Berita  

Pengusaha Underground Disebut di Balik Desakan Pembubaran FPI

foto/istimewa/net

JAKARTA, SriwijayaAktual.com – Ketua Bantuan Hukum Front Pembela
Islam (FPI) Sugito Atmo Prawiro menyebut ada kekuatan modal dari
pengelola usaha ‘underground’ atau bawah tanah yang mendorong bubarnya
FPI. Sugito menyebut usaha ‘bawah tanah’ ini merujuk pada bisnis dan
pemakaian narkoba, pelacuran, perjudian, hingga hiburan malam yang
selama ini berseberangan dengan FPI. 

“Kita memaklumi ada banyak kekuatan modal yang mengelola usaha
‘underground’ dan anti pada kiprah FPI. Kelompok ini gusar dengan
intensitas kerja FPI yang dianggap mengancam bisnis mereka,” ujar Sugito
melalui keterangan tertulis, Kamis (1/8/2019). 
Sugito tak menampik banyak pihak yang ingin agar FPI bubar. Terlebih,
Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu juga menyatakan kemungkinan
pemerintah untuk tak memperpanjang izin FPI sebagai ormas jika memiliki
ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa, yakni Pancasila. 

Pernyataan Jokowi itu dinilai makin selaras dengan jargon ‘Pancasila dan
NKRI Harga Mati’ yang kerap diserukan massa pendukung Jokowi dalam
Pilpres 2019. 

“Seolah massa Islam di luar itu dianggap pendukung khilafah,
radikalisme, dan seterusnya. Tentu saja mereka memasukkan FPI di
dalamnya,” katanya. 

Saat ini pemerintah menurut Sugito tak sulit untuk membubarkan ormas
karena ada Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17
tahun 2013 tentang Ormas, yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 16
Tahun 2017. Dengan aturan tersebut, pemerintah dimungkinkan untuk
membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan.

Sugito menuturkan pembubaran dapat dimaknai bahwa Kementerian Dalam
Negeri mencabut surat keterangan terdaftar dan Kementerian Hukum dan HAM
mencabut atau membekukan badan hukum ormas tanpa proses peradilan
sebagaimana dimaksud UU Nomor 16 Tahun 2017. 

Namun, Sugito mengingatkan bahwa untuk sampai kepada level beleid itu,
harus dapat dibuktikan lebih dahulu bahwa ormas tersebut memiliki
ideologi selain Pancasila dan terbukti mengganggu ketertiban umum dan
keamanan negara.

Dia mengatakan kasus FPI berbeda dengan pembubaran Partai Komunis Indonesia atau Hizbut Tahrir Indonesia. 

“Dalam konteks FPI, alasan yuridis apa yang dipergunakan untuk
membubarkan FPI? Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah dari mana
datangnya desakan keras untuk membubarkan FPI, sebagaimana HTI beberapa
waktu lalu? Dua pertanyaan inilah yang belum terjawab,” ujar Sugito.

Faktanya, kata Sugito, FPI hanya perlu melengkapi sejumlah syarat
perpanjangan usai masa berlaku izinnya habis pada 20 Juni lalu. Apalagi,
secara yuridis, telah ada putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013.

Sugito berkata dalam putusan itu MK menyatakan negara tidak dapat
menyatakan suatu ormas sebagai organisasi terlarang dan tidak dapat
melarang ormas melakukan kegiatan, sepanjang tidak melanggar ketertiban
umum dan melawan hukum.

“Dari sini jelas FPI tidak perlu mendaftarkan izinnya, apalagi jika
pemerintah tidak memperpanjang izin sebagaimana pernyatan Jokowi. FPI
sebagai ormas tetap bisa menjalankan kegiatannya,” ucap Sugito. 

Terkait Rizieq Shihab
Menurutnya, desakan bagi FPI untuk bubar tak berbeda jauh dengan kondisi
Imam Besar FPI Rizieq Shihab yang kini masih berada di Arab Saudi. Ia
menilai pemerintah sengaja membuat kondisi FPI dan Rizieq semakin
terpinggirkan karena menolak mengakui kemenangan Jokowi. 
“Semua itu memperkuat keyakinan bahwa desakan pembubaran FPI semata
terkait alasan politis. HRS dan FPI praktis dikondisikan untuk
dipinggirkan,” tuturnya. 

Kondisi dipinggirkan ini, lanjut Sugito, makin jelas terlihat karena FPI
selama ini dikenal sebagai penopang massa politik pendukung
Prabowo-Sandiaga Uno dalam Pilpres 2019. 

“Situasi ini yang seolah membuat mereka mendapat angin untuk menyerukan
pembubaran FPI dengan alasan dalam anggaran dasar FPI ingin menerapkan
syariat Islam di bawah naungan khilafah,” jelasnya. 

Ia meminta agar pemerintah dapat mengkaji lebih lanjut keberadaan FPI,
alih-alih membubarkan ormas Islam tersebut. Menurutnya, jika pemerintah
membubarkan hanya karena alasan tidak suka hal itu akan berpengaruh pada
kualitas demokrasi di Indonesia.

“Jika dilakukan hanya atas dasar tidak suka akan berdampak pada
pemasungan hak sipil konstitusional warga negara. Ini juga akan
menurunkan kualitas demokrasi akibat kebebasan masyarakat untuk
berserikat dan berkumpul telah terpasung,” ujar Sugito.

Pemerintah sendiri sampai saat ini belum memperpanjang Surat Keterangan
Terdaftar (SKT) Ormas FPI. Namun Istana Kepresidenan membantah memberi
perlakuan diskriminatif terhadap FPI.

Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani mengatakan
setiap ormas termasuk FPI wajib memenuhi beberapa persyaratan untuk
mendaftarkan diri atau memperpanjang SKT sebagai Ormas.

Syarat yang mesti dipenuhi di antaranya adalah rekomendasi dari
Kementerian Agama untuk Ormas keagamaan serta surat pernyataan tidak
berafiliasi dengan partai politik tertentu.

“Terkait dua hal tersebut, saya rasa publik bisa menilai, apakah ormas
tersebut (FPI) menerapkan strategi dakwah yang santun atau justru yang
provokatif, apakah ormas tersebut sejalan dengan nilai-nilai Pancasila,”
tutur Dani.
“Sehingga bisa dinilai layakkah ormas tersebut mendapatkan rekomendasi
dari Kementerian Agama serta apakah dalam prakteknya ormas tersebut
memiliki afiliasi dengan partai politik atau tidak,” katanya
melanjutkan. [cnn]