Berita  

“POROS MARITIM ANTARA WACANA DAN REALITAS”

“POROS MARITIM ANTARA
WACANA DAN REALITAS”
(Catatan dari Sultan Agung 25A)

Yudhi
Mahyudin Rumata
JAKARTA, SriwijayaAktual.com – Siang itu, jumat 09
September 2016, di bilangan jalan Sultan Agung Nomor 25A Jakarta, tepatnya di
Sekretariat Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) berlangsung Public
Diskusi dengan mengusung tema “Meluruskan Visi Maritim Nasional”. Dengan
menghadirkan beberapa narasumber yang selama ini konsern membincangkan agenda
maritime di Indonesia, pertama, Laksamana Muda (Purn) Soeleman B. Ponto,
nama ini mungkin tidak asing di telinga masyarakat Indonesia atau orang
tertentu terutama komunitas intelejen, Beliau adalah bekas Kepala Badan Intelejen
Strategis atau biasa di kenal BAIS. Selain itu, Ponto begitu ia di sapa adalah
pemerhati maritime yang sering memberikan analisis-analisis dan
gagasan-gagasannya di sector kemaritiman. Kedua,
Ahlan Zulfakhri, narasumber yang
kedua ini kesehariannya adalah Sekretaris Jendral Asosiasi Pemuda Maritim
Indonesia, yang beberapa tahun belakangan ini konsen membicarakan issue-issue
kemaritiman, Lulusan Teknik Perkapalan Padjajaran Bandung ini bersama
kawan-kawannya saat ini focus menyiapkan agenda gerakan sadar maritim. Ketiga, Makbul Muhammad, Makbul begitu ia di sapa adalah Direktur Maritime Research
Institute. Keempat, Mahyudin Rumata, Nama ke empat ini
sehari-hari sebagai Ketua PB HMI Bidang Pertanian dan Kelautan periode
2016-2018. Yudi begitu ia di sapa, sebelum menjadi ketua bidang di Pengurus
Besar HMI, telah banyak mengelilingi Indonesia dengan terlibat dalam beberapa
kegiatan social, mengadvokasi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, penguatan
kapasitas pemuda dan masyarakat adat (capacity building) bersama AMAN dan BPAN
(Organisasi Sayap AMAN).
Mengawali diskusi dengan
brainstorming oleh moderator diskusi tentang situasi kemaritiman kita kini,
kebetulan moderator diskusi adalah jebolan ITS Surabaya Helmi Yunan Ihnaton, Dalam catatan ini, penulis mencoba
menyimpulkan proses diskusi, menarik benang merah dari setiap narasumber yang
menyampaikan materinya.
Discourses Maritim
menjadi perbincangan yang hangat setelah Pemerintahan Jokowi-JK dalam salah
satu visinya adalah menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Sebagai
Negara dengan posisi dan letaknya yang strategis, cita-cita Indonesia sebagai
Poros Maritim Dunia bukan sesuatu yang mustahil. Namun bukan juga sesuatu yang
muda sebagaimana membalikkan telapak tangan. Indonesia dalam catatan sejarah
memiliki cerita panjang tentang kemaritiman, Sriwijaya dan Majapahit adalah
salah satu cerita kelam kemaritiman kita. Mari sedikit menengok beberapa
catatan dalam sejarah kemaritiman dunia hingga nusantara. Bahwa pengaruh
perdagangan untuk kepentingan ekonomi menjadi titik awal dunia kemaritiman.
Kenneth R. Hall dalam
bukunya Maritime Trade And State Development In Early Southeast Asia, telah
mengambarkan bagaimana hubungan barat dan timur melalui jalur maritime,
identifikasi Kenneth bahwa kemajuan perdagangan di kawasan asia tenggara tidak
lain ialah atas inisiatif masyarakat Asia Tenggara sendiri yang memandang pola
perdagangan yang terkoneksi dengan dunia internasional di anggap sebagai
peluang yang menguntungkan. Ada dua model dalam pendekatan sistem perdagangan
yang berlaku di kawasan asia tenggara. Pertama,
pertukaran komuditas antara penduduk lokal. Kedua,
kontak interaksi dengan pedagang melalui otoritas kerajaan. Karena peran vital
penguasa (raja) pada gilirannya mampu menyatukan konsepsi terpadu di bidang
social politik serta ekonomi masyarakatnya. Raja bertugas memastikan kepada
pihak asing terkait jaminan keamanan di daerah-daerah rawan konflik melalui
pemusatan kegiatan perdagangan di pelabuhan. Rata-rata daerah pesisir menjadi basis
perdagangan internasional, hal ini di karenakan daerah pesisir menjadi pusat
transaksi komuditas dari daerah pedalaman.
Selain Kennet R. Hall,
Anthony Reid dalam bukunya “Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga (1450-1680), (Tanah
di Bawah Angin)”, telah banyak menggambarkan Asia Tenggara tak terkecuali
Indonesia, dengan posisinya yang strategis dalam skema perdagangan internasional.
Belum lagi AB. Lapian, yang di kenal sebagai sejarawan maritime Indonesia,
dalam disertasinya yang tersohor “Orang Laut, Bajak Laut dan Raja Laut”. Tentu
kesemua ini telah menegaskan bagamaimana posisi Indonesia di sector maritime.
Sebagai generasi penerus
kita patut berbangga dan belajar pada Ir. Djoeanda, karena dengan semangat yang
tinggi dan tekad yang kuat untuk memperjuangkan kedaulatan Indonesia, sehingga
