Satu Presiden, Enam Istana dan ada juga Pojok Istana. Pasti Kamu Banyak Yang Tidak Tau?! ini nah…

Berita22 Dilihat
Istana Merdeka

SriwijayaAktual.com – Tidak banyak orang mengetahui bahwa Indonesia mempunyai enam istana
kepresidenan. Istana Negara dan Istana Merdeka di Jakarta, Istana Bogor,
Istana Cipanas, Gedung Agung di Yogyakarta dan Istana Tampaksiring di
Bali.
Dari enam istana ini hanya Istana Tampaksiring yang dibangun oleh
pemerintah Indonesia di era Presiden Soekarno. Lainnya bangunan
peninggalan pemerintahan kolonial Belanda.
Hanya tiga presiden yang pernah benar-benar tinggal di Istana
Merdeka, yaitu Soekarno (presiden pertama), Abdurrahman Wahid (presiden
keempat) dan Joko Widodo (presiden ketujuh). Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono pernah sebentar menetap di Istana Merdeka, namun akhirnya
lebih memilih menetap di rumah pribadinya di Cikeas.
1. Istana Bogor
Istana Bogor
Istana Bogor terletak di pusat kota Bogor, di atas tanah berkultur
datar, seluas sekitar 28.86 hektar, di ketinggian 290 meter dari
permukaan laut, beriklim sedang dengan hawa yang sejuk. Istana Bogor
dizaman kolonial menjadi salah satu tempat favorit Gubernur Jendral
Hindia Belanda untuk beristirahat dari penat dan panasnya kota Batavia.

Setelah masa kemerdekaan, Istana Kepresidenan Bogor mulai
dipakai oleh pemerintah Indonesia sejak Januari 1950. Setelah
kemerdekaan fungsi istana Bogor berubah menjadi kantor urusan
kepresidenan serta menjadi kediaman resmi Presiden Republik Indonesia.

