foto/dok; Jokowi |
KOLOM PEMBACA-OPINI, SriwijayaAktual.com – Kondisi bangsa dan negara sangat rawan pasca penyikapan publik atas RUU
yang digodok pemerintah dan DPR. Menyisakan persoalan UU Revisi KPK yang
sudah “dipaksakan” disahkan. Pilihan solusi adalah Pemerintah
mengeluarkan Perppu untuk menghambat berlakunya UU Revisi KPK dan agar
tidak dimasalahkan terus menerus. DPR tentu merasa diabaikan kerjanya
dengan dikeluarkan Perppu tersebut. Akan tetapidi samping hal ini
tergantung pada konten Perppu juga DPR nya pun telah habis masa jabatan.
Masalah lain adalah jatuhnya korban tewas dari kalangan mahasiswa yaitu
Mohammad Rendi dan M Yusuf Qardhawi dua mahasiswa Kendari akibat
penanganan aparat yang represif. Ini menambah amunisi rekan sesama aksi
mahasiswa untuk menuntut dan menggeser isu pada penembakan atau
penganiayaan yang menyebabkan tewasnya kedua mahasiswa tersebut. Kapolri
akan diminta pertanggungjawaban.
Gelombang unjuk rasa terus berlangsung mahasiswa, pelajar, buruh dan
masyarakat. Pola penanganan aparat sangat brutal, Brimob kah ? Standard
unjuk rasa menjadi pertanyaan bagi lembaga pendidikan kepolisian. Banyak
komentar bahwa itu bukan cara Polisi pengayom masyarakat tetapi
premanisme brutal. Luka penyampai aspirasi adalah luka rakyat. Jiwa muda
mahasiswa dan pelajar sebenarnya membanggakan. Mereka berani
menyampaikan kebenaran melawan kezaliman. Negara memang sedang sakit dan
guncang.
Untuk memulihkan kembali keadaan negara harus dimulai dari mundurnya
Presiden Jokowi. Sebab sumber masalah adalah prototype atau gaya
kepemimpinan Jokowi. Terlalu banyak aksi ketimbang kerja. Konsistensi
dan “sense of crisis” rendah. Banyak kepentingan yang berebut pengaruh
di sekeliling Presiden. Akibatnya kewibawan semakin lama semakin
merosot.
Mundur memiliki dasar hukum Tap MPR No 6 tahun 2001 tentang Etika
Kehidupan Berbangsa. Populer setelah salah sebut Prof Mahfud dan spanduk
di aksi mujahid 212. Meski tanpa dasar inipun sebenarnya persoalan
mundur adalah “keharusan” saat amanah sudah berat untuk ditunaikan.
Pertama, posisi semakin terjepit antara mengeluarkan Perppu dengan
kepentingan partai koalisi. Terjepit antara kepentingan internal partai
koalisi yang terpolarisasi dalam klik klik yang saling menekan. Terjepit
antara pertarungan global AS dan Cina yang berpengaruh pada konstelasi
politik dalam negeri. Terjepit antara demokrasi dengan investasi, serta
tentu terjepit antara memenuhi tuntutan aksi dengan kepentingan para
pengendali. Dengan semakin terjepit itu maka opsi mundur menjadi
terbaik.
Kedua, dalam hal memaksakan hingga dapat dilantik medio Oktober
mendatang, situasi pengkritisan tidak akan reda. Jokowi memiliki banyak
“tabungan” masalah yang tak terselesaikan. Mulai dari kecurangan pemilu,
700 tewas petugas, insiden 21-22 Mei, hutang negara di atas 5000
Trilyun, tenaga kerja Cina, Papua, pindah ibukota, hingga masalah
perundang-undangan yang kontroversial. Mengandalkan Kepolisian untuk
memproteksi atas aksi tentu berbatas waktu dan biaya. Tindakan represif
tidak membuat jera. Ujungnya ya mundur, atau terpaksa mundur, atau
dimundurkan juga.
Oleh karena itu demi kebaikan bangsa dan negara, serta untuk memulihkan
kembali kehidupan ekonomi dan politik, maka sebaiknya Jokowi mundur
saja. Toh sudah tercatat dalam sejarah bahwa Presiden Republik Indonesia
ketujuh itu bernama Joko Widodo atau yang lebih terkenal dengan nama
Jokowi.
Bandung, 1 Oktober 2019 (**)