OPINI-SriwijayaAktual.com – SETELAH hampir setengah tahun, sejak pertama
kali mewacanakan pembentukan Unit Kerja Presiden bidang Pemantapan
Ideologi Pancasila (UKPPIP) pada Desember 2016, akhirnya Presiden Joko
Widodo menerbitkan dasar hukum bagi pembentukan lembaga tersebut.
Presiden menandatangani Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2017 tentang
Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila pada 19 Mei 2017 dan
diundangkan empat hari kemudian (23/5).
Perlu mendapat catatan mula bahwa Presiden akhirnya menggunakan term
‘pembinaan’bukan ‘pemantapan’. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kedua term tersebut memiliki tekanan yang sedikit berbeda. Pemantapan
cenderung untuk peneguhan agar kukuh, kuat, dan tidak goyah. Sedangkan
pembinaan lebih berorientasi pada tindakan penyempurnaan untuk hasil
yang lebih baik.
Politik Simbol
Di luar perspektif leksikal tersebut, penggunaan kata ‘pembinaan’
sebagai substansi tugas UKPPIP mengingatkan kita pada Badan Pembinaan
Pendidikan dan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(BP7) yang dibentuk oleh Presiden Presiden Soeharto yang dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden No 10 Tahun 1979. BP7 sepanjang
pemerintahan Soeharto memikul tugas utama sebagai tangan kanan Presiden
dalam pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Mulai dari konsep hingga implementasi. Sebagaimana jamak diketahui, BP7
dibubarkan oleh MPR melalui Ketetapan No XVIII/MPR/1998.
Dilihat dari perspektif politik simbol, Presiden Jokowi tampaknya
sedang ingin membangkitkan kembali ghirah ber-Pancasila sebagaimana
dilakukan Pemerintah Orde Baru. Sebagai catatan tambahan, dalam sebuah
pertemuan dengan pemimpin redaksi berbagai media massa di Istana belum
lama ini, Presiden juga menggunakan diksi ‘digebuk’, seperti yang juga
digunakan Soeharto, dalam merespons wacana kebangkitan komunisme di
Indonesia belakangan ini.
Di titik ini, kita harus mengingatkan Pemerintahan Jokowi bahwa
pembinaan Pancasila di era ini tidak mungkin dilakukan dengan cara
merepetisi pola-pola represif dan indoktrinatif seperti yang dilakukan
rezim Soeharto. Pendekatan, strategi, dan pola pembinaan Pancasila harus
dikontekstualisasikan dengan perubahan dan keterbukaan politik
demokratis yang kini sedang berlangsung.
Publik tetap harus membaca langkah Presiden Jokowi sebagai sikap dan
kebijakan politik untuk menjawab tantangan kontemporer ideologisasi
Pancasila. Di tengah penguatan politik identitas sebagai konsekuensi
logis dari kelemahan tatakelola politik demokratis oleh
pemerintahan-pemerintahan pasca 1998.Terhadap kebijakan politik
tersebut, ada dua catatan pendek.
Peminggiran Ideologis
Pertama, Presiden Jokowi dan pemerintahannya harus menjadikan UKPPIP
sebagai instrumen sekaligus momentum mengatasi peminggiran ideologis
yang selama ini berlangsung secara diam-diam. Banyak pihak melihat bahwa
rezim pascareformasi sebenarnya ‘kecolongan’ dalam perebutan ruang
publik di kalangan generasi muda dalam hal ideologisasi. Lembaga-lembaga
pendidikan telah banyak disusupi doktrindoktrin anti-Pancasila.
Survei Setara Institute pada tahun 2015 dengan responden siswa-siswa
114 SMA/sederajat di DKI mengirimkan indikasi bahaya bagi ideologisasi
Pancasila. Di antara sinyalnya, 9,5% responden setuju dengan perjuangan
ISIS dan 7,3% mendukung penggunaan kekerasan dalam memperjuangkan
keyakinan. Bahkan, 8,1% mendukung penggantian Pancasila sebagai dasar
negara dan 8,5% setuju Pancasila diganti dengan agama tertentu.
Kedua, UKPPIP harus dijauhkan dari agenda politisasi Pancasila dengan
menjadikannya sebagai alat politik praktis. Dalam konteks politik,
UKPPIP juga Pekan Pancasila 2017 dan Keppres No 24/2016 yang terbit
tahun lalu harus dibaca juga sebagai jawaban politik atas serangan yang
secara bertubi-tubi mengarah kepada dirinya dan istana. Serangan pada
Jokowi dan istana serta propaganda-propaganda lain telah diberondongkan
kelompok anti-Jokowi dalam lima tahun terakhir. Situasi tersebut
diperburuk pascakasus Ahok. Hal itu berpontensi mendelegitimasi Jokowi
secara politik. Presiden tidak mungkin dan tidak boleh diam, bukan demi
dirinya, tapi demi Indonesia yang sudah dibangun oleh para pendiri
negara sebagai negara ‘satu untuk semua, semua untuk satu’.
Dalam konteks itu, agenda pembinaan Pancasila tidak boleh menjadi
alat politik praktis. Indikatornya minimal dua. (1) UKPPIP bukan hanya
pos bagi para elite politik juga intelektual pendukung. (2) Pembinaan
Pancasila harus dijauhkan dari propaganda negara untuk melabeli semua
yang berseberangan dengan pemerintah sebagai ‘anti-Pancasila’.
(Halili MA. Pengajar Ilmu Politik di Universitas Negeri
Yogyakarta dan peneliti di Setara Institute for Democracy and Peace.
Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 3 Juni
2017)