Presiden Soekarno terkenal sebagai penggila seni, karena itu Istana
Bogor dipenuhi dengan berbagai karya seni bernilai tinggi. Berbagai
karya seni seperti patung Presiden Yugoslavia, Josef Broz Tito, patung
Sarinah karya Trubus, dan patung kepala Sang Budha dari Myanmar tampak
menghiasi sisi ruang perpustakaan. Sementara di ruang kerja Bung Karno
terdapat lukisan upacara perkawinan Rusia karya Makowski, lukisan
flamboyan karya Addolf, patung Jatayu Merah, patung Wayang dari uang
kepeng, keramik Thailand, dan keramik hadiah Perdana Menteri Uni Sovyet,
Nikita Khruschev.
Gagasan pembangunan Istana Bogor diawali dari perjalanan Gubernur
Jenderal van Imhoff untuk mencari lokasi untuk peristirahatan pada 10
Agustus 1744. Van Imhoff lalu menemukan sebuah tempat yang baik dan
berudara sejuk di Kampong Baroe. Terkesan dengan lokasi tersebut pada
tahun 1745, Gubernur Jenderal van Imhoff memerintahkan pembangunan
sebuah pesanggrahan yang diberi nama Buiten zorg (artinya “bebas
masalah/kesulitan”).
Gunernur Jendral Imhoff membuat sendiri sketsa Buiten zorg dengan
meniru arsitektur Blenheim Palace, kediaman Duke of Malborough, dekat
kota Oxford di Inggris. Namun hingga jabatannnya sebagai Gubernur
Jenderal berakhir, bangunan tersebut belum kunjung selesai. Penyelesaian
bangunan Istana Bogor baru selesai pada masa kekuasaan Gubernur
Jenderal Charles Ferdinand Pahud de Montager (1856-1861) dengan banyak
perubahan dari desain awal penggagasnya.
Sepeninggal Van Imhoff Buiten zorg mengalami rusak berat pada masa
pemberontakan Banten di bawah pimpinan Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang
yang terjadi pada tahun 1750-1754. Pasukan Banten yang menyerang Kampong
Baroe telah membakarnya. Pemberontakan Kesultanan Banten berhasil
digagalkan dan Banten ditaklukan sebagai rampasan Kompeni.
Pengganti van Imhoff, Gubernur Jendral Yacob Mossel, membangun kembali
dengan tetap mempertahankan bentuknya yang semula, sebab seorang anggota
Dewan Hindia memberi nasehat agar bentuknya jangan diubah mengingat
bangunan Buitenzorg adalah replika dari istana Blenheim.
Pergantian para Gubernur Jenderal mengakibatkan berbagai perombakan
menimpa pesanggrahan impian Van Imhoff. Pada masa kekuasaan Gubernur
Jenderal Willem Daendels (1808-1811) gedung Buiten zorg diperluas dengan
memperlebar bagian kiri dan kanan. Gedung induk dijadikan dua tingkat. Perubahan besar terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Baron
van der Capellen (1817-1826) dengan mendirikan menara di tengah-tengah
gedung induk. Sementara lahan di sekeliling istana dijadikan Kebun Raya.
Gagasan Kebun Raya muncul dari Prof. Caspar George Carl Reinwardt,
yang pada tahun 1816 diangkat menjadi Direktur Pertanian, Seni, dan
Pendidikan untuk Pulau Jawa.
Reinwardt langsung memulai riset dalam bidang ilmu tumbuh-tumbuhan dan mulai menyelidiki berbagai
tanaman yang digunakan untuk pengobatan. Ia mengumpulkan semua tanaman
di sebuah kebun botani di sekitar halaman Istana Bogor yang sebelumnya
didiami oleh Letnan-Gubernur Thomas Stamford Raffles bersama isterinya
Olivia Mariamne Raffles selama masa peralihan dari Pemerintah Inggris ke
Kerajaan Belanda di Pulau Jawa (1811-1816). Melalui bantuan seorang
ahli botani William Kent, lahan yang awalnya merupakan halaman Istana
Bogor dikembangkan menjadi sebuah kebun yang cantik. Raffles menyulap
halaman istana menjadi taman bergaya Inggris klasik. Inilah awal mula
Kebun Raya Bogor dalam bentuknya yang sekarang.
Pada 15 April 1817 Reinwardt mencetuskan gagasan untuk mendirikan
kebun botani kepada Gubernur Jenderal G.A.G.P. Baron van der Capellen.
Pada 18 Mei 1817, Gubernur Jenderal G.A.G.P. van der Capellen secara
resmi mendirikan sebuah Kebun Raya di Kota Bogor, yang saat itu disebut
dengan nama ’s Lands Plantentuin te Buitenzorg. Pendiriannya diawali
dengan menancapkan ayunan cangkul sebagai pertanda pembangunan Kebun
Raya. Dalam pelaksanaan pembangunan Kebun Raya dipimpin oleh Reinwardt
sendiri, dibantu oleh James Hooper dan W. Kent kurator Kebun Botani Kew
yang terkenal di Richmond, Inggris.
Reinwardt yang menjadi pengarah pertama Kebun Raya Bogor (1817-1822)
lalu mulai mengumpulkan tanaman dan benih dari bagian lain Nusantara.
Dengan segera Bogor menjadi pusat pengembangan pertanian dan
hortikultura di Indonesia. Pada masa itu diperkirakan sekitar 900
tanaman hidup ditanam di kebun tersebut. Reinwardt juga menjadi perintis
di bidang pembuatan herbarium. Ia kemudian dikenal sebagai seorang
pendiri Herbarium Bogoriense.
Pada 1949 setelah Indonesia merdeka ‘s Lands Plantentiun te
Buitenzorg berganti nama menjadi Jawatan Penyelidikan Alam, kemudian
menjadi Lembaga Pusat Penyelidikan Alam (LLPA) untuk pertama kalinya
dikelola dan dipimpin oleh bangsa Indonesia, Prof. Ir. Kusnoto
Setyodiwiryo. Pada 1956 untuk pertama kalinya pimpinan Kebun Raya
dipegang oleh bangsa Indonesia yaitu Sudjana Kassan menggantikan J.
Douglas.
Bangunan di Buiten zorg mengalami rusak parah ketika gempa bumi
terjadi pada 10 Oktober 1834. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal
Albertus Yacob Duijmayer van Twist (1851-1856). Bangunan lama yang
terkena gempa dirubuhkan dan dibangun kembali menjadi bangunan baru satu
tingkat dengan gaya arsitektur Eropa Abad IX. Selain itu, dibangun pula
dua buah jembatan penghubung Gedung Induk dan gedung sayap kanan serta
sayap kiri.
Tahap akhir penyelesaian bangunan Istana Bogor selesai pada masa
kekuasaan Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud de Montager
(1856-1861). Sembilan tahun kemudian, pada 1870, Istana Buitenzorg
ditetapkan sebagai kediaman resmi para Gubernur Jenderal Belanda.
Penghuni terakhir Istana Buitenzorg itu adalah Gubernur Jenderal Tjarda
van Starckenborg Stachouwer yang harus menyerahkan istana ini kepada
Jenderal Imamura, pemerintah pendudukan Jepang. Sebanyak 44 gubernur
Jenderal Belanda pernah menjadi penghuni Istana Kepresidenan Bogor ini.
Pada akhir Perang Dunia II, ketika Indonesia menyatakan
kemerdekaannya, sekitar 200 pemuda Indonesia yang tergabung dalam
Barisan Keamanan Rakyat (BKR) sempat menduduki Istana Buitenzorg seraya
mengibarkan Sang Saka Merah Putih. Pengambilalihan selesai ketika
tentara Ghurka datang menyerbu dan memaksa para pemuda keluar dari
istana.
Sebagai tindak lanjut pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia,
Buitenzorg diserahkan kembali kepada pemerintah Republik Indonesia pada
akhir 1949 dan namanya diubah menjadi Istana Kepresidenan Bogor.
Setelah masa kemerdekaan, Istana Kepresidenan Bogor mulai dipakai
oleh pemerintah Indonesia sejak Januari 1950. Setelah kemerdekaan fungsi
istana Bogor berubah menjadi kantor urusan kepresidenan serta menjadi
kediaman resmi Presiden Republik Indonesia.
Pada 1952 bagian depan Gedung Induk mendapat tambahan bangunan berupa
sepuluh pilar penopang bergaya Ionia yang menyatu dengan serambi muka
yang tertopang enam pilar dengan gaya arsitektur yang sama. Sementara
anak tangga yang semula berbentuk setengah lingkaran diubah bentuknya
menjadi lurus. Jembatan kayu lengkung yang menghubungkan Gedung Utama
dan gedung sayap kiri dan sayap kanan diubah menjadi koridor.
Presiden Soekarno adalah Presiden yang paling sering menetap di
Istana Bogor. Selama tiga hari dalam sepekan Presiden Sukarno
menghabiskan waktu di Istana Bogor. Bahkan ibu Fatmawati beserta lima
anak mereka pernah tinggal di Istana Bogor antara 1952 hingga 1957. Bung
Karno menggunakan ruang Teratai dalam gedung induk untuk menerima
tamu-tamu negara. Disebut ruang teratai karena di ruangan ini terdapat
lukisan Bunga Teratai karya Dezentje dan lukisan tujuh bidadari.
Di Istana Bogor disisi kiri Ruang Garuda terdapat ruang perpustakaan,
ruang kerja, dan ruang makan besar. Bung Karno banyak menghabiskan
waktu luangnya dengan membaca. Sekitar 4.500 buku koleksi pribadi BK
masih tersimpan rapi di raknya sampai sekarang.
Presiden Soekarno terkenal sebagai penggila seni, karena itu Istana
Bogor dipenuhi dengan berbagai karya seni bernilai tinggi. Berbagai
karya seni seperti patung Presiden Yugoslavia, Josef Broz Tito, patung
Sarinah karya Trubus, dan patung kepala Sang Budha dari Myanmar tampak
menghiasi sisi ruang perpustakaan. Sementara di ruang kerja Bung Karno
terdapat lukisan upacara perkawinan Rusia karya Makowski, lukisan
flamboyan karya Addolf, patung Jatayu Merah, patung Wayang dari uang
kepeng, keramik Thailand, dan keramik hadiah Perdana Menteri Uni Sovyet,
Nikita Khruschev.
Hingga kini lukisan yang terdapat di istana Bogor berjumlah 448 buah
dan koleksi patung sebanyak 216 buah. Istana Bogor juga mengoleksi
keramik sebanyak 196 buah. Semua karya seni bernilai tinggi tersebut
kini tersimpan di museum istana Bogor.
Diruang kerja Istana Bogor, Soekarno dengan disaksikan tiga jenderal
TNI Angkatan Darat (M. Yusuf, Amir Machmud, dan Basuki Rahmat),
menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret pada 1965. Setelah peristiwa
itu Presiden Soekarno harus menyerahkan kursi kepresidenan kepada
Presiden Soeharto. Sekarno dan keluarga meninggalkan Istana Bogor pada
Maret 1967 lalu pindah ke Hing Puri Bima Sakti atau Istana Batutulis di
Bogor.

2. Istana Merdeka

Istana Merdeka

Pembangunan Istana Merdeka mulai dilakukan pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal James Lindon pada 1873. Gubernur Jendral
memutuskan untuk membuat sebuah istana dekat Hotel Rijswikjk yang
menghadap Koningsplein (Lapangan Monas).

Pembangunan gedung istana ini dilakukan oleh  Departemen Pekerjaan
Umum dengan pemborong “Firma Prossacra” menelan biaya sebesar f 360.000
dengan pengawasan arsitek Mr. Drossares. Istana Merdeka selesai
diibangun  pada 1879 masa Pemerintahan Gubernur Jenderal Johan Willem
van Landsberge dan sebagai tempat perayaan pernikahan Raja Willem II
dengan Puteri Emma Von Waldeck Pyrmont. Sejak itulah istana di
Koningsplein ini menjadi tempat kediaman resmi Gubernur Jenderal
disamping kediaman resmi lainnya di Buitenzorg (Bogor).

