“Sambat-Sambat” Sarjana Pendidikan
KOLOM PEMBACA, Sriwijaya Aktual – Untuk membunuh kebosanan saat perjalanan dari Semarang ke Solo via tol, saya lebih memilih me-nyekrol linimasa Twitter. Siapa tahu ada tema pergelutan menarik untuk ditulis. Saya pikir kok saya tidak ada bedanya dengan artis yang punya acara podcast itu ya? Kulakan masalah. Ha-ha. Sekian menit menjelajah linimasa belum ada yang menarik. Saya hanya membalas tweet teman saya @aribgspanuntun yang membahas tentang nasib guru honorer. Tiga kali berbalas pesan, saya tinggalkan tweet itu.
Sehari setelah saya tinggalkan, saya kaget mendapati tweet itu viral. Terakhir saya buka, sudah dibagikan sebanyak 11.000 kali, disukai sebanyak 40.000 lebih dan mendapat 600-an balasan. Padahal ketika saya tinggal belum ada 10 orang yang merespons. Begini bunyi tweet-nya: sistem perbudakan paling kejam di dunia pendidikan itu sistem guru honorer.
Saya jadi tertarik membaca respons-respons di tweet tersebut. Membaca sekian balasan jadi ingin ikut menangis. Lebih banyak yang membenarkan tweet teman saya daripada yang kontra. Mereka adalah guru-guru honorer yang nasibnya mengenaskan. Dari yang hanya digaji di bawah Rp 200.000 (itu pun dirapel dan lama turunnya) sampai beban kerja yang membuat batin tertekan
Belum lama ini saya saya melihat Whatsapp story teman saya tiga hari berturut-turut. Hari pertama ia mem-posting foto oseng-oseng pepaya muda, hari kedua ia mem-posting foto oseng-oseng bunga pepaya, hari ketiga ia mem-posting foto sayur daun pepaya. Karena penasaran kenapa menu makannya serba pepaya, saya membalas status teman saya. Kamu vegan toh sekarang?
Vegan mbahmu. 6 bulan belum gajian, Lik. Kumenangis merasakan…
Teman saya ini adalah guru honorer di sebuah sekolah negeri. Ia cerita belum menerima gaji selama 6 bulan. Jadi untuk makan sehari-hari sangat ngirit sampai harus ramban (memetik daun-daun yang bisa dimakan) di kebun tetangganya. Pohon pepaya yang tumbuh tak sengaja di lahannya yang tak seberapa itu ia manfaatkan untuk lauk sehari-hari. Divariasi. Sekarang buahnya, besok bunganya, besoknya lagi daunnya. Lama-lama batang dan akar juga ia makan, begitu ia menanggapinya dengan bercanda.
Saya tanya memangnya berapa gajinya kok sampai belum turun. Ia bilang gajinya dari dana BOS karena sekolah negeri tidak diperbolehkan menambah pungutan lagi. Selama pandemi ini dana BOS itu masih di-hold. Saya bingung kenapa bisa selama itu. Seingat saya teman saya yang lain cerita sudah cair dana BOS-nya berapa bulan lalu. Saya kurang paham sistem begini, bagian mana yang tidak beres. Yang jelas saya meringis ketika ia menyebutkan nominalnya.
Nominal segitu masih tidak cair-cair lagi. Padahal ia tetap harus berangkat ke sekolah dan tetap harus melaksanakan kewajibannya sebagai guru yang dituntut kreatif dan inovatif. Dituntut kreatif dan inovatif tanpa digaji dengan layak? Saya bisa maklum kenapa ia menyalurkan bakat kreatif dan inovatifnya dengan mengolah tanaman pepaya.
Saya juga ingat seorang teman dekat saya pernah dihujat di media sosial karena curhat di status ia baru saya mengundurkan diri dari pekerjaannya menjadi guru honorer dan pindah kerja ke sebuah perusahaan periklanan. Mereka bilang kepada teman saya kalau ia menyia-nyiakan gelar sarjana pendidikannya, menyia-nyiakan pahala yang didapat dari mengajar, terlalu menjadi orang yang materialistis.
Teman saya sampai menangis dan menutup akun media sosialnya karena tidak tahan dengan hujatan tersebut. Ia curhat kepada saya karena gaji dari mengajar tidak cukup untuk membiayai kebutuhannya dan bapaknya yang sakit dan memerlukan pengobatan. Selain gaji yang tidak layak, ia juga mengeluhkan beban kerja dan tekanan yang ia dapatkan di tempat kerja. Tidak jarang ia harus mengerjakan tugas dari oknum guru PNS. Mau menolak sungkan, tidak menolak kok stres. Belum soal tuntutan performa mengajar yang harus bagus yang persiapannya tentu saja ia lakukan di luar jam mengajar.
Kakak tingkat saya juga ada yang resign dan menjadi bakul daster setelah 11 tahun mengajar. Lebih ekstrem bapaknya teman saya, ia banting setir menjadi tukang tambal ban karena gaji wiyata bakti tidak cukup untuk hidup. Kata beliau sistem wiyata bakti adalah salah satu bentuk kejahatan jika tidak menggaji pengajarnya dengan layak. Saya suka bingung dengan hitungan gaji yang per jam per minggu, tapi dibayarnya hanya seminggu itu.
