Sri Mulyani [dok] |
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati angkat bicara. Sri Mulyani menilai perhatian seluruh pihak terhadap utang menjadi masukan baginya selaku pengelola keuangan negara untuk terus waspada.
Namun, Sri Mulyani juga mengingatkan kekhawatiran yang berlebihan justru bisa mengurangi produktivitas masyarakat.
“Kita perlu mendudukkan masalah agar masyarakat dan elit politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan yang menyebabkan kondisi masyarakat menjadi tidak produktif,” kata Sri Mulyani dalam siaran persnya, Jakarta, Jumat (23/3/2018).
Sri Mulyani menjelaskan bahwa sejatinya utang merupakan salah satu instrumen kebijakan dalam pengelolaan keuangan negara dan perekonomian. Dia bilang, utang bukan merupakan tujuan dan bukan juga satu-satunya instrumen kebijakan dalam mengelola perekonomian.
“Dalam konteks keuangan negara dan neraca keuangan Pemerintah, banyak komponen lain selain utang yang harus juga diperhatikan. Misalnya sisi aset yang merupakan akumulasi hasil dari hasil belanja Pemerintah pada masa-masa sebelumnya. Nilai aset tahun 2016 (audit BPK) adalah sebesar Rp 5.456,88 triliun,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengatakan, nilai tersebut belum termasuk nilai hasil revaluasi yang saat ini masih dalam proses pelaksanaan untuk menunjukkan nilai aktual dari berbagai aset negara mulai dari tanah, gedung, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dan lainnya.
“Hasil revaluasi aset tahun 2017 terhadap sekitar 40% aset negara menunjukkan bahwa nilai aktual aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239 persen dari Rp 781 triliun menjadi Rp 2.648 triliun, atau kenaikan sebesar Rp 1.867 triliun. Tentu nilai ini masih akan diaudit oleh BPK untuk tahun laporan 2017,” jelasnya.
“Kenaikan kekayaan negara tersebut harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat masalah utang, karena kekayaan negara merupakan pemupukan aset setiap tahun termasuk yang berasal dari utang,” tuturnya. [fdl/detik]