Rakyat yang berkumpul di depan Istana Gambir
mengelu-elukan kedatangan Bung Karno dengan pekik kemerdekaan. Bung
Karno berpidato di depan Istana Gambir. Salah satu keputusannya adalah
mengubah nama Istana Gambir menjadi Istana Merdeka dan Istana Rijswijk
menjadi Istana Negara.

Bangunan ini mempunyai banyak nama sesuai dengan situasi zamannya
antara lain Istana Koningsplein, Istana Gambir, Istana Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, Istana Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Istana Van Mook,
Istana Saiko Syikikan, dan terakhir Istana Merdeka. Sebelum dinamakan
Istana Merdeka, gedung ini bernama Istana Gambir
atau Koningsplein Paleis dipakai sebagai “Istana Wakil Tinggi Mahkamah
Belanda”.

Sebutan Istana Merdeka terkait dengan peristiwa pengakuan kedaulatan
Republik Indonesia Serikat oleh Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949.
Acara pengakuan berlangsung di Istana Gambir, Jakarta, dan Istana Dam,
Amsterdam, Belanda. Di Istana Gambir, Wakil Tinggi Mahkota Belanda
A.H.J. Lovink melakukan upacara itu di hadapan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia.

Karena perbedaan waktu antara Amsterdam dan Jakarta, upacara di
Istana Gambir dimulai menjelang senja. Matahari sudah hampir terbenam
ketika lagu kebangsaan Belanda Wilhelmus berkumandang mengiringi bendera
Merah-Putih-Biru untuk terakhir kalinya merayap turun dari puncak
tiangnya. Masyarakat yang berkumpul di luar halaman Istana Gambir
bersorak-sorak menyaksikan turunnya bendera tiga warna. Sorak-sorai kian
gemuruh setelah kemudian lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan
mengantar bendera Merah-Putih ke puncak tiang. ”Merdeka ! Merdeka! Hidup
Indonesia!”.

Presiden Soekarno dan keluarga tiba di Jakarta dari Yogyakarta pada
28 Desember 1949 dan langsung mendiami Istana Merdeka untuk pertama
kalinya. Rakyat yang berkumpul di depan Istana Gambir mengelu-elukan
kedatangan Bung Karno dengan pekik kemerdekaan. Bung Karno berpidato di
depan Istana Gambir. Salah satu keputusannya adalah mengubah nama Istana
Gambir menjadi Istana Merdeka dan Istana Rijswijk menjadi Istana
Negara.

Sejak saat itu peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus di langsungkan di Istana Merdeka untuk pertama
kali pada 1950.

Sepanjang sejarah Istana Merdeka pernah dihuni oleh 15 Gubernur
Jenderal Hindia Belanda, 3 Saiko Syikikan (Panglima Tertinggi Tentara
XVI Jepang di Jawa), dan 3 Presiden RI yaitu Presiden pertama Soekarno,
Presiden keempat Abdurrahman Wahid dan Presiden ketujuh Joko Widodo.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Istana Merdeka menjadi saksi sejarah
atas penandatanganan naskah Persetujuan Linggarjati pada 25 Maret 1947.
Persetujuan ini antara lain menetapkan bahwa Pemerintah Republik
Indonesia dan Kerajaan Belanda akan bersama-sama menyelenggarakan
berdirinya sebuah negara berdasarkan prinsip federasi.

Setahun kemudian, pada tanggal 13 Maret 1948, Istana Merdeka kembali
menjadi tuan rumah pertemuan empat mata antara Wakil Presiden Mohammad
Hatta dan Letnan Gubernur Jenderal Dr. Hubertus J. Van Mook.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, beberapa peristiwa sejarah
yang terjadi di Istana Merdeka antara lain adalah: pembubaran Republik
Indonesia Serikat dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada 15 Agustus 1950. Dekrit Presiden Kembali ke Undang-Undang
Dasar 1945 di depan Istana Merdeka pada 5 Juli 1959, serta pidato
Dekrit Ekonomi di Istana Negara pada 28 Maret 1963 sebagai akibat
ditolaknya permintaan utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF).

Presiden Soekarno memakai sebuah ruang di sisi timur Istana Merdeka
sebagai kamar tidurnya. Ruang tidur itu berseberangan dengan ruang
kerjanya dan dipisahkan oleh bangsal luas yang dikenal sebagai Ruang
Resepsi.

Sisi barat depan Istana Merdeka dipergunakan bagi kegiatan-kegiatan
resmi. Di antara serambi depan dan ruang kerja Presiden semula merupakan
teras terbuka dengan perabotan dari rotan. Teras ini menjadi ruang
tunggu untuk para duta besar sebelum menyerahkan surat keprecayaan
kepada Presiden. Sebagian lagi menjadi ruang tamu Presiden yang kemudian
dikenal sebagai ruang Jepara karena ruangan ini pada masa Presiden
Soeharto diisi dengan meja-kursi kayu dan ragam interior dari ukiran
Jepara.

Ruang kerja Presiden Soekarno diisi dengan meja dari kayu jati masif,
setelan kursi tamu dari kulit, dan dua dinding yang dipenuhi lemari buku
tingginya sepertiga dinding. Pada masa Bung Karno, bagian-bagian luar
Istana Merdeka masih terbuka sehingga merupakan serambi-serambi dan
beranda-beranda yang luas. Sekeliling Istana, sekalipun berpagar, tetap
memberi kesan terbuka. Beberapa bagian beranda yang terbuka
itu dilengkapi dengan kursi-kursi rotan. Di situ kadang-kadang Presiden
Sukarno menemui tamu-tamunya dan melayani wawancara wartawan.

Bila Presiden Soekarno sedang berada di Istana Jakarta, sebuah bendera
kepresidenan berwarna kuning dengan bintang emas ditengahnya dikibarkan
di atas Istana Merdeka. Sejak Presiden Soeharto, penandaan seperti itu
tidak dilakukan lagi.

Presiden Soeharto memutuskan untuk tidak tinggal di Istana Merdeka.
Pak Harto memutuskan untuk tinggal di kediaman pribadinya di Jalan
Cendana 8, Jakarta Pusat. Untuk bekerja, Presiden Soeharto berkantor di
Bina Graha yang mulai dibangun pada 1969 dan selesai pada 1970. Bina
Graha yang terletak di sebelah timur Istana Negara, menghadap ke arah
Sungai Ciliwung, kemudian menjadi kantor resmi Pak Harto.

Gedung ini berdiri di atas lahan bekas Hotel Dharma Nirmala, bangunan
yang pada masa sebelumnya bernama Hotel der Nederlanden dan Rafles
House. Sejak itu praktis Istana Merdeka dan Istana Negara hanya dipakai
sebagai tempat kerja, upacara, dan resepsi kenegaraan.

