![]() |
Kakek Eko Penjual Opak |
dari Sekolah Rakyat (SR) saat dirinya baru duduk di kelas 3. Sebagai
buruh tani, pendapatan orang tua Eko hanya mampu untuk mencukupi
kebutuhan perut, dengan standar minimal tentu saja.
cari rumput buat biaya sekolah, beli buku ama beli baju. Dulu kan gak
ada seragam kayak sekarang,” kata Eko.
garis kemiskinan warisan orang tuanya. Bagi Eko, merantau adalah jalan
satu-satunya bagi orang yang sudah kebingungan dalam mencari peghasilan
di kampung sendiri. Eko, memilih Jakarta sebagai tujuan untuk mencari
pekerjaan sebagai kuli bangunan.
pada tahun 1959 belum memiliki terminal bus. “Masih kampung di sini
juga,” ucapnya.
yang membangun gedung MPR/DPR di Senayan. Sampai di sini, kehidupan Eko
belum berubah. Penghasilannya hanya cukup untuk bertahan hidup dan
sedikit membantu keluarganya.
profesi menjadi pedagang gorengan. Profesi barunya ini hanya sempat
dijalani beberapa tahun sebelum akhirnya benar-benar gulung tikar.
akhir 1970an. Peruntungan tak membaik, dia pindah ke selatan Ibu Kota,
tepatnya di Cirendeu sejak tahun 1981. Delapan tahun kemudian, usaha
dagang buah Eko benar-benar bangkrut.
untuk mendapatkan penghasilan. Eko menekuni profesi lamanya dengan
menjadi kuli bangunan.
menua. Raganya tak mau lagi kompromi dengan pekerjaan berat. Eko
menderita penyakit hernia akibat pekerjaan yang terlampau berat.
dua kali, penyakit turun berok, kena hernia kalau bahasa dokter mah. Saya mah apa aja udah pernah dikerjain di Jakarta” cerita Eko sambil menyeruput kopi yang dia bawa dari rumah.
Bahkan, sang istri menyatakan sanggup menanggung nafkah keluarga asalkan
dirinya sehat. Akan tetapi, Eko tak tega jika istrinya harus banting
tulang sendirian, sedangkan dirinya hanya diam di rumah.
nafkah yang tidak membutuhkan tenaga terlampau berat, yakni berdagang
opak khas Kuningan.
kampungnya dan dibawa ke Jakarta. Eko tak bisa menggoreng sendiri karena
matanya kurang awas. Jika menggoreng, dia mengaku sering gosong.
menjajakan dagangan menggunakan sepeda mini tua yang tak lagi sedap
untuk dipandang.
yang ada di Kuningan lewat telepon. “Kalau beli opak sekwintal, dari
kuningan. Di sini gak ada yang bikin beginian,” ujarnya.
opak bukan jajanan favorit anak-anak sekarang. Eko pun pindah ke tepi
Ciputat Raya, tak jauh dari kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta.
rupiah. “Kalau ada yang beli mah suka dapat 100 ribu, kadang-kadang.
Saya gak mikirin untung yang penting dapat duit gitu aja. Ya
kadang-kadang bisa lebih 100 ribu, kadang-kadang kurang,” ucapnya sambil
melayani pembeli.
dari para pembelinya. “Orang pada kenal, tau harganya murah. Kalau yang
udah pernah nyobain gak ada yang kapok. Kejangkau harganya tiga bungkus 5
ribu. Kalau satu bungkus 2 ribu,” kata Eko sambil kembali menyeruput
kopi buatan istrinya yang ditempatkan di botol bekas air minum kemasan.
penting dapat duit, mau untung dikit atau banyak gak peduli,” ujarnya.
Demikian pula puluhan tahun perjalanan rumah tangganya, Eko dan istri
tidak dikaruniai seorang anak pun.
orang-orang yang beli rumah seharga 2 miliar, tapi sekali doang seumur
hidup. Tapi alhamdulillah kontrakan gak pernah nunggak,” ucap Eko sambil tertawa.
jatah raskin, tetapi Eko jarang membelinya. Lidah dan perut tuanya tak
tahan dengan keras dan apeknya beras murah program pemerintah tersebut.
udah begini (sakit-sakitan), makan ga begitu banyak, yang penting pulen
nasinya. Kalau raskin kan agak apek, keras gitu. Kalau yang beli raskin
yang keluarganya banyak, kan saya cuma berdua,” ucapnya.
arisan seminggu Rp300 ribu. Uang cicilan arisan dikumpulkan dari hasil
jualan opak dan honor istrinya yang bekerja sebagai pembantu rumah
tangga.
ikut arisan satu minggu 300 ribu. Entar kalau dapat arisan buat nyicil
utang. Tinggal 6 juta lagi,” ujarnya. (*)
Sumber, rimanews