![]() |
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (Dok) |
JAKARTA, SriwijayaAktual.com – Realisasi Penerimaan Pajak pada APBN 2017,
disebut-sebut sulit untuk dicapai sesuai target. Sebab itu, belum lama
ini, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, telah mengungkapkan bahwa
pemerintah tengah melakukan revisi asumsi terkait pertumbuhan Penerimaan
Pajak dari 16% menjadi 13% yang menjadi sinyal kuat tidak tercapainya
target Penerimaan Pajak pada APBN TA 2017. Hal tersebut menjadi penanda
bahwa ada yang keliru dalam asumsi-asumsi dan target Penerimaan Pajak
yang dipatok selama ini.
disebut-sebut sulit untuk dicapai sesuai target. Sebab itu, belum lama
ini, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, telah mengungkapkan bahwa
pemerintah tengah melakukan revisi asumsi terkait pertumbuhan Penerimaan
Pajak dari 16% menjadi 13% yang menjadi sinyal kuat tidak tercapainya
target Penerimaan Pajak pada APBN TA 2017. Hal tersebut menjadi penanda
bahwa ada yang keliru dalam asumsi-asumsi dan target Penerimaan Pajak
yang dipatok selama ini.
“Dalam APBN 2017, target Penerimaan Pajak dipatok sebesar
Rp1.498,9 triliun atau naik 16,7 persen dibanding realisasi Penerimaan
Pajak Tahun 2016 sebesar Rp1.284,9 triliun. Target tersebut sebetulnya
kurang realistis sehingga akhirnya harus direvisi. Salahnya di mana?
Hanya ada pada 2 kemungkinan; kebijakan dan kinerja di lapangan,” kata
anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin
(24/7/2017).
Rp1.498,9 triliun atau naik 16,7 persen dibanding realisasi Penerimaan
Pajak Tahun 2016 sebesar Rp1.284,9 triliun. Target tersebut sebetulnya
kurang realistis sehingga akhirnya harus direvisi. Salahnya di mana?
Hanya ada pada 2 kemungkinan; kebijakan dan kinerja di lapangan,” kata
anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin
(24/7/2017).
Melencengnya realisasi terhadap target tidak kali ini saja terjadi,
tapi sudah dari tahun ke tahun. Meski arah kebijakan diganti dan
disempurnakan, tetap saja realisaasinya melenceng. Sehingga, sepertinya
ini bukan lagi soal kebijakan saja, tapi lebih kepada soal kinerja
lapangan yang ada di bawah komando Dirjen Pajak.
tapi sudah dari tahun ke tahun. Meski arah kebijakan diganti dan
disempurnakan, tetap saja realisaasinya melenceng. Sehingga, sepertinya
ini bukan lagi soal kebijakan saja, tapi lebih kepada soal kinerja
lapangan yang ada di bawah komando Dirjen Pajak.
“Jelasnya, kinerja lapangan tidak berjalan maksimal sesuai
target. Untuk diketahui, realisasi Penerimaan Pajak 2016 melenceng dari
target APBN-P TA 2016 sebesar Rp1.539,2 triliun. Selanjutnya, realisasi
Tahun 2015 sebesar Rp1.285 triliun juga melenceng dari target APBN-P
Tahun 2015 sebesar Rp1.489,26 triliun,” ujar dia, dikutip dari rimanews.
target. Untuk diketahui, realisasi Penerimaan Pajak 2016 melenceng dari
target APBN-P TA 2016 sebesar Rp1.539,2 triliun. Selanjutnya, realisasi
Tahun 2015 sebesar Rp1.285 triliun juga melenceng dari target APBN-P
Tahun 2015 sebesar Rp1.489,26 triliun,” ujar dia, dikutip dari rimanews.
Ditambahkan, melencengnya realisasi Penerimaan Pajak dari target
menandakan ada kontra antara rancangan kebijakan dengan kinerja
Penerimaan Pajak yang ada di APBN. Sehingga tidak aneh kemudian
asumsi-asumsi yang ada, sering sekali direvisi, yang akhirnya mengganggu
kredibilitas APBN. Padahal, masalahnya sebetulnya sudah bisa dilacak,
yaitu soal penurunan rasio pajak yang dianggap memberi gambaran umum
dinamika antar waktu sebagai indikator awal kondisi perpajakan, sejak
tahun 2014 sebesar 11.4% terus mengalami penurunan. Tahun 2015 sebesar
10.7% dan Tahun 2016 menjadi 10.3%.
menandakan ada kontra antara rancangan kebijakan dengan kinerja
Penerimaan Pajak yang ada di APBN. Sehingga tidak aneh kemudian
asumsi-asumsi yang ada, sering sekali direvisi, yang akhirnya mengganggu
kredibilitas APBN. Padahal, masalahnya sebetulnya sudah bisa dilacak,
yaitu soal penurunan rasio pajak yang dianggap memberi gambaran umum
dinamika antar waktu sebagai indikator awal kondisi perpajakan, sejak
tahun 2014 sebesar 11.4% terus mengalami penurunan. Tahun 2015 sebesar
10.7% dan Tahun 2016 menjadi 10.3%.
“Situasi ini sebetulnya sudah terbaca tapi karena kinerja di
lapangan dirasakan masih belum maksimal, maka penurunan realisasi dan
rasio pajak menjadi lebih sulit dibendung,” ungkap politisi Gerindra
itu.
lapangan dirasakan masih belum maksimal, maka penurunan realisasi dan
rasio pajak menjadi lebih sulit dibendung,” ungkap politisi Gerindra
itu.