pada desember 1957, tanggal 13, Ir. Djoeanda mendeklarasikan kepada dunia bahwa
laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, di antaranya dan di dalam
kepulauan Indonesia. Semangat itu yang kemudian di kenal sebagai “Deklarasi
Djoeanda”. Deklarasi dengan prinsip-prinsip Negara nusantara (Archipelagic
State), meskipun mendapat tantangan dari beberapa Negara besar, melalui
perjuangan panjang, akhirnya di terima dan di tetapkan dalam konvensi laut
hokum laut PBB (UNCLOS, 1982)
bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan Nusantara yang Saat ini
secara geografis merupakan negara kepulauan terbesar
di dunia, memiliki luas laut
sebesar 5,8 Juta km² yang terdiri dari laut territorial dengan luas
0.8 juta
km2, laut nusantara 2.3 juta km2 dan zona ekonomi eksklusif 2,7 juta km2. Di
samping
itu Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai
sepanjang 95.181 km.
Dengan terbitnya UNCLOS 1982 tersebut yang
kemudian diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia dalam Undang-undang No
17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982
di Indonesia maka membawa
konsekuensi logis bagi bangsa Indonesia yaitu adanya amanat
yang
harus dilaksanakan berupa hak-hak dan kewajiban dalam pengelolaan wilayah
kelautan
Indonesia berdasarkan hukum internasional.
Dua tahun wacana poros
maritime, sampai saat ini nampaknya masih sumir dan belum menunjukkan
tanda-tanda sebagaimana keinginan pemerintahan Jokowi-JK. Presiden pernah dalam
suatu kesempatan saat berada di prapat, Sumatra Barat, sempat menyentil visi
poros maritime yang belum maksimal di laksanakan. Selain itu, Presiden Jokowi
sempat memperlihatkan kemarahannya karena tidak mendapatkan jawaban yang
memuaskan dari pejabat di pelabuhan Tanjung Priok soal pihak yang memperlambant
dwelling time atau waktu tunggu container. Sikap Presiden tersebut menandakan
bahwa visi poros maritime belum sepenuh di kejewantahkan dalam bentuk kongkrit
oleh pembantu Presiden, sebagaian pembantu presiden belum memahami benar
tentang kerja kerja lembaga Negara mengintergrasikan program kementerian
lembaga dalam nafas poros maritime.
Buktinya adalah program
sebagain kementeriaan/lembaga yang masih orientasi daratan ketimbang lautan.
Dalam suatu kesempatan, penulis pernah menjadi peserta Focus Group Discussion
“Rencana Induk Pengembangan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Jangka Menengah dan Jangka Panjang Sampai Dengan Tahun 2038”, yang di
selenggrakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Kesempatan
tersebut penulis bertanya, kenapa harus membangun jembatan yang menghubungkan
antar pulau? Mesti yang di bangun adalah pelabuhan dan penyediaan sarana
transportasi laut yang memadai, sehingga harapan konektivitas antar pulau itu
terpenuhi. Adalah satu kesalahan berfikir dari ratusan kesalahan berfikir para
pembuat kebijakan kita.
Prioritas utama
indonesia sebagai poros maritime adalah pengembagngan infastruktur antar pulau
yang berbasis lautan atau pesisir, tidak hanya sekedar wacana tapi political
will segenap elemen bangsa indonesia terutama para pembuat kebijakan. Indonesia
dengan 2/3 luas lautan ketimbang daratan, Nampak terlihat dari panjang garis
pantai di hamper setiap pulau di indonesia (-+ 81.000 km) yang menjadikan
indonesia menduduki urutan kedua setelah kanada sebagai Negara yang memiliki
garis pantai terpanjang di dunia. Potensi ekonomi yang menakjubkan jika di
seriusi dengan maksimal.
Food and Agriculture
Organization, dalam laporanya Indonesia menduduki peringkat ke tiga terbesar di
dunia dalam produksi perikanan setelah Cina dan India. Perairan indonesia
menyimpan 70 % potensi minyak, dari angka ini baru 10 % yang telah di explorasi
dan di manfaatkan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat indonesia belum
merasakan dampak dari kerja nyata implementasi sector kemaritiman indonesia.
Padahal indonesia punya potensi industry bioteknologi kelautan, perairan dalam
(deep ocean water), wisata bahari, energy kelautan, mineral laut, pelayaran,
pertahanan, serta industry maritime.

Baca Juga Ini Guys; GLEGAR !!! Susi Pudjiastuti Ungkap Ribuan Nelayan Asal Filipina Punya KTP dan Tinggal di Bitung 


Wacana Menteri Susi Pudjiastuti Mundur Menjadi Viral, Aktivis Ini Menduga Ulah LBP

Doktrin membangun
indonesia sebagai poros maritime dunia, wajib di virusi pada setiap pemimpin di
setiap level dan seluruh rakyat indonesia. Karena yang demikian akan membawa
kesadaran kepada seluruh rakyat indonesia bahwa masa depan kita ada di laut. (Red).
Mahyudin Rumata: Penulis
adalah Ketua PB HMI Bidang Pertanian dan Kelautan, Pengiat Issue Masyarakat
Adat, Lingkungan dan Sumber Daya Alam