|
JAKARTA, SriwijayaAktual.com – Proses divestasi 10,64 persen saham PT Freeport Indonesia
terancam mandeg. Alasannya, baik pihak Freeport dan pemerintah masih
berbeda pandangan soal skema penghitungan nilai divestasi.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, Freeport masih
berpegangan pada skema penghitungan yang mereka gunakan yakni
berdasarkan harga pasar atau fair value. Hal ini yang membuat penawaran harga saham yang Freeport tawarkan juga melambung tinggi.
Pemerintah, kata Bambang, berharap agar penghitungan nilai saham didasarkan pada skema replacement cost.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2013 tentang Tata
Cara dan Penetapan Harga Divestasi Saham serta Perubahan Penanaman Modal
di Bidang Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, ditulis bahwa harga
divestasi adalah jumlah kumulatif biaya investasi yang dikeluarkan
sejak tahap eksplorasi sampai tahun kewajiban divestasi saham, lantas
dikurangi akumulasi penyusutan serta kewajiban keuangan.
Artinya,
perhitungan saham wajar didasarkan pada nilai investasi yang telah
dikeluarkan hingga saat penawaran saham dilakukan. Metode ini,
mengabaikan nilai investasi yang bakal dilakukan Freeport. Metode ini
bersandar pada nilai aset yang dimiliki Freeport, bukan pada market value atau nilai pasar.
“Divestasi sudah kita kirim surat April, kita minta mereka beri tanggapan. Kan perbedaan perhitungan, Freeport pakai fair value kita pakai cost replacement. Itu masih belum ketemu,” ujar Bambang saat ditemui di Kementerian ESDM, Senin (27/6).
Menurut
Bambang, ketidaksepahaman soal skema penghitungan nilai saham ini, ia
akui memang sulit disatukan. Ia menilai, solusi yang paling ampuh agar
bisa ada kata sepakat baik Freeport dan pemerintah adalah dengan membuat
satu aturan yang bisa menjembatani kepentingan kedua pihak. Caranya,
dengan memasukkan peraturan ini dalam Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Mineral dan Batubara. Bambang berharap RUU Minerba bisa
rampung sebelum 2017 sehingga pembahasan soal divestasi yang seharusnya
sudah rampung tak lagi molor.
“Seharusnya ada kepastian juga. Harus ada yang mengatur itu lagi. Untuk kepastian harus ada regulasi yang menjembatani dong. Kalau nggak ada susah dong. Kalau kami, revisi UU sebelum 2017 itu bagus,” katanya.(Adm).
Sumber, Republika.com