![]() |
Prof.Mahfud MD (Ist) |
Konstitusi (MK) Prof.Mahfud MD menyatakan tidak menyetujui wacana kebijakan
pemerintah untuk tidak memenjarakan terpidana korupsi.
“Saya sama sekali tidak setuju kalau koruptor tidak dihukum, justru
saya ingin koruptor dihukum berat,” ujarnya saat menjadi pembicara bedah
buku berjudul “Sistem Politik Indonesia : Kritik dan Solusi Sistem
Politik Efektif” karya Ubedilah Badrun di Universitas Negeri Jakarta,
Kamis (11/8/2016).
Wacana tersebut dianggapnya mengerdilkan upaya penegakan hukum di
Indonesia, terlebih setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
mengumumkan sebanyak 361 kepala daerah tersandung kasus korupsi.
Korupsi yang dilakukan 343 bupati dan wali kota dan 18 gubernur umumnya
terkait praktik suap dalam hal perizinan sekaligus sebagai upaya
memperkaya diri dan melanggengkan jabatan.
“Ini kan artinya bangsa kita dipimpin oleh koruptor,” tutur Mahfud dikutip Antara.
Sebelumnya, mantan menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan Luhut Panjaitan mengatakan pemerintah sedang mengkaji kebijakan
untuk tidak memenjarakan terpidana korupsi dengan pertimbangan kondisi
lembaga-lembaga pemasyarakatan (lapas) yang sudah tidak memadai untuk
menerima tambahan narapidana dalam jumlah besar.
“Kalau dia (koruptor) terbukti merugikan negara, kita bisa hukum dengan
mengembalikan uang negara, ditambah penalti(denda) dan pemecatan dari
jabatannya. Kalau masuk penjara, maka penjara kita bisa penuh nanti,”
ujar Luhut, Juli lalu.
Jenderal (Purn) TNI yang kini menjabat sebagai Menko Maritim itu
mengatakan pemerintah telah membentuk tim pengkaji penerbitan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dan membandingkan praktik
hukuman alternatif yang digunakan sejumlah negara terhadap para pelaku
tindak pidana korupsi.
Meskipun mengaku pernah tiga kali bertemu dengan Luhut untuk membahas
masalah penegakan hukum di Tanah Air, Mahfud menegaskan dirinya tidak
turut andil dalam pembahasan tentang kebijakan keringanan hukuman untuk
koruptor.
“Saya tidak pernah terlibat dalam pembicaraan seperti itu,” tutur guru besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. (*/Han Ter)