Sementara Presiden B.J. Habibie memilih tinggal di kediaman pribadi
di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, dan berkantor di Istana Merdeka.
Ia menggunakan kantor di Bina Graha hanya pada saat-saat tertentu,
misalnya memimpin Sidang Kabinet Terbatas. Untuk itu, dilakukan berbagai
penyesuaian untuk membuat ruang kerja di Istana Merdeka memenuhi syarat
guna menunjang kerja seorang Presiden yang akrab dengan teknologi baru.
Sebuah setelan sofa dari kulit bergaya Chesterfield ditempatkan di
ruang kerja. Di atas meja kerja ditempatkan dua komputer.

Presiden keempat Abdurrahman Wahid, yang biasa dipanggil Gus Dur
memindahkan keluarganya ke Istana Merdeka. Ia menggunakan ruang tidur
yang semula dipergunakan Bung Karno di Istana Merdeka. Kultur Gus Dur
yang sangat terbuka memberi warna baru pada kehidupan Istana Merdeka.
Wartawan, sahabat dan publik begitu leluasa keluar – masuk Istana
Merdeka. Istana yang sebelumnya berkesan formal menjadi tampak ramah dan
mudah dijangkau oleh publik.

Pada masa Presiden Megawati dipersiapkan rencana memindahkan kantor
Presiden ke Puri Bhakti Renatama yang terletak di pelataran dalam antara
Istana Merdeka dan Istana Negara. Bangunan tambahan itu dibangun semasa
Presiden Soeharto sebagai museum menyimpan lukisan dan benda-benda seni
serta benda-benda hadiah. Bangunan museum itu direnovasi menjadi Kantor
Presiden yang baru, lengkap dengan ruang untuk konferensi pers dan
ruang Rapat Kabinet.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat sebuah tradisi baru dalam
pergantian presiden di Istana Merdeka. Dalam rangka menyambut Presiden
Jokowi yang memenangkan Pemilu Presiden Juli 2014, Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai presiden yang digantikan membuat acara “Pisah-Sambut”.

3. Istana Yogyakarta

Istana Yogyakarta
Kota Yogyakarta mempunyai peran penting dalam revolusi.
Ketika Belanda melakukan agresi militer Januari 1946,  untuk menduduki
kembali Indonesia, pemerintahan Republik Indonesia mengungsi ke
Yogyakarta. Presiden Sukarno dan Moh Hatta lalu memimpin pemerintahan
dari Yogyakarta.

Gedung Agung dibangun sebagai kediaman resmi Residen pada Mei 1824
ketika Residen Anthonie Hendriks Smissaert memegang jabatan. Gubernur
Jenderal di Batavia menunjuk seorang arsitek bernama A.A.J. Payen yang
juga guru seni lukis Raden Saleh untuk membuat desain gedung.

Di dalam Gedung Agung ini Ibu Fatmawati yang hamil tua melahirkan Megawati Soekarnoputri pada Januari 1947.

Lokasi pembangunan kantor residen tepat berseberangan dengan benteng
Rustenburg  yang sudah ada sejak 1767. Benteng ini sempat hancur karena
gempa bumi lalu dibangun kembali  pada 1867 dan diberi nama baru menjadi
benteng Vredenburg. Benteng itu dibangun dalam jarak tembak meriam ke
arah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk mencegah kemungkinan
pembangkangan di lingkungan Kraton Yogyakarta.
Saat gedung sedang dibangun meletus  Perang Jawa yang dipimpin
Pangeran Diponegoro.  Residen Smissaert mengungsi ke dalam Benteng pada
1832 sementara pemerintah kolonial juga menghabiskan banyak dana untuk
menghentikan pemeberontakan ini. Perang Jawa mengajarkan Belanda untuk
sangat mempertimbangkan soal keamanan tempat tinggal dan kantor bagi
pejabat tingginya.
Gempa bumi pada 1867 telah meruntuhkan bangunan awal Residenan
Yogyakarta. Bangunan baru segera didirikan di atas lahan yang sama
dengan gaya arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis.
Kantor Residen  selesai dibangun pada 1869. Gedung baru inilah yang
kemudian menjadi bangunan utama Gedung Agung. Pada masa pendudukan
Jepang, Gedung Agung menjadi kediaman resmi Koochi Zimmukyoku Tyookan,
penguasa tertinggi Jepang di Yogyakarta.
Rakyat Yogyakarta juga mempunyai julukan sendiri atas Gedung Agung.
Orang Yogya pernah menyebutnya sebagai Residenan, yaitu tempat tinggal
Residen. Ketika Karesidenan Yogyakarta ditingkatkan status
administrasinya menjadi provinsi sejak tahun 1927, gedung itu kemudian
berubah julukan menjadi Gubernuran atau Loji Gubernur. Gedung itu
kemudian berubah julukan menjadi Presidenan ketika Bung Karno dan
keluarganya tinggal di sana.
Ketika Agresi Belanda atas Indonesia dilakukan pada Januari 1946,
Soekarno beserta keluarganya mengungsi ke Yogyakarta dan menempati
sebuah rumah yang pernah menjadi kediaman resmi residen Belanda dan
disebut dengan Gedung Agung, yang kini menjadi  salah satu Istana
Kepresidenan. Di dalam Gedung Agung ini Ibu Fatmawati yang hamil tua
melahirkan Megawati Soekarnoputri pada Januari 1947.
Saat Agresi Belanda dimulai, di Gedung Agung ini Panglima Besar
Soedirman mohon diri kepada Presiden Soekarno untuk meninggalkan kota
dalam rangka memimpin perang gerilya melawan Belanda. Perlawanan gerilya
Jendral Soedirman menjadi penting untuk membuktikan bahwa pemerintahan
republik Indonesia tidak tunduk di bawah politik agresi Belanda.
Gedung Agung Yogyakarta juga menjadi saksi sejarah pertikaian politik
yang mencekam antara pemerintah di bawah Perdana Menteri Sutan Sjahrir
dengan kaum oposisi revolusioner Persatuan Perjuangan (PP) di bawah
pimpinan Tan Malaka. Pemicu peristiwa ini adalah ketidakpuasan Persatuan
Perjuangan atas politik diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia terhadap Belanda. Kelompok ini menginginkan pengakuan
kedaulatan penuh (100%), sedangkan kabinet yang berkuasa di bawah PM
Sjahrir hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.
Kaum oposisi revolusioner Persatuan Perjuangan yang tidak puas dengan
PM Sjahrir pada 3 Juli 1946 menghadap Soekarno dan menyodorkan maklumat
untuk ditandatangani presiden. Maklumat itu berisi antara lain tuntutan
untuk membubarkan kanbinet II PM Sjahrir dan membentuk Dewan Pimpinan
Politik yang dipimpin oleh Tan Malaka. Presiden Soekarno tidak menerima
maklumat tersebut dan memerintahkan penangkapan para pengantar maklumat.
Di ruang utama Gedung Agung yang diberi nama ruang Garuda menjadi
tempat Soekarno menggelar rapat kabinet dan upacara resmi saat
pemerintahan berpusat di Yogyakarta. Setiap minggu Bung Karno juga
memberi kuliah ketatanegaraan dan politik yang terbuka bagi umum. Di
ruangan ini terpampang beberapa lukisan pahlawan nasional seperti H.O.S.
Tjokroaminoto (Affandi), Dokter Wahidin Sudirohusodo (Sudjono
Abdullah), Dr. Sutomo (Dullah), M. Husni Thamrin (Soedarso), Dr. Tjipto
Mangunkusumo (Soeromo), R.A. Kartini (Trubus S.), Diponegoro, Teuku Tjik
Ditiro, dan Tuanku Imam Bondjol (S. Sudjojono).
Di ruang Garuda, terdapat dua ruang tamu utama. Ruang tamu di sebelah
selatan disebut Ruang Soedirman, di ruang itulah Panglima Besar
Soedirman dulu mohon diri kepada Presiden Sukarno untuk memimpin perang
gerilya melawan Belanda. Sementara ruang tamu disebelah utara disebut
Ruang Diponegoro untuk mengenang pahlawan besar tersebut. Sebuah
reproduksi lukisan Pangeran Diponegoro dari lukisan Basuki Abdullah yang
berada di Istana Merdeka diletakan di dalam ruangan ini.
Selama menetap di Gedung Agung Yogyakarta Presiden Soekarno mengambil
kesempatan bertemu dengan para seniman Yogyakarta dan membeli beberapa
lukisan dari Affandi, S. Sudjojono, dan Sudjono Abdullah (adik Basoeki
Abdullah). Sebaliknya, para pelukis pun banyak menitipkan lukisan untuk
menghias kediaman Presiden Soekarno. Istana Yogyakarta menjadi ruang
pameran para seniman lukis Indonesia. Beberapa lukisan dibubuhi
kata-kata yang menunjukkan bahwa lukisan itu dihadiahkan kepada Bung
Karno, presiden yang dalam sejarah hidupnya telah memuliakan kehidupan
seniman.