Mestinya, perangkat teknis (dalam hal ini Dirjen Pajak) dapat
mengambil pelajaran pada realisasi penerimaan sebelumnya, sebagai misal
pada Tahun 2016 kan sudah bisa dibaca hal-hal sebagai berikut:
mengambil pelajaran pada realisasi penerimaan sebelumnya, sebagai misal
pada Tahun 2016 kan sudah bisa dibaca hal-hal sebagai berikut:
Pertama, PPh Non-Migas cenderung menurun. Sebagai contoh, pada
realisasi Tahun 2016 hanya sebesar Rp630,1 triliun atau 76,9 persen dari
target APBN-P TA 2016 sebesar Rp819,5 triliun.
realisasi Tahun 2016 hanya sebesar Rp630,1 triliun atau 76,9 persen dari
target APBN-P TA 2016 sebesar Rp819,5 triliun.
Kedua, realisasi Penerimaan Sumber Daya Alam yang tercatat hanya
sebesar Rp64,9 triliun atau hanya 72,6 persen dari APBN-P TA 2016
sebesar Rp90,5 triliun. Penyebab tidak tercapainya target tersebut dapat
dilacak pada Penerimaan Migas yang hanya Rp44,9 triliun atau hanya 65,3
persen dari APBN-P TA 2016.
sebesar Rp64,9 triliun atau hanya 72,6 persen dari APBN-P TA 2016
sebesar Rp90,5 triliun. Penyebab tidak tercapainya target tersebut dapat
dilacak pada Penerimaan Migas yang hanya Rp44,9 triliun atau hanya 65,3
persen dari APBN-P TA 2016.
Ketiga, temuan BPK tentang potensi Penerimaan Negara dari sektor
pajak yang belum dioptimalkan sebesar Rp1,69 triliun berupa pajak yang
belum tertagih dan denda keterlambatan.
pajak yang belum dioptimalkan sebesar Rp1,69 triliun berupa pajak yang
belum tertagih dan denda keterlambatan.
“Hal-hal tersebut harusnya sudah bisa diantisipasi oleh
Pemerintah, terutama dalam hal ini Dirjen teknis seperti Dirjen Pajak,
ketika menyusun rencana dan target pada tahun-tahun selanjutnya,”kata
Heri.
Pemerintah, terutama dalam hal ini Dirjen teknis seperti Dirjen Pajak,
ketika menyusun rencana dan target pada tahun-tahun selanjutnya,”kata
Heri.
Oleh karena itu, Kita tidak bisa menunggu pulihnya kinerja
ekspor-impor nasional untuk mendorong kinerja penerimaan PPh Non-Migas
serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebab, kinerja ekspor-impor
nasional belum bisa diandalkan untuk menjadi tumpuan karena belum
pulihnya perekonomian global.
ekspor-impor nasional untuk mendorong kinerja penerimaan PPh Non-Migas
serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebab, kinerja ekspor-impor
nasional belum bisa diandalkan untuk menjadi tumpuan karena belum
pulihnya perekonomian global.
“Sebab itu, ke depan Dirjen Pajak sebagai salah satu tulang
punggung penerimaan negara, di lapangan harus benar-benar serius untuk
melaksanakan kebijakan pencapaian target penerimaan yang sudah dibangun
lewat asumsi-asumsi yang diakui benar dan valid,” kata anggota DPR dari
Sukabumi itu.
punggung penerimaan negara, di lapangan harus benar-benar serius untuk
melaksanakan kebijakan pencapaian target penerimaan yang sudah dibangun
lewat asumsi-asumsi yang diakui benar dan valid,” kata anggota DPR dari
Sukabumi itu.
Baca Juga: Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Ingin Kembangkan Jurus Baru Perpajakan
Ia berpendapat, beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan pajak oleh pemerintah dengan optimalisasi penggalian potensi dan pemungutan perpajakan, evaluasi
kritis terhadap perjanjian perpajakan internasional yang bisa merugikan
serta meningkatkan kepatuhan dan ketaatan membayar pajak.
kritis terhadap perjanjian perpajakan internasional yang bisa merugikan
serta meningkatkan kepatuhan dan ketaatan membayar pajak.
Selanjutnya, sinergi yang produktif antara Dirjen Pajak dan
Dirjen Bea Cukai terutama dalam hal kebijakan mereview exemption PPN dan
merancang insentif fiskal lainnya sampai soal perluasan objek barang
kena cukai untuk mendongkrak penerimaan.
Dirjen Bea Cukai terutama dalam hal kebijakan mereview exemption PPN dan
merancang insentif fiskal lainnya sampai soal perluasan objek barang
kena cukai untuk mendongkrak penerimaan.
Langkah lainnya, tagihan dan denda pajak yang harus segera
dioptimalkan serta sinergi konstruktif, contoh data online antara Dirjen
Pajak dan Dirjen Bea Cukai sebagai institusi penerim pendapatan negara.
dioptimalkan serta sinergi konstruktif, contoh data online antara Dirjen
Pajak dan Dirjen Bea Cukai sebagai institusi penerim pendapatan negara.
“Kalau pada akhirnya kebijakan perpajakan yang diakui sudah
berada di jalan yang benar, maka berarti masalahnya ada pada
orang-orangnya, lebih tepatnya kinerja orang-orang yang terlibat di
lapangan. Dan masalah itu harus secepatnya dibereskan. Dirjen Pajak
harus secepatnya mengevaluasi kinerjanya,” Tandasnya Heri. (*)
berada di jalan yang benar, maka berarti masalahnya ada pada
orang-orangnya, lebih tepatnya kinerja orang-orang yang terlibat di
lapangan. Dan masalah itu harus secepatnya dibereskan. Dirjen Pajak
harus secepatnya mengevaluasi kinerjanya,” Tandasnya Heri. (*)
Komentar