Serikat Petani Kritisi Program Reforma Agraria ala Jokowi

Berita69 Dilihat

JAKARTA, SriwijayaAktual.com  – Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan
pembagian lahan kepada petani dalam program reforma agraria seharusnya
fokus pada lahan yang telah dikelola petani tersebut. Program tersebut,
kata dia, semestinya tidak memberikan aset lahan di wilayah yang bukan
merupakan asal petani.
Reforma agraria atau redistribusi aset lahan oleh pemerintah
dicanangkan Presiden Joko Widodo dengan harapan memperkecil kesenjangan
ekonomi yang ada. Sekitar 9 juta hektare lahan akan diberikan kepada
para petani. Mayoritas para petani yang tidak memiliki lahan berada di
Jawa, Lombok, Bali, Lampung, Sumatra Selatan, dan Sumatra Utara.
“Masalahnya reforma agraria ini tidak ada di lokasi tersebut,” ujar
dia kepada wartawan saat ditemui di Sekretariat SPI Jakarta seperti
dikutip republika, Minggu (16/4/2017).
Padahal, menurutnya, ada potensi sebesar 2 juta hektare lahan yang
bisa diberikan petani. Ia menjelaskan, dari 2,6 juta hektare tanah yang
dikuasai Perhutani di Jawa, menurutnya ada ada 1 juta hektare yang bisa
dibagikan ke petani dan 1 juta hektare lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang
dapat dimanfaatkan para petani. “Banyak perkebunan yang tidak berdampak
besar bagi perekonomian Indonesia dan masyarakat sekitar kurang lebih
mendekati 1 juta hektare,” kata dia.
Lahan di pulau Jawa tersebut sepatutnya diberikan kepada petani untuk
dikelola menjadi tanaman pangan atau bahkan tanaman kayu, bukan lagi
sawit ataupun karet yang dinilai Henry tidak sesuai. Saat ini
berdasarkan data yang ia miliki, dari 26 juta kepala keluarga petani
Indonesia, 16 juta kepala keluarga hanya menguasai 0,3 hektare. Padahal
menurut dia, idealnya tiap kepala keluarga tani memiliki 2 hektare.
Ia mengatakan, pelaksanaan reforma agraria melalui redistribusi 9
juta hektare tertuang dalan Nawa Cita dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 masih jauh dari yang dimandatkan
oleh konstitusi dan desakan petani Indonesia karena belum ditetapkanya
Peraturan Presiden terkait hal ini.
Menurut dia, ketimpangan penguasaan dan kesenjangan ekonomi berdampak
pada kemiskinan dan kesejahteraan petani. Terlebih dengan dinamika
pasar yang merugikan petani termasuk konsekuensi berbagai perjanjian
pasar bebas, kesejahteraan petani dinilai semakin menurun. “Hal ini
dilihat dari kecenderungan menurunnya nilai tukar petani dari tahun 2016
hingga Maret 2017,” ujarnya. (*)

Komentar