Berita  

SUBHANALLAH !!! … Kakek Pedagang Opak Ini “Beli” Rumah Setiap Bulan

Eko%2BPenjual%2BOpak
Kakek Eko Penjual Opak
SriwijayaAktual.com – Putus sekolah dan tidak punya cita-cita yang jelas, menjadi bagian dari sebagaian masyarakat Indonesia, tidak terkecuali Eko (70 Tahun).
Bergelut dengan kemiskinan orang tuanya, Eko kecil harus hengkang
dari Sekolah Rakyat (SR) saat dirinya baru duduk di kelas 3. Sebagai
buruh tani, pendapatan orang tua Eko hanya mampu untuk mencukupi
kebutuhan perut, dengan standar minimal tentu saja.
“Orang tua saya gak bisa biayai saya. Saya sekolah biaya sendiri,
cari rumput buat biaya sekolah, beli buku ama beli baju. Dulu kan gak
ada seragam kayak sekarang,” kata Eko.
Gagal melanjutkan sekolah di kampung halamannya di Kuningan Jawa Barat, tak ada gelayut cita-cita tinggi dalam kehidupan Eko.
“Yang penting mah saya sehat. Kalau cita-cita mah saya gak muluk-muluk. Dulu ga pernah ada cita-cita, orang-orang ngerti aja kagak,” ucapnya dengan logat Sunda yang kental.
Menginjak remaja, Eko memilih merantau, berharap dapat memutus
garis kemiskinan warisan orang tuanya. Bagi Eko, merantau adalah jalan
satu-satunya bagi orang yang sudah kebingungan dalam mencari peghasilan
di kampung sendiri. Eko, memilih Jakarta sebagai tujuan untuk mencari
pekerjaan sebagai kuli bangunan.
Pria yang kepalanya bermahkota uban ini masih ingat jika Jakarta
pada tahun 1959 belum memiliki terminal bus. “Masih kampung di sini
juga,” ucapnya.
Terekam dalam ingatannya pada tahun 1965 dia ikut menjadi tukang
yang membangun gedung MPR/DPR di Senayan. Sampai di sini, kehidupan Eko
belum berubah. Penghasilannya hanya cukup untuk bertahan hidup dan
sedikit membantu keluarganya.
Nasib tak kunjung membaik menjadi kuli bangunan, Eko beralih
profesi menjadi pedagang gorengan. Profesi barunya ini hanya sempat
dijalani beberapa tahun sebelum akhirnya benar-benar gulung tikar.
Eko beralih dagang  buah di pasar tradisional Kebayoran pada
akhir 1970an. Peruntungan tak membaik, dia pindah ke selatan Ibu Kota,
tepatnya di Cirendeu sejak tahun 1981. Delapan tahun kemudian, usaha
dagang buah Eko benar-benar bangkrut.
Tak ada pilihan lain bagi Eko kecuali kembali membanting tulang
untuk mendapatkan penghasilan. Eko menekuni profesi lamanya dengan
menjadi kuli bangunan.
Profesi ini dijalaninya selama belasan tahun. Tubuh Eko makin
menua. Raganya tak mau lagi kompromi dengan pekerjaan berat. Eko
menderita penyakit hernia akibat pekerjaan yang terlampau berat.
Honor menjadi kuli bangunan tak cukup untuk membiayai dua kali operasi yang harus dilakukannya. Terpaksa, Eko berutang.
“Saya punya utang 23 juta karena sakit macem-macem. Operasi udah
dua kali, penyakit turun berok, kena hernia kalau bahasa dokter mah. Saya mah apa aja udah pernah dikerjain di Jakarta” cerita Eko sambil menyeruput kopi yang dia bawa dari rumah.
Setelah dua kali operasi, Eko dilarang bekerja oleh sang istri.
Bahkan, sang istri menyatakan sanggup menanggung nafkah keluarga asalkan
dirinya sehat. Akan tetapi, Eko tak tega jika istrinya harus banting
tulang sendirian, sedangkan dirinya hanya diam di rumah.
“Masa iya laki-laki gak kerja, hanya di rumah nonton tv,” ujar Eko sembari tersenyum.
Saat pulang kampung pada 2013, Eko menemukan ide untuk mencari
nafkah yang tidak membutuhkan tenaga terlampau berat, yakni berdagang
opak khas Kuningan.
“Mau dagang yang lain modal gak ada. Punya utang 23 juta, punya duit nyicil-nyicil utang. Punya 500 ribu bayarin,” ucapnya.