Teman saya sering bercanda dengan menyebut “seminggu profesional, tiga minggu beramal.” Saya jadi maklum ketika ada orangtua murid yang sampai iuran untuk menggaji guru honorer karena sekolah juga bingung harus mencari tambahan dana dari mana lagi.
Saya sering heran dengan orang yang gampang menyalahkan guru honorer ketika mereka sambat (mengeluh). Dari yang dibilang tidak ikhlas bekerja, tidak bersyukur karena ada yang lebih tidak enak nasibnya, gampang menyalahkan orang lain, kenapa nggak kerja sambilan, kerja di sekolah swasta bergengsi saja atau sekalian mengundurkan diri.
Lah dikira gampang usaha sambilan. Apa tidak perlu modal, terus waktu juga sudah dicurahkan untuk menyiapkan metode pembelajaran yang dituntut kreatif dan inovatif. Terus kalau soal lebih memilih kerja di mana atau mengundurkan diri saja, itu pilihan pribadi, tidak ada hubungannya dengan sistem yang sedang dikritik.
Orang-orang yang suka menyalahkan ini seringnya mengglorifikasi kesan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa (sampai tidak elok jika mengeluh soal gaji yang dibilang mengungkit jasanya) dan menormalisasi gaji honorer yang sedikit. Padahal memperjuangkan gaji yang layak juga hak mereka. Mereka ingin pendidikan anak-anaknya maju, tapi ketika ada guru honorer mengeluhkan kesejahteraan mereka, dibilang tidak elok, tabu, saru.
Wajar saja lho memperjuangkan gaji. Memangnya cicilan bisa dibayar dengan senyum, salam, sapa? Belum juga bibir ketarik, sudah digaplok debt collector.
Saya ini sarjana pendidikan yang tidak mau mengajar di sekolah lebih karena saya pusing dengan beban administrasi. Saya pun sering dibilang S.Pd murtad, Sarjana Peteng nDhedhet (gelap gulita). Ha-ha. Kalau saya pikir, sebenarnya saya lebih suka mengobrol dengan siswa atau mahasiswa daripada mengerjakan administrasi.
Pengalaman mengajar saya yang mengasyikkan itu ketika mengajar di sebuah pondok pesantren. Saya menikmati karena tidak ada beban administrasi, ngajar pun santai, kesejahteraan terjamin. Tapi saya memilih tidak mengajar karena merasa bukan dunia saya. Saya sadar, tidak semua orang punya pilihan seperti saya.
Saya kira wajar ketika guru honorer menuntut gaji yang layak. Dari kuliah saja sudah berapa tahun dan mengeluarkan banyak biaya. Itu saja belum cukup. Masih harus sekolah lagi mengambil pendidikan profesi guru dan punya sertifikat pendidik. Belum kalau mereka benar-benar harus babad alas ketika sudah terjun mengajar. Membayangkan saja saya sudah pusing.
Tapi saya salut dengan teman-teman saya para guru honorer yang masih semangat mengajar. Ada teman saya seorang wali murid yang mengeluh ketika guru anaknya diganti. Guru sebelumnya dipindah bertugas di perpustakaan karena ada guru PNS yang masuk. Guru baru yang PNS ini tidak seasyik guru sebelumnya yang guru honorer.Teman saya sering ngomel-ngomel karena guru baru ini sering memberi tugas dadakan melalui WhatsApp ketika hari sudah larut.
Saya tidak menjelek-jelekkan guru PNS; tentu saja di cerita itu hanya oknum. Saya hanya memberi gambaran kalau banyak guru honorer yang masih profesional dan kreatif serta inovatif dalam mengajar walau dengan gaji yang begitulah. Logikanya, ketika nanti mereka diangkat jadi PNS dan bergaji lebih layak, seharusnya performa mengajarnya pun akan meningkat.
Makanya ketika ada teman di kampung sana yang menitip buku tes CPNS untuk guru (di Solo saya punya langganan toko buku murah) biasanya saya beri subsidi. Kalau mereka diterima kan lumayan, mengurangi orang yang sambat di kontak WhatsApp saya, eh, maksudnya saya ikut senang akhirnya mereka diterima sebagai PNS.
Masih kata teman saya, Bagus Panuntun, dalam tweet-nya: Dulu kukira jurusan paling ngenes adalah sastra, filsafat, dan teknik nuklir. Sebab orang Indonesia percaya, lulus sastra jadi miskin, lulus filsafat jadi gila, lulus teknik nuklir jadi mandul. Sampai akhirnya kubaca sambat-sambat sarjana pendidikan.
Saya rasa guru honorer selayaknya tidak hanya digelari pahlawan tanpa tanda jasa, tapi juga pahlawan tanpa tanda tanya (tentang kejelasan nasibnya). [*]
Gondangrejo, 17 Maret 2021
Impian Nopitasari penulis cerita berbahasa Indonesia dan Jawa, tinggal di Solo