Ilustrasi/istimewa |
KOLOM PEMBACA-OPINI, SriwijayaAktualcom – Dalam dua tulisan terdahulu, kami katakan bahwa pemindahan ibu kota ke
Kalimantan Timur adalah proyek untuk mengukir legacy (warisan) Presiden
Jokowi. Supaya disebut dialah presiden yang memindahkan ibu kota. Kami
juga mendeskripsikan bahwa ibu kota baru adalah proyek para konglomerat.
Merekalah yang mendominasi proses pemindahan itu dari hulu sampai
hilir.
Tapi, apakah benar ibu kota akan dipindahkan?
Jawaban singkatnya: tidak.
Kalau tidak, kenapa kedua tulisan terdahulu menggambarkan seolah ibu
kota akan benar-benar pindah? Penjelasannya adalah bahwa pikiran linier
tidak berlaku untuk Pak Jokowi. Artinya apa? Sederhana sekali. Di tangan
Jokowi, yang disebut ‘tak jadi’ bisa menjadi ‘jadi’. Sebaliknya, yang
sudah disebut ‘jadi’ banyak juga yang menjadi ‘tak jadi’.
Yang dijanjikan tak dilaksanakan, yang tak dijanjikan bisa muncul
tiba-tiba. Esemka, kartu prakerja, stop impor, 10 juta lapangan kerja,
besarkan Pertamina untuk kalahkan Petronas, tak hapus subsidi BBM, dlsb,
adalah beberapa contoh tentang nir-konsistensi Jokowi.
dalam bentuk pengalihan isu, pemindahan itu dapat disebut jadi. Tapi,
kalau dirujuk ke satu rapat terbatas (ratas) kabinet, pemindahan itu tak
jadi.
Menurut info A-1, ada rapat kabinet pada awal Agustus 2019. Di rapat
itu, diputuskan bahwa pemindahan ibu kota negara dicoret dari agenda.
Rapat dipimpin langsung oleh Presiden Jokowi. Hadir juga Wapres Jusuf
Kalla dan sejumlah menteri yang terkait dengan gagasan pemindahan ibu
kota.
Tetapi, sangat mengherankan mengapa dalam pidato di depan sidang
gabungan DPR-DPD pada 16 Agustus 2019, Jokowi mengumumkan keputusan
pemindahan ibu kota. Kemudian, pada 26 Agustus beliau umumkan bahwa
lokasi ibu kota baru itu adalah Penajam Paser Utara dan Kutai
Kartanegara di Kalimantan Timur.
Dikabarkan, Wapres Jusuf Kalla sempat berekspresi terperangah ketika
Jokowi mengatakan ibu kota akan dipindahkan ke Kalimantan. Hampir-hampir
saja Wapres terangkat dari duduknya ketika mendengar pernyataan Jokowi
yang tak sesuai dengan keputusan rapat kabinet.
Apa yang terjadi? Mengapa keputusan kabinet yang menetapkan ibu kota “tak jadi pindah”, dibalik menjadi “jadi pindah”?
Sumber-sumber yang berada di lingkaran inti kekuasaan menyebutkan
pemindahan ibu kota hanya bertujuan untuk mendiskursuskan informasi
publik. Para penguasa, kata mereka, perlu terus mengasyikkan masyarakat
dengan berita-berita panas seperti isu ibu kota. Agar publik lupa ada
perampokan besar suara rakyat di pilpres 2019.
Pemindahan ibu kota pun digoreng berhari-hari. Diperdebatkan sengit oleh
semua orang. Dibahas di berbagai talk-show televisi, di media cetak,
dan seluruh platform media sosial (medsos).
Semua serentak membicarakan pemindahan ibu kota. Tidak ada lagi cerita
penipuan pilpres. Tidak ada lagi yang mengutak-atik kematian 600-an
petugas KPPS pemilu. Kemudian, keanehan-keanehan yang berlangsung di
Mahkamah Konstitusi (MK) pun juga tak lagi menjadi buah bibir.
Salah seorang pengusaha papan atas angkat bicara. Dia tahu persis
pemindahan ibu kota ke Kalimantan sudah diputuskan tak jadi dikerjakan.
Duitnya tidak ada. Defisit APBN saja menganga lebar. Tak mungkin.
Dalam pada itu, narasi ‘tak jadi’ jauh lebih kuat dan logis dibandingkan
hayalan pindah ibu kota. Terlalu banyak orang yang geleng kepala.
Risikonya sangat besar.
Ketum Umum PDIP Megawati Soekarnoputri termasuk yang melihat risiko
itu. Beliau memberikan isyarat keras kepada Jokowi. Lebih pas disebut
kritik keras terhadap pemindahan ibu kota. Bu Mega meminta agar dampak
jangka panjangnya diperhatikan. Secara keseluruhan, komentar Bu Mega
lebih layak ditafsirkan menentang rencana itu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) sendiri menegaskan ongkos
pemindahan ibu kota tidak ada di dalam APBN 2020. Menteri mengatakan,
dia sendiri sedang mencarikan cara untuk membiayai pembangunan ibu kota
baru itu.
Dari semua ini, tampak jelas bahwa pemindahan ibu kota bukan agenda yang
serius. Hanya untuk menghebohkan publik sambil menutupi kebobrokan,
perampokan dan penipuan terbesar pilpres.