Dengan modal 100 ribu rupiah, Eko membeli opak mentah di
kampungnya dan dibawa ke Jakarta. Eko tak bisa menggoreng sendiri karena
matanya kurang awas. Jika menggoreng, dia mengaku sering gosong.
Pekerjaan lalu dibagi: sang istri menggoreng dan eko yang
menjajakan dagangan menggunakan sepeda mini tua yang tak lagi sedap
untuk dipandang.
Jika stok opaknya sudah menipis, Eko memesan opak melalui adiknya
yang ada di Kuningan lewat telepon. “Kalau beli opak sekwintal, dari
kuningan. Di sini gak ada yang bikin beginian,” ujarnya.
Pertama kali menjual opak, Eko mangkal di sekolah-sekolah. Namun,
opak bukan jajanan favorit anak-anak sekarang. Eko pun pindah ke tepi
Ciputat Raya, tak jauh dari kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Sejak enam bulan lalu, Eko mulai mangkal dari siang hingga jam enam atau tujuh malam.
“Sampai sedapetnya aja, kalau jam enam habis ya syukur, kadang jam tujuh, patokan mah jam tujuh,” katanya.
Sekitar 8 jamberjualan, pendapatan rata-rata Eko seratus ribu
rupiah. “Kalau ada yang beli mah suka dapat 100 ribu, kadang-kadang.
Saya gak mikirin untung yang penting dapat duit gitu aja. Ya
kadang-kadang bisa lebih 100 ribu, kadang-kadang kurang,” ucapnya sambil
melayani pembeli.
Ketika ditanya, dia tak bisa mengukur berapa keuntungan yang diperoleh dari pendapatan Rp100 tersebut setelah dipotong modal.
“Kadang ujan gak berenti-berenti, orang jarang yang beli, dapet duit sedikit juga pulang. Tapi alhamdulillah tiap harinya ada yang beli,” ujarnya menceritakan kesulitan berdagang opak.
Soal harga dan rasa, selama ini Eko tak pernah terima komplain
dari para pembelinya. “Orang pada kenal, tau harganya murah. Kalau yang
udah pernah nyobain gak ada yang kapok. Kejangkau harganya tiga bungkus 5
ribu. Kalau satu bungkus 2 ribu,” kata Eko sambil kembali menyeruput
kopi buatan istrinya yang ditempatkan di botol bekas air minum kemasan.
“Kata orang-orang (pembeli), ‘ini ga rugi?’ Kalau saya yang
penting dapat duit, mau untung dikit atau banyak gak peduli,” ujarnya.
Eko%2Bjualan%2Bopak
“Membeli” rumah tiap bulan
Sudah puluhan tahun bekerja, Eko belum memiliki properti apa-apa.
Demikian pula puluhan tahun perjalanan rumah tangganya, Eko dan istri
tidak dikaruniai seorang anak pun.
Menjalani hidup hanya berdua, Eko mengontrak rumah petak sederhana seharga Rp500 per bulan di RT.01/10 Kelurahan Cirendeu.
“Kita kan orang kaya, tiap bulan beli rumah; beda dengan
orang-orang yang beli rumah seharga 2 miliar, tapi sekali doang seumur
hidup. Tapi alhamdulillah kontrakan gak pernah nunggak,” ucap Eko sambil tertawa.
Terbilang tidak mampu secara ekonomi, Eko dan istri mendapat
jatah raskin, tetapi Eko jarang membelinya. Lidah dan perut tuanya tak
tahan dengan keras dan apeknya beras murah program pemerintah tersebut.
“Kalau raskin mah suka ada, tapi saya jarang beli. Saya
udah begini (sakit-sakitan), makan ga begitu banyak, yang penting pulen
nasinya. Kalau raskin kan agak apek, keras gitu. Kalau yang beli raskin
yang keluarganya banyak, kan saya cuma berdua,” ucapnya.
Untuk mengantisipasi kebutuhan mendadak, Eko dan istri ikut
arisan seminggu Rp300 ribu. Uang cicilan arisan dikumpulkan dari hasil
jualan opak dan honor istrinya yang bekerja sebagai pembantu rumah
tangga.
“Kalau ga ikut arisan saya susah. Saya gak pernah nyimpen, cuma
ikut arisan satu minggu 300 ribu. Entar kalau dapat arisan buat nyicil
utang. Tinggal 6 juta lagi,” ujarnya. (*)

Sumber, rimanews