Sebab, mantan direktur pelksana World Bank itu mengaku cemas dan “sakit perut” sertiap mendengar obral janji Presiden Joko Widodo. Janji manis itu yang dimaksud berkaitan dengan terkait kebijakan fiskal dan ekonomi, seperti program kartu prakerja.
Bagi mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu, pernyataan Sri Mulyani itu seperti bentuk kesadaran yang diungkap ke publik setelah sekian lama ditutup-nutupi.
Maju terus pantang mundur pic.twitter.com/SlwBYk2aHe— markonah (@tan_markonah) February 4, 2020
Kini, katanya, menteri berpredikat terbaik dunia itu sadar bahwa beban keuangan semakin berat. Terutama untuk memenuhi janji kampanye yang tidak rasional.
“Setelah sekian lama menutupi, sepertinya Menteri Keuangan sudah menyadari bahwa beban keuangan negara makin berat dengan janji-janji kampanye yang tidak rasional,” tegasnya dalam akun Twitter pribadi, Selasa (4/2/2020).
Setelah sekian lama menutupi, sepertinya Menteri Keuangan sdh menyadari bhw beban keuangan negara makin berat dg janji2 kampanye yg tidak rasional – seoerti pernyataannya ttg “gaji” pengangguran dan akan menjual asset negara di Jakarta utk biaya pindah Ibu Kota— Muhammad Said Didu (@msaid_didu) February 4, 2020
Said Didu lantas mengurai sejumlah janji Jokowi-Maruf yang tidak rasional saat kampanye. Mulai dari keinginan “menggaji” pengangguran, hingga rencana menjual aset negara di Jakarta untuk biaya pindah ibukota.
“Janji-janji kampanye yang selama ini saya anggap tidak rasional, antara lain tol laut, tingkat pertumbuhan ekonomi, tidak akan impor, tidak akan tambah utang, swasembada beras, memberikan “gaji” ke penganggur, kelayakan berbagai infrastruktur,” urainya. [psid]
Janji2 kampanye yg selama ini saya anggap tidak rasional, antara lain :
1. Tol Laut
2. Tingkat pertumbuhan ekonomi
3. Tdk akan impor
4. Tdk akan tambah utang
5. Swasembada beras, gula, garam dll
6. Memberikan “gaji” ke penganggur
7. Kelayakan berbagai infrastruktur
8. Dll— Muhammad Said Didu (@msaid_didu) February 4, 2020