Selain lukisan, Istana Yogyakarta juga menyimpan sekitar 50 arca batu
kuno yang ditemukan di daerah sekitar Yogyakarta dan kini dirawat serta
dilestarikan di sebuah sudut halaman belakang Istana. Arca-arca yang
dikumpulkan para Residen Belanda ini semula ditempatkan di Benteng
Vredenburg.
Pada tahun 1972, di era Presiden Soeharto, Gedung Agung secara resmi
diputuskan menjadi Istana Presiden Republik Indonesia pada 1972, dan
dipergunakan sebagai tempat penginapan Presiden dan para tamu negara di
Yogyakarta. Sebelumnya, pengelolaan dan perawatan Gedung Agung sejak
1954 ditangani oleh Kepatihan Danurejan. Sejak 1972, Gedung Agung
mengalami renovasi agar layak bagi kepala negara dan kepala
pemerintahan.
Bagian dari Gedung Agung yang menjadi kompleks Seni Sono dipugar
sejak 1995 dan diresmikan saat B.J. Habibie menjadi presiden setelah
reformasi. Gedung Seni Sono didirikan pada 1915 itu terletak di sudut
selatan bagian depan kompleks Istana Yogyakarta. Bangunan ini pernah
dipakai sebagai soos atau societeit, bioskop, sebelum akhirnya menjadi
galeri seni.
Di era Presiden Soeharto sejak tahun 1988 Gedung Agung dijadikan
tempat upacara Parade Senja setiap 17 Agustus dan acara perkenalan serta
perpisahan Taruna Angkatan Udara. Sejak 17 Agustus 1991 Gedung Agung
menjadi tempat resmi pemerintahan Yogyakarta untuk memperingati
detik-detik peringatakan proklamasi. Sekarang Gedung Agung digunakan
sebagai tempat menginap presiden dan wakil presiden bila sedang
berkunjung ke Yogyakarta.
Gedung Agung Yogyakarta muncul dalam wacana Presiden Abdurrahman
Wahid dalam pertemuan dengan para tokoh politik dengan menceritakan
kembali sejarah rasa persaudaraan yang ada di kalangan pimpinan bangsa
ini di masa lalu. Presiden Gus Dur bercerita mengenai Moh Yamin yang
ketika itu ditahan Presiden Soekarno di Gedung Agung. Hampir setiap
malam Bung Karno dan Bung Yamin berbincang-bincang dan makan bersama,
tidak ada sikap saling bermusuhan di antara keduanya. “Persaudaraan
semacam itu yang sekarang tidak ada dan hilang”, ujar Gus Dur.
Sementara bagi Presiden keempat Megawati Soekarnoputri, Gedung Agung
Yogyakarta menjadi bagian penting dari hidupnya, putri Bung Karno
Presiden ke 1 Republik Indonesia lahir di dalam Istana Gedung Agung 23
Januar 1947 saat Yogyakarta menjadi ibukota RI di masa revolusi. Menurut
Megawati dia sejak lahir sudah jadi anak presiden, karena bapaknya
sudah presiden.
Sementara Istana Gedung Agung Yogyakarta menjadi saksi perpisahan
Presiden SBY dan Ibu Ani dengan netizen di dunia maya. Pada Kamis 16
Oktober 2014, Presiden SBY dan Ibu Ani mengundang 20 netizen terpilih
dari dunia maya yaitu twitter, instagram, dan facebook melalui kuis kopi
darat pamitan atau #kopdarpamitan. Tercatat kurang lebih 50.000 akun
twitter, 7000 akun instagram dan 35.000 akun facebook mengikuti kuis
kopdar pamitan ini.
Bagi Presiden Jokowi Gedung Agung Yogyakarta menjadi penting karena
di sana presiden menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan
Hak Asasi Manusia di masa lalu. Di Gedung Agung Jokowi mengatakan bahwa
pemerintah akan terus berkomitmen untuk menyelesaikan kasus HAM di masa
lalu secara berkeadilan. Hak Asasi Manusia menurut Jokowi, juga bukan
melulu hanya berkutat masalah pelanggaran masa lalu, namun juga soal
jaminan pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya serta jaminan mendapat
pelayanan pendidikan, kesehatan serta kebebasan beragama.

4.  Istana Cipanas 

Istana Cipanas
Istana Cipanas terletak di kaki Gunung Gede yang berhawa
sejuk. Sejak zaman kolonial Istana Cipanas sudah dijadikan tempat bagi
para Gubernur Jenderal. Pemandian air panas, sumber air mineral, serta
udara pegunungan yang bersih, makin menyempurnakan kompleks itu sebagai
tempat persinggahan yang digemari para pejabat tinggi. Presiden Soekarno
menjadikan Istana Cipanas sebagai tempat mencari inspirasi bagi
pidato-pidatonya.

Pada 1954, Bung Karno memerintahkan dua orang arsitek,
R.M. Soedarsono dan F. Silaban, membuat desain sebuah studio terpencil
di salah satu puncak bukit dalam lingkungan Istana Cipanas sebagai
tempat merenung.

