Berita  

Pemerintah Indonesia Minta Jepang Bebaskan Bea Ekspor Masuk Produk Perikanan dan Kelautan

Ilustrasi

JAKARTA, SriwijayaAktual.com – Pemerintah Indonesia meminta Pemerintah Jepang untuk
membebaskan tarif bea masuk produk kelautan dan perikanan yang yang
diekspor ke Negara tersebut. Permintaan tersebut dilakukan, karena saat
ini ada banyak perusahaan milik pengusaha Indonesia yang beroperasi di
luar negeri dan meminta untuk direlokasi ke Indonesia.
Susi menjelaskan, permintaan tersebut secara resmi sudah disampaikan
kepada Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Kelautan Jepang Ken Saito saat
bertemu di Tokyo pekan ini. Dengan adanya pembebasan tarif bea masuk,
dia optimis akan semakin banyak produksi yang merelokasi usahanya ke
Indonesia dan melaksanakan impor ke Jepang.
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan
(PDSPKP),  Nilanto Perbowo mengungkapkan, permintaan Indonesia untuk
mendapatkan kebebasan tarif bea masuk impor produk perikanan dan
kelautan ke Jepang merupakan hal yang wajar. Menurutnya, selama ini
Indonesia sudah bekerja keras untuk memberantas perikanan ilegal yang
dinanti negara di dunia.
“Seharusnya Jepang memberikan tarif bea masuk nol persen bagi semua
produk perikanan dari Indonesia mengingat kebijakan Indonesia untuk
memerangi pencurian ikan demikian bagus dan cepat,” kata dia, Jumat (25/8/2017), dikutip dari mongabay.co.id.
Ken Saito yang mendengar permintaan langsung Indonesia dari Susi
Pudjiastuti, mengaku paham dengan kondisi tersebut. Dia tahu, impor
produk perikanan yang dilakukan sejumlah pengusaha dari Indonesia dan
Thailand selama ini, bahan bakunya berasal dari perairan Indonesia.
“Bahan mentahnya memang dari Indonesia,” ujar dia.
Berkaitan dengan permintaan penghapusan tarif tersebut, Ken Saito
menuturkan bahwa itu sudah diatur dalam perjanjian bilateral dengan
Indonesia yang terangkum dalam Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA). Dalam perjanjian tersebut, disebutkan ada perbedaan pos tarif berbagai negara untuk masuk ke Jepang.
“Terkait dengan penurunan tarif bea masuk, dikarenakan merupakan kerja sama G to G,
maka perlu dilakukan perundingan antara kedua negara untuk
memutuskannya. Saya mendukung kerja sama antara Jepang dan Indonesia dan
diharapkan dapat lebih ditingkatkan,” kata dia.
Susi sendiri mengatakan, dengan dihilangkannya tarif, dia yakin itu
tidak hanya akan berdampak pada pengusaha Indonesia saja, melainkan juga
pengusaha Jepang yang ada di Indonesia yang membutuhkan bahan mentah.
Tak hanya itu, penghapusan tarif juga akan memudahkan transaksi
perdagangan bagi pengusaha Jepang yang melakukan relokasi usaha ke
Indonesia.
“Pengusaha Jepang yang melakukan relokasi usaha ke Indonesia, lalu
mengekspor ke Jepang lagi kan akan kena tarif impor Jepang. Padahal dari
negara ASEAN lain, Jepang sudah memberikan tarif masuk nol, jadi kita
perjuangkan hal ini agar Indonesia juga dapat nol persen tarif masuk ke
Jepang,” papar dia.
ABK Indonesia
Di luar pembahasan tarif bea masuk, Susi Pudjiastuti melakukan
pembahasan dengan Ken Saito tentang profesi anak buah kapal (ABK) yang
disandang warga negara Indonesia (WNI) di sejumlah kapal milik pengusaha
Jepang. Para ABK tersebut, kata dia, seharusnya mendapatkan
perlindungan seperti asuransi.
“Mengingat banyak ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal-kapal
perikanan Jepang, sebaiknya mereka didaftarkan asuransi,” ucap dia.
Menteri Ken Saito yang mendengar permintaan tersebut, langsung
menyampaikan apresiasinya. Menurut dia, para ABK asal Indonesia memang
bekerja dengan baik di kapal-kapal perikanan Jepang. Oleh itu, dia
berjanji akan mengawasi dan menjaga ABK dari Indonesia.
“Jika ada permasalahan, dapat langsung disampaikan ke Kementerian
Kehutanan dan Kelautan Jepang agar dapat ditindaklanjuti,” tandas dia.
Pajak Perikanan Rendah
Di sisi lain, walau Pemerintah Indonesia terus menggenjot produksinya
di sektor perikanan dan kelautan, namun Pusat Kajian Maritim untuk
Kemanusiaan mengungkap fakta berbeda dalam kinerja keuangan Kementerian
Kelautan dan Perikanan. Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)
