Berita  

Penelitian Oxford Ungkap 4 Fakta Buzzer di Indonesia, Bayaran up to Rp50 juta

buzzer
Ilustrasi

SriwijayaAktual.com – Baru-baru ini peneliti dari
Universitas Oxford dan Institut Internet Oxford, Inggris mengeluarkan
penelitian terbaru mereka berjudul “The Global Disinformation Order 2019
Global Inventory of Organised Social Media Manipulation”.

Laporan penelitian yang ditulis oleh Samantha Bradshaw Philip N Howard
ini mengungkap fakta tentang buzzer di 70 negara di dunia pada 2019 yang
melakukan manipulasi kabar di media sosial, termasuk Indonesia.

“Laporan 2019 kami menganalisis tren propaganda komputasi dan
perkembangan teknologi, kapasitas, strategi, dan sumber daya,” tulis
laporan tersebut.

Jumlah negara yang tercatat memiliki pasukan siber (cyber troops) alias
buzzer di media sosial terus meningkat dari 2018 yang hanya 48 negara
dan 2017 dengan 28 negara. “Selama tiga tahun terakhir, kami telah
memantau organisasi global yang memanipulasi kabar di media sosial, baik
oleh pemerintah dan partai politik.”

Laporan tersebut memunculkan nama Indonesia sebagai negara yang
memanipulasi kabar di media sosial untuk kepentingan pemerintahan dan
partai politik. Seperti apa faktanya?

1. Media sosial yang gunakan buzzer di Indonesia
Dalam laporan tersebut, ada 5 media sosial yang banyak digunakan oleh
buzzer dalam memanipulasi kabar di media sosial yakni Twitter, WhatsApp,
YouTube, Instagram dan Facebook. Dalam kasus di Indonesia, buzzer
menggunakan semua media sosial tersebut memanipulasi kecuali melalui
YouTube.

“Meskipun ada lebih banyak media sosial dari sebelumnya, Facebook tetap
menjadi platform pilihan untuk manipulasi di media sosial. Di 56 negara,
kami menemukan bukti secara formal kampanye propaganda komputasi
terorganisir di Facebook,” tulis laporan itu.

2. Bentuk organisasi dan manipulasi media sosial yang umum digunakan
Buzzer punya bentuk beragam baik organisasi maupun aktor (tunggal) dalam
aktivitasnya. Mereka memanfaatkan media sosial untuk membentuk opini
publik, menetapkan agenda politik, dan menyebarkan gagasan.

Di Indonesia, dalam laporan tersebut Oxford itu, buzzer disebut
berafiliasi dengan politikus dan partai politik, serta kontraktor
swasta. Masing-masing mereka terafiliasi dengan organisasi atau kelompok
yang ditemukan bergerak menjadi kelompok buzzer.

“Salah satu fitur penting dari kampanye organisasi manipulasi media
sosial adalah bahwa pasukan siber (cyber troops) alias buzzer sering
bekerja bersama dengan industri swasta, organisasi masyarakat sipil,
subkultur internet, kelompok pemuda, peretas (hacker) kolektif, gerakan
pinggiran, influencer media sosial, dan sukarelawan yang secara
ideologis mendukung perjuangan mereka,” papar laporan itu.

Tujuan dalam kelompok-kelompok ini seringkali sulit untuk digambarkan
dan dibedakan, terutama karena kegiatan dapat secara implisit dan
eksplisit disetujui oleh negara.

3. Buzzer di Indonesia kebanyakan digerakan oleh bot dan manusia
Laporan itu juga menjelaskan mengenai strategi, alat atau teknologi, dan
cara yang dilakukan buzzer dalam memanipulasi data. Ada 4 cara
bagaimana buzzer bergerak: pertama, bot atau akun otomatis yang
dirancang untuk meniru perilaku manusia secara online. Kedua adalah
manusia itu sendiri. Ketiga, robot, dan terakhir adalah akun yang
diretas atau dicuri.

Bagaimana dengan di Indonesia? Buzzer di Indonesia lebih banyak yang digerakkan oleh bot dan manusia secara langsung.

4. Ini yang dilakukan buzzer Indonesia serta besaran uang yang mereka terima
Apa yang dilakukan buzzer di Indonesia adalah menyebarkan propaganda
pro-pemerintah atau pro-partai, menyerang oposisi atau memasang kampanye
kotor serta mengarahkan dan polarisasi. Mereka juga melakukan pembuatan
disinformasi atau manipulasi media.

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa kapasitas buzzer di Indonesia
tergolong kapasitas rendah. Kapasitas buzzer yang rendah melibatkan tim
kecil yang mungkin aktif selama pemilihan atau referendum tetapi
menghentikan kegiatan sampai siklus pemilihan berikutnya.
Namun bayaran yang diterima bisa mencapai Rp50 juta dengan angka terendah Rp1 juta.

“Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen dengan hanya beberapa
strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim-tim
ini beroperasi di dalam negeri, tanpa operasi di luar negeri,” kata
laporan itu. [idntimes]