Pendiri Istana Cipanas adalah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron
Van Imhoff, yang juga penggagas pembangunan Buiten zorg. Pada Agustus
1742 dengan pengawalan pasukan grenadiers VOC sang Gubernur Jendral
melakukan ekspedisi ke arah Priangan dengan mengajak dua orang anggota
Raad van Indie (Dewan Hindia), seorang dokter, seorang juru ukur tanah,
dan seorang pendeta.
Pada 23 Agustus 1742 ekspedisi mencapai Kampoeng Baroe, yang
kemudiaan oleh Van Imhoff dibangun Buiten zorg  atau sekarang disebut
dengan Istana Bogor. Dua hari kemudian rombongan Van Imhoff tiba di
Cisarua dan terus mendaki ke arah Puncak hingga mencapai sebuah sumber
air panas yang menyembur di bawah sebatang pohon karet munding. Van
Imhoff langsung jatuh cinta dengan tempat ini dan berniat  membangun
sebuah rumah tetirah. Seorang juru ukur segera dikirim untuk membuat
peta dan mematok kapling untuk bangunan yang dicita-citakannya.
Van Imhoff sendiri lalu membuat sketsa bangunan Istana Cipanas yang
diilhami rumah musim panas Eropa, tetapi dengan memadukan arsitektur
tropis. Pada 1742  pembangunan Istana Cipanas dimulai dengan
mendatangkan para tukang kayu dari Tegal dan Banyumas yang dikenal rajin
dan rapi garapannya. Hampir seluruh konstruksi bangunan terbuat dari
kayu jati.  Besi cor juga dipakai sebagai penguat dan ragam hias
bangunan.
Selama masa pembangunan itu, Van Imhoff sering datang menengok,
sekaligus untuk berendam air panas. Dokter pribadinya bahkan menyarankan
untuk minum air dari sumber itu yang diketahui mengandung belerang dan
zat besi dicampur dengan susu yang mempunyai khasiat penyembuhan. Istana
Cipanas selesai dibangun pada 1746.
Saat pembangunan Van Imhoff mulai menjalin asmara dengan tukang pijat
cantik dari Tegal. Ketika juru pijat ini hamil Van Imhoff segera
mempermandikannya menjadi Protestan, dan memberinya nama Helena Pieters.
Dari rahim Helena lahirlah tiga anak Baron Van Imhoff.  Van Imhoff
meninggal pada 1750 di Istana Cipanas setelah sakit selama dua bulan.
Jenazahnya dimakamkan di Tanahabang, Jakarta, dengan upacara kebesaran
militer.
Karena semakin ramainya pengunjung, pada 1916 pemerintah kolonial
menambahkan tiga bangunan di sekeliling bangunan induk.
Paviliun-paviliun itu sekarang bernama Arjuna, Yudhistira, dan Bima.
Bagian belakang bangunan induk juga diperpanjang untuk mementaskan
berbagai kesenian. Berbagai bangunan ditambahkan lagi pada era Republik
Indonesia setelah penetapan rumah tetirah di Cipanas itu sebagai Istana
Presiden.
Hanya sebagian Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pernah menggunakan
Istana Cipinas untuk tetirah. Para Gubernur Jendral lebih tertarik
tetirah di Buiten zorg  yang lebih dekat. Perjalanan menanjak dengan
kuda ke arah Cipanas dirasa sangat melelahkan dan kurang menarik.
Tercatat hanya tiga Gubernur Jendral yang pernah menempati Istana
Cipanas bersama keluarganya diawal abad 20 yaitu, Gubernur Jenderal
Andreas Cornelis De Graeff, Bonifacius Cornelis De Jonge, dan Tjarda Van
Starkenborgh-Stachouwer.
Di masa pendudukan Jepang, para pemimpin tentara dan pembesar Jepang
yang gemar berendam air panas selalu singgah di Cipanas dalam perjalanan
antara Jakarta dan Bandung.

Sejak Presiden Soekarno Istana Cipanas mulai dijadikan tempat pernikahan
para keluarga Presiden Indonesia. Soekarno memulainya dengan 
melangsungkan akad nikah dengan Ibu Hartini pada 1953. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono juga mengadakan pernikahan  anaknya Ibas Yudhoyono
dengan Aliya Rajasa secara megah di Istana Cipanas yang dihadiri 1000
undangan.
Pada 1954, Bung Karno memerintahkan dua orang arsitek, R.M.
Soedarsono dan F. Silaban, membuat desain sebuah studio terpencil di
salah satu puncak bukit dalam lingkungan Istana Cipanas sebagai tempat
merenung. Bangunan sederhana itu dibikin dari bahan dasar batu kali yang
ditonjolkan sebagai ragam hias. Gedung itu hingga sekarang disebut
Gedung Bentol karena bentol-bentol batu kali yang diekspos, baik pada
dinding maupun pada lantai luar bangunan.
Bila sedang di Istana Cipanas biasanya Bung Karno datang pagi-pagi ke
Gedung Bentol dengan membawa bahan-bahan untuk menulis. Pelayan
menyediakan segelas kopi, teh, air, dan hidangan ringan seperti pisang
rebus, singkong rebus, kacang rebus.
Di Istana Cipanas Presiden Soekarno pada 13 Desember 1965  mengadakan
sidang kabinet dan mengeluarkan kebijakan “sanering” yang mengubah nilai
uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Sebelumnya, kebijakan “sanering” ini
pernah dilakukan oleh PM Hatta pada tahun 1950 dengan  memangkas nilai
Rupiah hingga setengahnya.
Pada 1983, di era Presiden Soeharto  dibangun paviliun kembar yang
diberi nama Nakula dan Sadewa. Presiden Soeharto juga mendatangkan
kursi-kursi ukiran Jepara di berbagai ruang Istana Cipanas, digabungkan
dengan perabotan tinggalan lama.
Presiden Soeharto hanya sesekali bermalam di Istana Cipanas. Namun
keluarga para Wakil Presiden di era Presiden Soeharto justru sering
datang ke Istana Cipanas. Tercatat para Wakil Presiden yang berkunjung
kesini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar
Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Soetrisno. Pak Umar sering
menggunakan Istana Cipanas selama libur Idul Fitri. Pak Try hampir
selalu menggunakannya setiap pergantian tahun.
Perubahan yang dibawa Presiden Soeharto ke Istana Cipanas berpadu
dengan koleksi lukisan dan patung-patung Bung Karno  yang menjadi hiasan
utama interior dan eksterior Istana Cipanas, misalnya saja karya-karya
Lee Man Fong, Theo Meier, Batara Lubis, Basoeki Abdullah, Rustamadji,
Russel Flynt, Rudolf Bonnet, Dullah, dan S. Sudjojono.
Istana Cipanas memang berfungsi persis seperti di zaman Hindia
Belanda, sebagai tempat  istirahat para pejabat tinggi negara. Jarang
dijadikan ajang pertemuan formal. Salah satu pertemuan resmi yang pernah
dihelat di Istana Cipanas adalah perundingan damai bagi faksi-faksi
Filipina yang bertikai. Pada 14-17 April 1993, atas inisiatif Presiden
Soeharto, Menteri Luar Negeri Ali Alatas memimpin perundingan antara
Pemerintah Filipina dan kelompok Moro National Liberation Front (MNLF)
pimpinan Nur Misuari.
5.  Istana Negara.
Istana Negara
Istana kepresidenan di Jakarta terdiri dari dua bangunan utama yang
disebut Istana Negara dan Istana Merdeka. Kedua istana ini merupakan dua
buah bangunan utama yang luasnya 6,8 dan terletak di antara Jalan Medan
Merdeka Utara dan Jalan Veteran, serta dikelilingi sejumlah bangunan
yang sering digunakan kegiatan kenegaraan.
Posisi Istana Merdeka menghadap ke Taman Monumen Nasional (Jalan
Medan Merdeka Utara), dan Istana Negara yang menghadap ke Sungai
Ciliwung (Jalan Veteran). Kedua bangunan itu berada di kawasan yang
dimasa lalu bernama Weltervreden (dalam bahasa Belanda berarti ”sangat
memuaskan”)’ Kawasan ini dihuni para elit pejabat dan pengusaha Belanda
dengan rumah-rumahnya yang besar (loji). Weltervreden adalah kawasan
yang tertata cantik dengan pohon-pohon yang dipangkas rapi seperti di
taman-taman Eropa.
Gedung Istana Negara berumur lebih tua dan mulai dibangun pada 1796
masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten dan
selesai pada 1804 masa Gubernur Jenderal Johannes Siberg. Gedung ini
semula adalah rumah peristirahatan milik pengusaha Belanda, Jacob
Andries van Braam di jalan Rijkswijk (sekarang Jalan Veteran). Gedung
ini lalu dikenal dengan sebutan Istana Rijswijk .
Pada 1821 rumah peristirahatan van Braam dibeli oleh pemerintah
kolonial sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta tempat tinggal para
Gubernur Jenderal di Batavia (Jakarta). Di Istana Rijswijk ini pada 1829
Gubernur Jenderal G.A.G. baron Van Der Capellen mendengarkan rancana
Jenderal Hendrik Merkus baron De Kock untuk menumpas pemberontakan
Diponegoro. Di istana ini pula Guvbernur Jendral Graaf Van Den Bosch
mulai membuat kebijakan sistem tanam paksa atau cultuur stelsel,
sistem yang menguntungkan pundi-pundi pemerintah kolonial dan
menciptakan kesengsaraan para petani.

