah. Sungguh absurd bahwa kebijakan yang akan melemahkan demokrasi, justru dibela oleh kalangan yang mengerti hakikat demokrasi: bahwa tak sekali-kali mengizinkan penguasa memutuskan atas kehendak sendiri, aturan yang potensial membatalkan demokrasi.

Di depan kekuasaan, para tokoh masyarakat sipil patuh karena fanatisme.
Kalangan terpelajar patuh karena kekurangan pikiran. Dan merekalah yang
kini menyelenggarakan public relations pemerintah. Ajaib, tapi itulah sinopsis politik kita setelah 20 tahun reformasi: surplus fanatisme, defisit akal.


Penulis, Rocky Gerung, aktivis Forum Demokrasi pada 1990-an.