2016 yang telah diaudit oleh BPK (Mei 2017), disebutkan bahwa Pendapatan
Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor perikanan hanya sebesar Rp362,1 miliar
atau setara dengan 52 persen.
Padahal, menurut Direktur Eksekkutif Pusat Kajian Maritim untuk
Kemanusiaan,  Abdul Halim, di dalam Nota Keuangan APBN Perubahan Tahun
2016, KKP mematok target sebesar Rp693 miliar untuk PNBP.
“PNBP di sektor perikanan merupakan indikator seberapa baik dan
transparannya kinerja pelayanan publik yang dilakukan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan. Sementara itu, sejak tahun 2014, PNBP perikanan
justru anjlok di bawah target yang dipatok oleh pemerintah pusat,”
ungkap dia pekan lalu.
Menurut Halim, rendahnya realisasi PNBP perikanan tersebut menjadi
fakta yang harus mendapatkan evaluasi dan koreksi kebijakan dan
implementasi pelayanan publik di KKP oleh Presiden Joko Widodo. 
Kata
dia, KKP jangan cuma memikirkan bagaimana menaikkan prosentase biaya
yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha perikanan dengan melakukan
perbaikan metode perhitungan.
“Melainkan juga KKP dituntut untuk melakukan pembenahan-pembenahan
internal di sektor perikanan dari hulu, yakni perikanan tangkap dan
budidaya, ke hilir, yakni pengolahan dan pemasaran ikan, baik di tingkat
pusat maupun daerah,” tandas dia.
Evaluasi tersebut, menurut Halim penting dilakukan, karena target
PNBP Perikanan pada 2017 jauh bernilai lebih besar, yakni sebesar
Rp857,5 miliar. Adapun, pembenahan -pembenahan yang bisa dilakukan di
KKP di antaranya:
1) penataan perizinan pasca analisis dan evaluasi (ANEV) yang dilakukan sejak tahun 2014;
2) memfasilitasi pelaku usaha perikanan nasional untuk mendaratkan
hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan melalui mekanisme insentif dan
disinsentif;
3) menyegerakan pelaksanaan fungsi gerai percepatan perizinan hasil ukur ulang kapal markdown; dan
4) revitalisasi kelembagaan Wilayah Pengelolaan Perikanan dalam rangka memastikan keberlanjutan usaha perikanan.
Selain realisasi PNBP rendah, Abdul Halim juga mengungkap fakta lain
bahwa KKP juga tidak memperlihatkan kinerja keuangan yang bagus. Fakta
itu bisa dilihat dari serapan anggaran pendapatan dan belanja Negara
(ABPN) 2017 untuk sektor kelautan dan perikanan.
Abdul Halim menjelaskan, serapan APBN pada semester I 2017 baru
mencapai 15,7 persen. Menurutnya, serapan itu sangat rendah dan mustahil
akan menaikkan kesejahteraan nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya
ikan, dan petambak garam.
“Kecuali, jika dilakukan perbaikan kinerja program dan anggaran,” ucap dia.
Menurut Halim, perbaikan kinerja program dan penyerapan anggaran di
KKP mutlak disegerakan agar permasalahan yang masih belum terselesaikan
di desa-desa pesisir bisa diatasi. Adapun, permasalahan yang dimaksud,
seperti peralihan alat tangkap ikan, penyelesaian kelengkapan dokumen
kapal, dan perbaikan kelembagaan dan layanan perizinan perikanan di
pusat maupun daerah.
Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Agustus 2017) mencatat, APBN
Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2017 sebesar Rp9,3 triliun
atau turun Rp4,5 triliun dibandingkan dengan APBN 2016. Sementara
anggaran yang terealisasi baru senilai Rp1,4 triliun atau 15% (lihat
Tabel 1).
“Jika tidak ada perbaikan di sisa waktu kurang dari empat bulan
dikarenakan adanya pembahasan RAPBN Perubahan Tahun 2017, permasalahan
kelautan dan perikanan akan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Padahal,
perbaikan kesejahteraan rakyat tidak bisa ditunda. Sementara masa kerja
Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo terhitung kurang dari 20 bulan,”
tambah dia.
Untuk itu, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mendesak KKP untuk
meningkatkan kinerja anggarannya dengan melibatkan partisipasi aktif
masyarakat pesisir agar program yang sudah direncanakan sejak tingkat
desa bisa diimplementasikan demi kesejahteraan rakyat. (beng.ak)

Spesial Untuk Mu :  Tommy Soeharto Kritik Pemerintahan Jokowi Soal Utang, Aktivis 98 Angkat Suara!