6. Istana Tampaksiring.

Istana Tampaksiring, Bali

Dari keenam istana kepresidenan, Istana Tampaksiring
mempunyai sejarah unik. Istana ini adalah satu-satunya yang  dibangun
oleh pemerintah Indonesia setelah merdeka. Istana ini menjadi semakin
berbeda dengan istana lainnya, sebab Presiden Soekarno memberi banyak
masukan pada rancang-bangun Istana Tampaksiring.
Bung Karno menggagas pendirian sebuah kediaman presiden di
Tampaksiring untuk merespon semakin seringnya menerima tamu negara dari
berbagai negara. Pulau Bali yang tekenal di mancanegara karena
keindahannya juga menjadi minat dari banyak tamu negara. Karena itu
sebuah Istana kepresidenan untuk menyambut tamu negara didirikan di
pulau Bali.

Bila lima istana lainnya dibangun dengan gaya arsitektur
Eropa, maka Istana Tampaksiring sangat  kental dengan ciri ke
Indonesiaan dan nuansa lokal Bali.

Istana Tampaksiring berdiri di desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring,
Kabupaten Gianyar. Lahan pembangunan istana adalah pemberian dari Raja
Gianyar. Presiden Soekarno memerintahkan arsitek R.M. Soedarsono membuat
rancang-bangun untuk Istana Kepresidenan di sana. R.M Soedarsono adalah
arsitek pada Jawatan Pekerjaan Umum. Pembangunan istana berada di bawah
pengawasan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Seksi Gianyar, Tjokorda Gde
Raka.
Pembangunan Istana Tampaksiring mulai dipersiapkan pada 1956.
Pembangunannya dimulai pada 1957 dan selesai 1963. Gedung pesanggrahan
Raja Gianyar dirobohkan dan atasnya dibangun gedung utama Wisma Merdeka
pada 1957.
Bila lima istana lainnya dibangun dengan gaya arsitektur Eropa, maka
Istana Tampaksiring sangat  kental dengan ciri ke Indonesiaan dan nuansa
lokal Bali. Tidak ada pilar-pilar besar yang menampilkan kesan
keagungan dan kekuasaan duniawi. Rancang-bangunnya sangat fungsional,
menonjolkan kesederhanaan dan fungsinya sebagai wisma peristirahatan.
Batu-batu alam dan batu bata halus khas Bali sengaja ditonjolkan untuk
menciptakan corak kedaerahan. Ukiran batu paras dan tiang-tiang kayu
gaya Bali terasa padu dalam konsep arsitektumya, bukan sebagai elemen
tambahan yang ditempelkan. Semua bahan dari kayu jati didatangkan dari
Jawa. Sementara elemen artistiknya dalam bentuk ukiran kayu dan batu
dikerjakan oleh para seniman Bali.
Bung Karno tidak hanya memberi ide pembangunan istana Tampaksiring
tapi sebagai insinyur sipil juga ikut mengamati proses pembuatan
konstruksi. Dalam peninjauan ia sangat teliti melihat proses konstruksi.
Dalam sebuah kesempatan Seokarno membetulkan sebuah papan lis sepanjang
25 meter yang tidak lurus terpasang.
Seperti istana presiden lainnya, Presiden Soekarno juga membawa karya
seni bernilai  tinggi ke dalam Istana Tampaksiring. Koleksi benda-benda
seni di Istana Tampaksiring antara lain karya-karya pematung Bali yang
terkenal, Cokot, serta pelukis-pelukis kenamaan seperti Le Mayeur,
Rudolf Bonnet, Dullah, Sudarso, dan Agus Djaja. Di Istana Tampaksiring
juga ditemui sebuah karya langka Rudolf Bonnet berupa lukisan
pemandangan. Bonnet biasanya melukis sosok manusia.
Seni tari juga menjadi pembeda istana Tampaksiring dengan istana
lainnya. Semua tamu negara yang datang tidak disambut dengan upacara
militer tapi disambut dengan dengan tari pendet – ucapan selamat datang
dengan gerak-gerak lincah enam gadis penari – yang kemudian diikuti
dengan taburan bunga ke arah sang tamu dan jalan yang hendak dilaluinya.
Selain tempat peristirahatan presiden dan keluarganya Istana juga
dipakai untuk pertemuan-pertemuan informal bernuansa politik. Di Istana
ini, Presiden Ne Win dari Burma melakukan perundingan dengan Presiden
Soeharto pada 1982. Pertemuan informal antara Menteri Luar Negeri Ali
Alatas dan Presiden Taiwan Lee Teng-hui pernah pula terjadi di sini
untuk membicarakan berbagai isu strategis hubungan Indonesia-Taiwan.
Menyambut KTT ASEAN 2003, Presiden Megawati membangun gedung
konferensi yang diberi nama Graha Bung Karno. Gedung konferensi ini
dapat menampung 300 undangan. Dalam KTT ASEAN ini lahir Bali Accord. KTT
ASEAN pada 2003 telah mendorong percepatan renovasi interior di hampir
seluruh bagian Istana Tampaksiring dan penataan ulang lukisan-lukisan
dan benda-benda seni di kompleks Istana. Lukisan-Iukisan terbaik Ida
Bagus Made Poleng yang sempat dibawa keluar Istana Tampaksiring,
misalnya, sekarang telah kembali ke tempat asalnya.
Sejak Istana Tampaksiring berdiri di tahun 1963 berbagai kepala
negara dan kepala pemerintahan negara-negara sahabat tercatat pemah
bertetirah di Istana Tampaksiring. Para tamu negara itu antara lain
Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Presiden Ho Chi Minh (Vietnam),
Perdana Menteri Jawaharlal Nehru (India), Perdana Menteri Nikita
Kruschev (Uni Soviet), Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard (Belanda),
Putra Mahkota Akihito dan Putri Michiko (Jepang), Presiden Ne Win
(Birma), Pangeran Norodom Sihanouk (Kamboja), dan Sekretaris Jenderal
PBB Javier Perez de Cuellar.
Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudoyono Istana Tampaksiring pernah
digunakan untuk pertemuan bilateral Indonesia-Timor Leste yang
mengakhiri sengketa pasca kemerdekaan Timor Leste pada 1999. Pertemuan
bilateral antara Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan
Presiden Republik Demokratik Timor Leste, Kay Rala Xanana Gusmao, antara
lain menyerukan agar masyarakat internasional memberikan dukungan
sepenuhnya terhadap komisi kebenaran dan persahabatan (KKP) penyelesaian
permasalahan dua negara bertetangga tersebut. Pertemuan ini penting
menandai era rokonsiliasi kedua bangsa yang kini sudah menjadi negara
yang terpisah.

