Berita  

Surat Terbuka Amnesty untuk Presiden Jokowi: Bebaskan 22 Aktivis Papua

Surya2BAnta2BGinting
Ilustrasi

JAKARTA, SriwijayaAktual.comAmnesty International Indonesia mendesak Presiden RI Joko Widodo (Jokowi)
untuk memerintahkan polisi menghentikan menjerat aktivis Papua sebagai
tersangka dengan menggunakan pasal makar dalam KUHP. Permintaan itu
disampaikan Amnesty melalui surat terbuka kepada Jokowi.

“Para
aktivis tersebut ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan berdasarkan
Pasal 106 dan 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang
merupakan bagian dari Bab Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dengan
ancaman hukuman maksimum penjara seumur hidup,” demikian surat terbuka
Amnesty kepada Jokowi bertanggal 2 Oktober 2019 seperti dikutip dari situs organisasi tersebut.

Lembaga
itu mengaku prihatin dengan peningkatan jumlah aktivis yang dijerat
dengan pasal makar. Khusus untuk aktivis Papua, setidaknya sudah 22 yang
dijerat dengan dua pasal dalam KUHP tersebut.

“Amnesty International menganggap ke 22 aktivis Papua yang menghadapi
penuntutan pidana tersebut sebagai tahanan hati nurani yang dipenjara
hanya karena mengungkapkan pendapat mereka dengan damai. Oleh karenanya
mereka harus segera dibebaskan dengan tanpa syarat,” ujar Direktur
Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam surat
terbuka kepada Jokowi tersebut.
Usman menegaskan organisasinya tak mengambil posisi apapun tentang
status politik provinsi manapun di Indonesia, termasuk seruan
kemerdekaan. Namun, sambungnya, mereka melihat hak atas kebebasan
berekspresi melindungi hak untuk secara damai mengadvokasikan
kemerdekaan atau solusi politik lainnya yang tidak melibatkan
diskriminasi, tindakan peperangan (hostility) maupun kekerasan.

“Organisasi
kami memandang pembatasan hak atas kebebasan berekspresi yang dikenakan
Pasal 106 dan 110 KUHP melampaui pembatasan yang diizinkan dalam
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang juga
telah diratifikasi oleh Indonesia,” ujar Usman.

Mantan
koordinator KontraS itu pun menegaskan lewat penetapan tersangka dan
penuntutan para aktivis Papua atas tuduhan makar, maka Jokowi telah
melanggar komitmen sendiri untuk memperbaiki situasi HAM di Papua. Ia
pun kembali mengingatkan keputusan Jokowi saat memberikan grasi kepada
Filep Karma pada 2015 silam.

“[penetapan tersangka dengan pasal
makar] ini bertentangan dengan sikap positif yang telah Bapak tunjukkan
demi melindungi kebebasan berekspresi selama periode Kepresidenan
pertama anda. Sebagaimana yang Bapak tentunya ingat, pada bulan Mei 2015
Bapak memberikan grasi kepada lima aktivis politik di propinsi Papua,
dan di bulan November 2015 tahanan hati nurani Filep Karma dibebaskan
setelah menghabiskan lebih dari satu dekade di penjara karena kegiatan
dan ekspresi politiknya yang damai,” kata Usman.

Ia lalu merinci para aktivis Papua yang ditahan dengan dugaan pasal makar tersebut.

Di
Polda Metro Jaya ada enam aktivis yakni Dano Tabuni, Carles Kosai,
Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Arina Lokbere yang dibawa dari tempat
berbeda pada 30 dan 31 Agustus 2019. Mereka ditetapkan sebagai tersangka
dibawah Pasal 106 dan 110 KUHP atas tuduhan telah mengorganisir aksi
protes damai di depan Istana Kepresidenan di Jakarta pada 28 Agustus
yang diadakan sebagai reaksi terhadap dugaan rasialisme di Surabaya dan
Malang.

“Semua tahanan tersebut masih ditahan oleh Polisi di Markas Besar Brigade Mobil (Mako Brimob) di Depok, Jawa Barat,” kata Usman.

Di
Manokwari, provinsi Papua Barat, polisi menahan Sayang Mandabayan di
bandara setempat pada 2 September karena membawa 1.500 bendera Bintang
Kejora mini, yang dituduhkan akan digunakan untuk aksi protes yang akan
diadakan di kota tersebut. Polisi menetapkannya sebagai tersangka
dibawah pasal 106 dan 110 KUHP dan menahannya di Polisi Resor (Polres)
Manokwari.

Selanjutnya, pada 19 September, Polres Manokwari
menahan tiga mahasiswa dengan pasal yang sama:Erik Aliknoe, Yunus
Aliknoe dan Pende Mirin. Mereka diamankan karena telah mengorganisasi
aksi protes anti rasisme di Manokwari pada tanggal 3, 6, dan 11
September 2019.

“Polisi menahan mereka di Polres, dan para
pengacara mereka juga mengeluh karena mereka tidak dihalang-halangi
polisi dari mendampingi klien mereka saat diinterogasi,” ujar Usman.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid
Lalu di Jayapura, polisi menahan delapan aktivis dengan pasal yang sama.
Mereka dituduh sebagai dalang aksi protes damai antirasialisme yang
kemudian menjadi melibatkan kekerasan di Jayapura tanggal 29 Agustus.

