Berita  

Prof. Mahfud MD Cs, Pertanyakan Urgensi Hak Angket KPK yang Dinilainya Ada Tiga Kekeliruan

Perwakilan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN) yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD (kiri)
menyampaikan keterangan pers terkait Pansus Hak Angket Terhadap KPK didampingi Ketua KPK Agus Rahardjo, di
Jakarta, Rabu (14/6). – Antara/M Agung Rajasa

JAKARTA, SriwijayaAktual.com – Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi
Negara (APHTN-HAN), Prof.DR Mahfud MD mengatakan ada tiga hal yang membuat
pembentukan panitia khusus hak angket terhadap Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) atau pansus hak angket KPK menjadi cacat hukum. Tiga
kekeliruan tersebut muncul berdasarkan kajian dari 132 pakar hukum tata
negara.

Pertama subjeknya yang keliru, yang Kedua karena
objeknya yang keliru, dan yang Ketiga karena prosedurnya yang salah,” ujar
Mahfud menjelaskan kekeliruan Pansus Hak Angket KPK di Gedung KPK,
Kuningan, Jakarta Pusat, Rabu, (14/6/2017).

Subjeknya, kata Mahfud, keliru karena secara historis hak angket
sebelumnya hanya untuk pemerintah. Hak angket pertama keluar di Inggris
saat itu ditujukan ke pemerintah. Di Indonesia, pada tahun 1950-an
ketika menganut sistem parlementer untuk kepentingan mosi tidak percaya
kepada pemerintah. Kemudian diadopsi di dalam undang-undang yang
sekarang mengatur hak angket. Tapi konteksnya pemerintah. DPR itu tidak
mungkin mengawasi yang bukan pemerintah. “Itu satu dari sudut sejarah,”
kata Mahfud, dikutip dari tempo.co.


Sudut semantik, menurut dia, kalimatnya itu jelas dalam Pasal
79 ayat 3 UU MD3 menyatakan bahwa hak angket itu untuk menyelidiki
pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah. Disebutkan dalam
penjelasannya bahwa pemerintah itu yakni Presiden, Wakil Presiden,
menteri, jaksa agung, Kapolri dan lembaga pemerintah non kementerian,
seperti Basarnas, LIPI, Wantimpres. “Diluar itu seperti KPK itu bukan
lembaga pemerintah,” ujarnya.
Spesial Untuk Mu :  Jokowi Tegaskan! Perppu Ormas Jadi UU ini Dibuat untuk Menjaga Pancasila dan Keutuhan NKRI

Lalu yang ketiga, kata Mahfud,
prosedur pembuatan pansus itu diduga kuat melanggar undang-undang. Pada
waktu itu dipaksakan prosedurnya. Peserta sidang masih ada yang tidak
setuju, tiba- tiba putusan diketok. Seharusnya jika dalam keadaan belum
bulat, mestinya dilakukan voting. “Nah itu dianggap sebagai manipulasi
persidangan,” ungkapnya.

Baca Juga: Presiden RI Jokowi: Saya Tidak Ingin KPK Lemah, KPK Harus Kuat!!!

Menurut Mahfud, prosedur yg sekarang
ini dipaksakan, terlihat baru ada 8 fraksi. Padahal menurut Pasal 201
ayat 3 UU MD3 harus semua fraksi ada di dalam pansus. “Kalau itu
dipaksakan artinya melanggar juga prosedur yg ada,” katanya.

Mahfud melanjutkan bahwa tidak setuju dengan pendapat Yandri Susanto
dari Fraksi PAN. Saat itu Yandri mengatakan kalau Pasal 201 ayat 3
diterapkan dimana semua fraksi harus ada maka sepanjang hidup tidak
pernah ada itu yang namanya hak angket. “Itukan pendapat dia, tentu dulu
perumus undang-undang berpikir kalau sangat serius tentu saja bisa,”
katanya.

Kemudian ada hal lain, Mahfud mengatakan materinya ada
subjek, objek dan prosedur yang keliru. Bahkan isinya juga salah. Di
dalam undang-undang disebutkan materi hak angket itu menyangkut satu hal
penting, hal strategis, punya pengaruh luas di tengah masyarakat.

“Kalau
ini pentingnya apa? Urusan pengakuan Miryam yang mengaku ditekan itukan
hal biasa saja. Enggak ada hal yang gawat di situ. Dan itu sudah
dibuktikaan di sidang praperadilan bahwa itu benar,” ujarnya.

Dilihat
dari sisi strategisnya, kata Mahfud, kasus itu tidak berpengaruh luas
terhadap masyarakat. Masyarakat menganggap pemeriksaan terhadap Miryam
ini adalah hal yang biasa. Kalau DPR berpikir ini bukan hanya soal
Miryam tapi ada soal lain. “Itu tidak boleh karena hak angket itu harus
fokus,” Tuturnya Mahfud MD yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)  tersebut.

Spesial Untuk Mu :  Akun @opposite6890 Bongkar! Pengembang Game Remi Android yang Menghina Islam

Sebelumnya adapun Ketua Pansus Hak Angket KPK dari DPR Agun
Gunandjar mengatakan berbagai tafsir hukum dari akademikus tidak
berhubungan dengan kinerja panitia angket. Sebab, kata Agun, sebagian
akademikus hukum lain berpendapat pengajuan angket sudah benar dan
sesuai dengan aturan. “Kalau terus berdebat di sini, kapan kami bisa
bekerja?” kata Agun. (*)