Pojok Istana 
Istana dan Presiden RI Jokowi 

Dipublikasikan pada 04/06/2015 | 12:38 WIB (Intan_SetPres_3)

20 oktober 2014, Joko Widodo ( Jokowi ) dilantik menjadi
Presiden Republik Indonesia ke 7 mengganti Soesilo Bambang Yudhoyono (
SBY ) yang telah memimpin Republik Indonesia selama 10 tahun atau 2
periode.
Usai dilantik menjadi Presiden di Majlis Permusyawaratan Rakyat ( MPR
), Presiden Joko Widodo menuju Istana Presiden bersama wakil Presiden
Jusuf Kalla.
Perjalanan Presiden Jokowi bersama Jusuf Kalla ke Istana Merdeka menggunakan Kereta Kencana dari Bunderan Hotel Indonesia.
Suka cita masyarakat terlihat begitu antusiasnya ketika Presiden
Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla menyapa rakyat dari atas kereta kencana.
Masyarakat yang berada di jalan menyambut sang Presiden pilihannya,
masyarakat yang menyambut Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla begitu
banyaknya, jalan Protokol yang biasanya padat dengan kendaraan pada saat
itu ditutup karena penuh dengan masyarakat yang sangat percaya kepada
Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mengatasi masalah
Negara.
Istana Merdeka yang biasanya angker dan seram karena selalu dijaga
pasukan pengaman presiden ini, seakan akan menjadi rumah para pendukung
Presiden Jokowi. Mereka bebas masuk ke Istana Presiden yang mungkin saja
tidak terpikirkan oleh masyarakat, bisa masuk dan berada di areal
Istana Presiden.
Hari demi hari Presiden Jokowi bertugas di Istana Merdeka, banyak perubahan yang terjadi di Komplek Istana Presiden.
Istana Merdeka yang selama ini tertutup menjadi tempat Presiden
Jokowi berkantor, bahkan pintu Istana Merdeka yang menghadap lapangan
tengah di buka sehingga terlihat beda dan menghilangkan kesan angker dan
seram.
Yang beda dari sebelumnya adalah Koridor bagi tamu yang jalan kaki
menuju Istana merdeka di letakan Kursi dan meja kayu jati, sehingga
menambah keramahan bagi tamu yang datang ke istana.
Dilapangan tengah untuk menambah suasana Asri di letakan Gajebo dari
kayu jati, mungkin tempat itu untuk santai Presiden Jokowi ketika lepas
tugas dan istirahat.
Keberadaan burung burung yang ada di pohon sekitar lapangan antara
Istana Merdeka dan Istana Negara, dipelihara dengan selalu diberi makan 
seperti jagung. Bunyi burung burung itu kian menambah ke akraban istana
Presiden.
Presiden Jokowi yang selalu dekat dengan wartawan mudah sekali untuk
dimintai tanggapannya, istilah doorstop yang belum pernah dilakukan oleh
Presiden sebelumnya dapat dilakukan oleh Presiden Jokowi, sehingga
wartawan yang bertugas di Istana bisa mendapatkan jawaban langsung
terhadap isu isu hangat dari Presiden Jokowi.
Makan bareng bersama wartawan masih dilakukan juga setelah menjabat sebagai Presiden.
Canda dan tawa ketika makan bersama wartawan, masih bisa dilakukan.
Kadang wartawan tanpa canggung bisa bertanya baik masalah isu hangat
ataupun masalah pekerjaan Presiden, tanpa sungkan Presiden Jokowi yang
sangat akrab dengan wartawan mendengarkan dan cerita panjang lebar,
mengenai apa yang sedang dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Kelebihan Presiden Jokowi, kadang hapal dengan nama nama wartawan yang biasa selalu ikut meliput dengannya.
Blusukan yang dilakukan sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta, masih
dilakukan oleh Presiden Jokowi. seakan tidak pernah mengenal kata lelah
Presiden Jokowi tidak ada hentinya bekerja, dan melihat kondisi
lapangan. wartawan yang ikut dengan Presiden Jokowi, kadang mengeluh
lelah dan cape. Tapi bertugas sebagai jurnalis dan harus meliput
kegiatan Presiden Jokowi yang super padat itu memaksa wartawan untuk
terus mengikuti Presiden Jokowi kemana ia melangkah.
Dikalangan wartawan seperti belum sempurna jika liputan belum ada statemen dari Presiden Jokowi.
Telat makan jika ikut blusukan dengan Presiden RI Jokowi bagi wartawan
yang sudah lama ikut Presiden sudah biasa. Tapi jika Presiden jokowi
tahu wartawan belum makan maka ia akan marah, tapi kejadian wartawan
tidak diperhatikan makan sudah sering dialami wartawan yang tugas di
istana, padahal jika kejadian tersebut jika terdengar Presiden Jokowi
pasti Akan Marah.
Keberadaan wartawan untuk meliput aktifitas dan kegiatan Presiden
Jokowi baik di Istana Presiden maupun diluar Istana masih menjadi
perhatian media. (presidenri.go.id)

Baca Juga: Pemindahan Ibu Kota Negara Tahun 2019, “Presiden Butuh Istana Baru”?

Komentar