“Segera
setelah aksi, perwira-perwira tinggi Kepolisian menuduh ULMWP (United
Liberation Movement for West Papua) dan KNPB (Komisi Nasional Papua
Barat), dua organisasi prokemerdekaan Papua sebagai dalang aksi protes
di Jayapura tersebut dan juga aksi-aksi yang melibatkan kekerasan di
tempat-tempat lain di propinsi Papua dan Papua Barat,” ujar Usman.

Kemudian,
antara 9 dan 23 September di Jayapura, polisi menahan tiga pemimpin
KNPB (Agus Kossay, Steven Itla, dan Assa Asso) dan seorang aktivis ULMWP
yang juga mantan Ketua KNPB (Buchtar Tabuni).

“Polisi juga
mengklaim bahwa ULMWP dan KNPB berencana untuk memicu kerusuhan di Papua
guna memancing tindakan represif oleh aparat keamanan, dan untuk
menggambarkan tanggapan polisi sebagai pelanggaran hak asasi manusia di
sesi Dewan Keamanan dan Sidang Umum PBB yang akan datang,” kata Usman.

Polisi
juga menahan empat mahasiswa Papua (Ferry Kombo, Alexander Gobay, Henky
Hilapok dan Irwanus Urupmabin) antara tanggal 6 dan 11 September di
Jayapura. Mereka disangkakan sebagai dalang kerusuhan pada 29 Agustus di
Jayapura. Sangkaan ini terutama karena persatuan mahasiswa mereka
adalah satu-satunya organisasi yang memberitahukan kepada polisi bahwa
akan diadakan protes antirasialisme yang damai di Jayapura.

Di
Sorong, Papua Barat, polisi menahan empat aktivis Papua (Rianto Ruruk
alias Herman Sabo, Yoseph Laurensius Syufi alias Siway Bofit, Manase
Baho dan Ethus Paulus Miwak Kareth) pada tanggal 18 September. Mereka
ditetapkan tersangka atas tuduhan pelanggaran Pasal 106 dan 110 KUHP
karena memproduksi dan membagikan pamflet berisi gambar bendera Bintang
Kejora dengan kata-kata “Referendum, Papua Merdeka” saat aksi protes di
kota tersebut antara 16 dan 18 September. Sampai sekarang mereka masih
ditahan di Polres Sorong.

Surya Anta Ginting, salah satu aktivis Papua yang dijerat polisi dengan pasal makar.
Usman mengatakan polisi memiliki tugas menyelidiki dan mencegah tindakan
kekerasan, namun tidak boleh dengan tidak masuk akal membatasi hak-hak
para peserta aksi protes lainnya.

“Perlu juga untuk digarisbawahi
bahwa akses terhadap bantuan hukum adalah jaring pengaman yang sangat
penting untuk banyak hak-hak asasi manusia, termasuk hak atas peradilan
yang adil dan memastikan hak-hak tahanan dihormati selama mereka
ditahan,” ujar Usman.

Lebih jauh lagi, Amnesty Internasional
mengakui jelas telah terjadi insiden-insiden kekerasan yang dilakukan
sejumlah orang-orang Papua terhadap personil aparat penegak hukum dan
penduduk non-orang asli Papua (OAP) baru-baru ini dan juga menghormati
bahwa pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi
kehidupan, kebebasan dan keamanan semua orang di wilayahnya.

“Ketika
tindakan kekerasan terjadi, memang hal tersebut harus segera dan tanpa
berpihak diselidiki dan ketika terdapat bukti yang memadai, individu
yang bertanggungjawab harus diproses sesuai dengan hukum pidana
domestik, dengan memastikan hak atas peradilan yang adilnya dijamin,”
katanya.

Usman menegaskan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi
dilindungi dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Namun, pihak berwenang terus menggunakan ketentuan hukum pidana guna
menekan kegiatan yang damai atas hak mereka untuk bebas berekspresi dan
berpendapat, berkumpul secara damai, berkepercayaan, dan beragama.

Oleh karena itu Amnesty pun meminta Jokowi memerintahkan polisi segera mencabut status tersangka atas tuduhah makar di bawah Pasal
106 dan 110 KUHP yang dikenakan pada 22 aktivis politik Papua. Pun,
memastikan para aktivis dalam tahanan tidak disiksa ataupun diperlakukan
dengan buruk dan memiliki akses reguler kepada anggota keluarga dan
pengacara pilihan mereka.

Terakhir, Jokowi sebagai pemimpin
pemerintahan diminta bersama dengan DPR RI mencabut atau secara
substantif mengamandemen Pasal 106 dan 110 KUHP, dan memastikan bahwa
ketentuan-ketentuan ini tidak dapat lagi digunakan untuk memidana
kebebasan berekspresi melampaui batasan-batasan yang diperbolehkan dalam
hukum dan standar hak asasi manusia internasional yang berlaku. (kid/gil/cnn)